Kamis, 15 April 2010

Budaya pengkultusan kuburan

Oleh: al-Ustadz Dr. Ali Musri Semjan Putra, M.A. Hafizhahullah

Segala puji dan syukur kita ucapkan kepada Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Sholawat dan salam buat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah memperjelas tauhid dengan segala sendi dan cabang-cabangnya serta pembatalnya.

Pada kesempatan kali ini kita ingin membahas tentang penyebab dominan timbulnya kesyirikan di tengah-tengah umat manusia. Di antaranya yaitu pengkultusan terhadap kuburan nenek moyang dan orang sholih dan yang di anggap sholih. Sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu ketika menafsirkan firman Allah azza wa jalla:

وَقَالُوا لَا تَذَرُنَّ آلِهَتَكُمْ وَلَا تَذَرُنَّ وَدًّا وَلَا سُوَاعًا وَلَا يَغُوثَ وَيَعُوقَ وَنَسْرًا

“Dan mereka (-kaum nabi Nuh ‘alayhish shålatu was salaam-) berkata: ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan (penyembahan) tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali meninggalkan (penyembahan) Wadd, dan jangan pula Suwwa’, Yoghuts, Ya’uq dan Nasr’.”

[QS.Nuh/71:23]

“Ini adalah nama orang-orang sholih dari kaum nabi Nuh ‘alaihis salam. Tatkala mereka meninggal, setan mewahyukan kepada kaum mereka untuk membuat patung di tempat-tempat duduk mereka. Lalu mereka menamai patung-patung tersebut sesuai dengan nama-nama mereka. Pada awalnya patung-patung itu masih belum disembah, sampai ketika mereka (orang-orang yang membuatnya) meninggal dan disertai dengan terhapusnya ilmu, lalu kaum yang datang kemudian menyembahnya.”

[Atsar Riwayat Bukhåriy]1

Sebab-sebab dikultuskannya kuburan

Diantara sebab yang membawa kaum yang kita sebutkan di atas kepada pengkultusan kuburan:

1. Meninggikan kuburan lebih dari satu jengkal

Sebagian kaum muslimin meninggikan kubur melebihi dair hal yang dibolehkan agama. Hal ini mungkin disebabkan karena mereka belum memahami tuntunan agama atau karena ada unsur lain seperti ingin menunjukkan bahwa orang tersebut seorang yang mulia.

Dari Abu Hayyaaj al-Asady, ia berkata:

Berkata kepadaku Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu:

‘Maukah engkau aku utus untuk melakukan sesuatu yang aku juga diutus oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk melakukannya? Jangan engkau tinggalkan sebuah patung melainkan engkau hancurkan. Dan tidak pula kuburan yang ditinggikan kecuali engkau datarkan’

[HR.Muslim]

Dari Tsumamah bin Syufai, ia berkata:

Aku pernah bersama Fudholah bin Ubaid di negeri Romawi ‘Barudis’. Lalu meninggal salah seorang teman kami. Maka Fudholah menyuruh untuk mendatarkan kuburannya.

Kemudian ia (Fudhålah) berkata:

‘Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh untuk mendatarkannya’.

[HR.Muslim]

2. Menembok dan mencat kuburan

Di antara kebiasan buruk yang bisa membawa kepada sikap pengkultusan kuburan adalah menembok dan mencat kuburan. Di samping hal tersebut diharamkan dalam agama, termasuk pula membuang harta kepada sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Dan yang lebih ditakutkan adalah akan terfitnahnya orang awam dengan kuburan tersebut. Sehingga mereka menganggap kuburan tersebut memiliki berkah dan sakti.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang dengan tegas menembok dan mencat kuburan dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Jabir radhiyallahu ‘anhu.

Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu ia berkata:

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mencat kubur, duduk diatasnya dan membangun di atasnnya.”

[HR.Muslim]

Yang dimaksud dengan membangun dalam hadits tersebut adalah umum, sekalipun hanya berbentuk tembok saja. Apalagi membuatkan rumah untuk kuburan dengan biaya banyak sebagaimana telah dilakukan sebagian orang-orang yang jahil.

Berkata Imam asy-Syafi’i rahimahullah:

“Aku melihat para ulama di Makkah menyuruh menghancurkan apa yang dibangun tersebut.”2

Al-Manawy berkata:

“Kebanyakan ulama Syafi’iyyah berfatwa tentang wajibnya menghancurkan3 segala bangunan di Qorofah (tanah pekuburan) sekali pun kubah Imam kita sendiri Syafi’i yang dibangun oleh sebagian penguasa.”4

3. Membangun rumah untuk kuburan.

Sebagian orang ada pula yang mambangunkan rumah untuk kuburan. Bahkan kadang kala biayanya cukup besar. Ini adalah salah satu bentuk penyia-nyiaan dalam penggunaan harta. Mungkin orang yang melakukan hal tersebut berasumsi bahwa si mayat mendapat naungan dan nyaman dalam kuburnya. Sesungguhnya tidak ada yang dapat memberikan kenyamanan dalam kubur kecuali amalan sendiri, walau seindah apa pun kuburan seseorang tersebut.

Ibnu Umar melihat sebuah tenda di atas kubur Abdurrahman. Maka ia berkata:

‘Bukalah tenda tersebut wahai Ghulam (anak muda), maka sesungguhnya yang melindunginya hanyalah amalannya’.”5

4. Duduk dan makan di kuburan.

Bentuk lain yang merupakan jalan membawa kepada pengkultusan kuburan adalah kebiasaan sebagian orang mendatangi kuburan pada momen-momen tertentu. Seperti mau masuk bulan suci Ramadhan, Lebaran atau masa setelah panen. Mereka berbondong-bondong ke kuburan dengan membawa tikar dan makanan. Lalu sesampai di kuburan membentangkan tikar dan duduk bersama-sama. Dilanjutkan dengan rangkaian acara tahlilan dan do’a setelah itu ditutup acara makan bersama. Jika hal tersebut kita timbang dengan ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, maka sungguh sangat bertolak belakang sama sekali.

Jangankan untuk tahlilan dan makan bersama, duduk saja tidak diperbolehkan. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berikut ini (yang artinya):

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

‘Sungguh salah seorang kalian duduk di atas bara api lalu membakar baju sehingga tembus ke kulitnya lebih baik daripada ia duduk di atas kuburan’.

[HR.Muslim]

Kiranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam di atas amat jelas bagi orang yang hatinya mau menerima nasihat. Adapun orang yang mata hatinya sudah tertutup oleh Allah azza wa jalla dari menerima petunjuk, niscaya ia akan berupaya mencari-cari alasan untuk menolaknya.

5. Membaca al-Qur’an di kuburan

Sebagian orang ada yang berpandangan adanya keutamaan membaca al Qur’an ketika berziarah kubur seperti membaca Qs.al-Fatihah (1), QS.al-Ikhlas (114) atau QS.Yaasiin (36), dan yang lain-lain. Bahkan ada yang menyewa orang lain khusus untuk membaca dan mengkhatamkan al Qur’an di kuburan keluarganya pada hari-hari tertentu. Hal tersebut tidak pernah dianjurkan dalam agama ini.

Yang dianjurkan ketika berziarah kubur hanyalah membaca do’a ziarah kubur. Berbeda dengan orang yang suka melakukan hal-hal yang baik menurut pikiran dan perkiraan mereka semata. Tetapi tidak baik menurut Allah azza wa jalla karena hal tersebut merupakan perkara ibadah yang tidak ada dasarnya sama sekali dalam agama. Kalau seandainya hal tersebut baik, pastilah Allah azza wa jalla memerintahkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat untuk melakukannya. Apakah kita lebih tahu dari Allah azza wa jalla tentang hal yang baik?!

قُلْ أَأَنْتُمْ أَعْلَمُ أَمِ اللَّهُ

“Katakanlah apakah kamu yang lebih mengetahui ataukah Allah.”

[QS.al Baqarah/2:140]

Adapun hadits-hadits yang dijadikan pegangan oleh sebagian orang dalam hal ini seperti hadits:

“Barangsiapa yang mendatangi kuburan lalu membaca surat Yasin, niscaya Allah akan meringankan adzab terhadap mereka pada waktu dan akan menjadikan dengan bilangan hurufnya kebaikan.”6

Ketahuilah bahwa ini adalah hadits Maudhu’ (palsu).

Demikian pula hadits:

“Barangsiapa yang melewati kuburan maka ia membaca surat al Ikhlas sebelas kali…”7

6. Shalat dan berdo’a di kuburannya

Keyakinan lainnya yang amat aneh adalah pendapat yang mengatakan bahwa shalat dan berdo’a dikuburan jauh lebih baik daripada di masjid, bahkan berasumsi lebih cepat dikabulkan. Yang lebih celaka lagi adalah meminta kepada si penghuni kubur. Ini sudah merupakan kesyirikan yang serupa dan telah diperbuat oleh umat jahiliyyah dahulu.

Jangankan untuk shalat di kuburan, shalat mengarah ke kuburan saja sudahharam hukumnya. Maksudnya, syari’at Islam tidak membolehkan sholat di tempat yang pada arah kiblatnya terdapat kuburan, lebih-lebih shalat di tempat yang sekelilingnya kuburan. Di antara perbuatan dalam shalat adalah duduk, maka duduk pun dilarang di kuburan. Maksudnya di tempat tanah pekuburan, meskipun tidak persis di atas kuburan. Sebagaimana dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya):

“Dari Abu Martsid al-Ghanawy radhiyallahu ‘anhu berkata:

Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:

‘Janganlah kamu duduk di atas kuburan dan jangan pula shalat menghadapnya’.

[HR.Muslim]

Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata:

“Setan memiliki cara yang amat halus dalam menyesatkan manusia. Pertama ia mengajak untuk berdoa di kuburan. Maka orang tersebut berdoa dengan khusyuk dan tunduk sepenuh hati serta merasa lemah tidak berdaya. Maka Allah mengabulkan permintaannya lantaran apa yang terdapat dalam hatinya bukan karena kuburan. Seandainya dia berdoa seperti itu ditempat-tempat yang kotor sekalipun tentu Allah akan mengabulkan doanya. Lalu orang bodoh mengira bahwa itu adalah karena kuburan.

Ketahuilah Allah azza wa jalla mengabulkan doa orang yang dalam kesulitan sekalipun orang kafir. Dan bukanlah setiap orang yang dikabulkan doanya berarti ia diridhoi dan dicintai Allah azza wa jalla atas perbuatannya. Sesungguhnya Allah azza wa jalla mengabulkan doa orang yang baik dan orang yang berdosa, orang mukmin dan orang kafir. Sebagian manusia berdoa dengan hal yang melampaui batas dan sesuatu yang dilarang, namun hal tersebut terkabul, maka ia mengira bahwa perbuatannya tersebut baik. 8

Tatkala setan berhasil mempengaruhi manusia dengan berasumsi bahwa berdoa di kuburan lebih baik daripada berdoa di kuburan di masjid dan dirumahnya. Setan memindahkannya kepada tingkat yang berikutnya yaitu bertawassul dengan orang mati, hal ini lebih berbahaya daripada hal yang sebelumnya.9

Tatkala setan berhasil pula mempengaruhi manusia bahwa bertawassul dengan orang mati lebih cepat terkabulkan permintaannya.

Setelah itu, setan memindahkannya pada tingkat berikutnya, yaitu meminta kepada orang mati itu sendiri.

Kemudian menjadikan kuburannya sebagai sesembahan dan tempat yang meminta. Lalu dinyalakan lampu disekelilingnya dan diberi kelambu, kemudian dilanjutkan membangun masjid diatasnya. Lalu sholawat, thowaf, menciumnya serta berhaji dan menyembelih hewan di sisinya.

Kemudian berlanjut lagi pada tingkat berikutnya yaitu dengan mengajak manusia untuk menyembahnya dan menjadikan sebagai tempat perayaan dan manasik. Mereka meyakini bahwa hal itu lebih bermanfaat bagi dunia dan akhirat mereka.”10

7. Membangun masjid dekat kuburan atau mengubur mayat di pekarangan masjid

Sebagian orang telah terjerumus ke dalam kebiasaan Ahli Kitab, mereka membangun masjid dekat kuburan orang-orang yang mereka anggap sholih. Atau menguburkannya di pekarangan masjid. Padahal larangan terhadap perkara tersebut dengan tegas telah dijelaskan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (yang artinya):

Dari Jundub ia berkata:

Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda lima hari sebelum beliau wafat:

‘Sesungguhnya orang-orang sebelum kalian menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih mereka sebagai masjid. Ketahuilah! Janganlah kalian menjadikan kuburan sebagai masjid, sesungguhnya aku melarang kalian dari hal itu’.

[HR.Muslim]

Dalam sabda beliau yang lain (yang artinya):

Dari Aisyah bahwa Ummu Salamah menyebutkan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sebuah gereja yang ia lihat di negeri Habasyah, yang diberi nama gereja Maria. Ia menceritakan bahwa ia melihat lukisan di dalamnya. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

‘Mereka adalah kaum yang bila meninggal seorang yang sholih di kalangan mereka, mereka membangun masjid di atas kuburannya dan membuat lukisan-lukisan tersebut di dalamnya. Mereka adalah makhluk yang paling jelek di sisi Allah’.”

[HR.Bukhari dan Muslim]

Dari kedua hadits diatas sangat jelas menegaskan tentang haramnya membangun masjid di atas tanah pekuburan. Barangsiapa melakukannya maka ia telah melanggar larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan Jundub radhiyallahu ‘anhu.

Orang yang melakukannya adalah makhluk yang paling jelek disisi Allah azza wa jalla sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha. Bahkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat orang yang membangun masjid di atas tanah kuburan. Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu saat detik-detik terakhir dari kehidupan beliau (yang artinya):

Dari Aisyah dan Abdullah ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhum, keduanya berkata:

‘Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam semakin merasakan sakit, beliau menutup mukanya dengan bajunya. Apabila sakitnya agak berkurang beliau membuka mukanya. Dalam kondisi seperti itu beliau bersabda:

‘Laknat Allah lah di atas orang Yahudi dan Nasrani yang menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid’.

[HR.Bukhari dan Muslim]

Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memperingatkan terhadap apa yang mereka perbuat. Di antara hikmahnya kenapa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan hal tersebut saat beliau akan wafat ialah agar umat ini jangan meniru apa yang dilakukan orang Yahudi dan Nasrani tersebut. Kuburan para nabi saja tidak boleh dijadikan masjid, apalagi kuburan selainnya!!

Dalam riwayat lain Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan (yang artinya):

Dari Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda dalam waktu sakit yang beliau yang wafat padanya:

‘Allah melaknat orang Yahudi dan Nasrani karena menjadikan kuburan nabi-nabi mereka sebagai masjid. Berkata Aisyah radhiyallahu ‘anha, kalau bukan karena itu tentulah mereka (para sahabat) menjadikan di tempat kuburannya, melainkan aku takut akan dijadikan masjid’.

[HR.Bukhari]

Hadits ini adalah diantara hadits-hadits yang terakhir yang diucapkan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dalam hidup beliau. Jadi tidak ada alasan bagi orang yang suka berkelit bahwa hadits tersebut mansukh. Kemudian Aisyah radhiyallahu ‘anha menyebutkan di antara hikmah dikuburnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam rumah beliau yaitu agar orang tidak mengkultuskan kuburan beliau.

Imam An-Nawawi rahimahullah berkata:

“Sesungguhnya larangan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menjadikan kuburannya dan kuburannya lainnya sebagai masjid karena khawatir timbulnya fitnah. Karena hal tersebut bisa membawa kepada kekufuran sebagaimana telah terjadi pada kebanyakan umat-umat yang lalu’.”11

8. Bertawasul dan beristighotsah dengan orang yang sudah mati

Ketika sebagian kaum muslimin tidak mengindahkan berbagai nasehat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang telah dijelaskan di atas, lalu setan menjerumuskan mereka kepada hal-hal yang membawa kepada kesyirikan. Sehingga sebagian orang yang telah memaknai lain terhadap kuburan. Mereka menjadikan kuburan sebagai mediator untuk berdoa, mereka bertawassul dan beristighotsah dengan orang mati.

Pada hakikatnya bertawassul itu terbagi kepada beberapa bentuk. Ada yang diperbolehkan dan ada pula yang terlarang.

Yang dibolehkan adalah

- bertawassul dengan nama dan sifat-sifat Allah azza wa jalla,
- bertawassul dengan amal sholih
- dan bertawassul dengan doa orang yang sholih yang hidup lagi hadir.

Yang terlarang adalah

- bertawassul dengan dzat dan Jaah (kedudukan) orang sholih,
- bertawassul dengan orang sholih yang hidup tetapi tidak hadir
- dan bertawassul dengan orang yang sudah mati.

Sebagian orang yang memahami dan mengira bahwa kehidupan para Nabi, orang yang mati syahid dan orang-orang sholih di alam Barzakh sama seperti kehidupan mereka di alam dunia. Mereka mengira bahwa Nabi atau orang sholih tersebut dapat mendengar doa mereka. Sehingga ketika mereka ditimpa masalah, mereka mendatangi kuburan para wali dengan maksud agar dibantu mencarikan jalan keluar dari kesulitan yang sedang mereka hadapi. Ada yang meminta jodoh, pekerjaan, dimudakan usahanya, disembuhkan penyakitnya dan seterusnya.

Jangankan setelah kematian para wali tersebut, sewaktu hidupnya saja para wali tersebut tidak mampu memenuhi permintaan mereka. Jika minta kekayaan kepada mereka, sewaktu hidupnya saja walinya mengumpulkan sedekah dari murid-muridnya. Jika minta disembuhkan dari penyakit, wali itu sendiri tidak mampu menyembuhkan penyakitnya sampai dirinya meninggal.

Kenapa kita tidak secara langsung meminta kepada Allah Yang Maha Pengasih, Maha Pemurah, Maha Kaya lagi Maha dekat dan Maha sempurna dalam segala sifat-sifatnya yang mulia. Sedangkan selain Allah azza wa jalla adalah makhluk yang memiliki kekurangan dan kelemahan dalam berbagai segi. Ia tidak dapat mendengar dari jarak jauh, apalagi setelah mati. Jika ia memiliki sesuatu untuk diberikan kepada orang lain, maka sungguh amat terbatas kualitas dan kuantitasnya. Adapun Allah Yang Maha Kaya mampu memberi segala apa yang diminta oleh hamba-Nya dan berapapun jumlahnya.

Kehidupan para Nabi dan Syuhada’ di alam barzakh adalah kehidupan yang amat jauh berbeda dengan kehidupan dunia. Tidak ada yang mengetahui kondisi dan hakikatnya. Maka tidak boleh meng-qiaskan antara kehidupan alam barzakh dengan kehidupan alam dunia ini.

Sebagaimana firman Allah azza wa jalla:

وَلَٰكِنْ لَا تَشْعُرُونَ

“Dan akan tetapi kalian tidak menyadarinya.”

[QS.al-Baqarah/2:154]

Maksud dari ayat tersebut adalah bahwa kalian tidakah mengetahui bagaimana keadaan sebenarnya melalui panca indra. Karena hanya Allah azza wa jall yang mengetahui hakikat kehidupan mereka para syuhada’ tersebut.

Tidak pernah kita temukan pada kehidupan para sahabat bahwa mereka bertawassul dan beristighotsah dengan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam apalagi dengan para sahabat yang telah meninggal. Sekalipun di antara mereka yang meninggal tersebut ada yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Demikian pula jika kita melihat doa-doa mustajab yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada sahabat beliau radhiyallahu ‘anhuma, tidak ada satupun dijumpai yang berkonteks tawassul dan beristighotsah dengan orang mati.

Jangankan untuk mengetahui kebutuhan orang lain, kelanjutan dari perjalanan hidup mereka sendiri setelah mati dan kapan dibangkitkan saja mereka tidak tahu. Sebagaimana firman Allah azza wa jalla:

وَالَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ لَا يَخْلُقُونَ شَيْئًا وَهُمْ يُخْلَقُونَ . أَمْوَاتٌ غَيْرُ أَحْيَاءٍ ۖ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Dan orang-orang yang mereka seru selain Allah, tidak menciptakan sesuatu apapun , sedangkan mereka sendiri diciptakan! Orang-orang mati tidak hidup, dan mereka tidak mengetahui bilakah mereka akan dibangkitkan.”

[QS.an-Nahl/16:20-21]

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ

“Katakanlah: Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghoib kecuali Allah, dan mereka tidak mengetahui bila mereka akan dibangkitkan.”

[QS.an-Naml/27:65]

Adapun dalil-dalil yang menyebutkan tentang si mayat dapat mendengar langkah orang yang mengantarkannya ke kubur tidak lah menunjukkan bahwa ia mendengar selama-lamanya. Namun pada hanya saat itu saja dan yang dapat ia dengar hanyalah suara langkah saja tidak semua apa yang ada di atas dunia. Kalau tidak demikian tentu mereka juga tersiksa dengan suara petir, hujan, angin kencang, suara binatang dan serangga yang ada di sekitar kuburnya serta segala hal yang memekakkan di dunia ini.

Wallahu A’lam.

Sumber: Al Qiyamah – Moslem Weblog, yang diketik ulang (dgn segala kekurangannya terutama tidak adanya teks dalam bahasa arab) dari Majalah AL FURQON Edisi Khusus 7 Th.ke-9 1430/2009 hal.42-46

Semoga bermanfaat bagi kami dan kaum muslimin..

Catatan Kaki:

  1. Lihat AR.al-Bukhari: 4/1873 (4636)
  2. Dinukil Imam an-Nawawi dalam Syarah Muslim: 7/27
  3. Tentunya yang menghancurkan disini bukanlah sembarang orang, tapi pemerintah kaum muslimin, yang memiliki kekuasaan untuk melakukannya. Dan hal ini pula yang dikatakan oleh al-Imam asy-Syafi’iy Råhimahullåh:

    Aku telah menyaksikan pemerintah menghancurkan bangunan yang dibangun di atas kuburan dan perbuatan tersebut tidak dicela para fuqaha ketika itu.

    (Lihat Al-Umm)

  4. Lihat Faidhul Qodir: 6/309
  5. Lihat HR.Bukhari: 1/457
  6. Lihat as Silsilah adh Dho’ifah: 3/397 (1246)
  7. Lihat as Silsilah adh Dho’ifah: 3/452 (1290)
  8. Lihat Ighatsatullahfaan: 1/215
  9. Lihat Ighatsatullahfaan: 1/216
  10. Lihat Ighatsatullahfaan: 1/217
  11. Lihat Syarah an-Nawawi: 5/13

Artikel Terkait:

  1. Kumpulan fatwa ‘ulama ahlus-sunnah tentang kuburan

Minggu, 11 April 2010

KEUTAMAAN HARI JUM'AT

Segala puji bagi Allah Rab semesta alam, shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Rasulullah beserta para keluarga, sahabat, dan orang-orang yang tetap istiqomah menegakkan risalah yang dibawanya hingga akhir zaman..

Wahai kaum muslimin ....Allah l telah menganugerahkan bermacam-macam keistimewaan dan keutamaan kepada umat ini. Diantara keistimewaan itu adalah hari Jum'at, setelah kaum Yahudi dan Nasrani dipalingkan darinya.
Abu Hurairah zmeriwayatkan, Rasulullah bersabda:

"Allah telah memalingkan orang-orang sebelum kita untuk menjadikan hari Jum'at sebagai hari raya mereka, oleh karena itu hari raya orang Yahudi adalah hari Sabtu, dan hari raya orang Nasrani adalah hari Ahad, kemudian Allah memberikan bimbingan kepada kita untuk menjadikan hari Jum'at sebagai hari raya, sehingga Allah menjadikan hari raya secara berurutan, yaitu hari Jum'at, Sabtu dan Ahad. Dan di hari kiamat mereka pun akan mengikuti kita seperti urutan tersebut, walaupun di dunia kita adalah penghuni yang terakhir, namun di hari kiamat nanti kita adalah urutan terdepan yang akan diputuskan perkaranya sebelum seluruh makhluk". (HR. Muslim)

Al-Hafidz Ibnu Katsir berkata: "Hari ini dinamakan Jum'at, karena artinya merupakan turunan dari kata al-jam'u yang berarti perkumpulan, karena umat Islam berkumpul pada hari itu setiap pekan di balai-balai pertemuan yang luas. Allah l memerintahkan hamba-hamba-Nya yang mukmin berkumpul untuk melaksanakan ibadah kepada-Nya. Allah l berfirman:

"Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui". (QS. 62:9)

Maksudnya, pergilah untuk melaksanakan shalat Jum'at dengan penuh ketenangan, konsentrasi dan sepenuh hasrat, bukan berjalan dengan cepat-cepat, karena berjalan dengan cepat untuk shalat itu dilarang. Al-Hasan Al-Bashri berkata: Demi Allah, sungguh maksudnya bukanlah berjalan kaki dengan cepat, karena hal itu jelas terlarang. Tapi yang diperintahkan adalah berjalan dengan penuh kekhusyukan dan sepenuh hasrat dalam hati. (Lihat Tafsir Ibnu Katsir : 4/385-386).

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah berkata: Hari Jum'at adalah hari ibadah. Hari ini dibandingkan dengan hari-hari lainnya dalam sepekan, laksana bulan Ramadhan dibandingkan dengan bulan-bulan lainnya. Waktu mustajab pada hari Jum'at seperti waktu mustajab pada malam lailatul qodar di bulan Ramadhan. (Zadul Ma'ad: 1/398).

KEUTAMAAN HARI JUM'AT

1. Hari Terbaik

Abu Hurairah z meriwayatkan bahwa Rasulullah y bersabada: "Hari terbaik dimana pada hari itu matahari terbit adalah hari Jum'at. Pada hari itu Adam diciptakan, dimasukkan surga serta dikeluarkan darinya. Dan kiamat tidak akan terjadi kecuali pada hari Jum'at

2. Terdapat Waktu Mustajab untuk Berdo'a.

Abu Hurairah z berkata Rasulullah y bersabda: " Sesungguhnya pada hari Jum'at terdapat waktu mustajab bila seorang hamba muslim melaksanakan shalat dan memohon sesuatu kepada Allah pada waktu itu, niscaya Allah akan mengabulkannya. Rasululllah y mengisyaratkan dengan tangannya menggambarkan sedikitnya waktu itu (H. Muttafaqun Alaih)

Ibnu Qayyim Al Jauziah - setelah menjabarkan perbedaan pendapat tentang kapan waktu itu - mengatakan: "Diantara sekian banyak pendapat ada dua yang paling kuat, sebagaimana ditunjukkan dalam banyak hadits yang sahih, pertama saat duduknya khatib sampai selesainya shalat. Kedua, sesudah Ashar, dan ini adalah pendapat yang terkuat dari dua pendapat tadi (Zadul Ma'ad Jilid I/389-390).

3. Sedekah pada hari itu lebih utama dibanding sedekah pada hari-hari lainnya.

Ibnu Qayyim berkata: "Sedekah pada hari itu dibandingkan dengan sedekah pada enam hari lainnya laksana sedekah pada bulan Ramadhan dibanding bulan-bulan lainnya". Hadits dari Ka'ab z menjelaskan: "Dan sedekah pada hari itu lebih mulia dibanding hari-hari selainnya".(Mauquf Shahih)

4. Hari tatkala Allah l menampakkan diri kepada hamba-Nya yang beriman di Surga.

Sahabat Anas bin Malik z dalam mengomentari ayat: "Dan Kami memiliki pertambahannya" (QS.50:35) mengatakan: "Allah menampakkan diri kepada mereka setiap hari Jum'at".

5. Hari besar yang berulang setiap pekan.

Ibnu Abbas z berkata : Rasulullah y bersabda:
"Hari ini adalah hari besar yang Allah tetapkan bagi ummat Islam, maka siapa yang hendak menghadiri shalat Jum'at hendaklah mandi terlebih dahulu ......". (HR. Ibnu Majah)

6. Hari dihapuskannya dosa-dosa

Salman Al Farisi z berkata : Rasulullah y bersabda: "Siapa yang mandi pada hari Jum'at, bersuci sesuai kemampuan, merapikan rambutnya, mengoleskan parfum, lalu berangkat ke masjid, dan masuk masjid tanpa melangkahi diantara dua orang untuk dilewatinya, kemudian shalat sesuai tuntunan dan diam tatkala imam berkhutbah, niscaya diampuni dosa-dosanya di antara dua Jum'at". (HR. Bukhari).

7. Orang yang berjalan untuk shalat Jum'at akan mendapat pahala untuk tiap langkahnya, setara dengan pahala ibadah satu tahun shalat dan puasa.

Aus bin Aus z berkata: Rasulullah y bersabda: "Siapa yang mandi pada hari Jum'at, kemudian bersegera berangkat menuju masjid, dan menempati shaf terdepan kemudian dia diam, maka setiap langkah yang dia ayunkan mendapat pahala puasa dan shalat selama satu tahun, dan itu adalah hal yang mudah bagi Allah". (HR. Ahmad dan Ashabus Sunan, dinyatakan shahih oleh Ibnu Huzaimah).

8. Wafat pada malam hari Jum'at atau siangnya adalah tanda husnul khatimah, yaitu dibebaskan dari fitnah (azab) kubur.

Diriwayatkan oleh Ibnu Amru , bahwa Rasulullah y bersabda:"Setiap muslim yang mati pada siang hari Jum'at atau malamnya, niscaya Allah akan menyelamatkannya dari fitnah kubur". (HR. Ahmad dan Tirmizi, dinilai shahih oleh Al-Bani).

Rabu, 07 April 2010

KITAB TAUHID

Assalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh

Segala puji bagi Allah Subhanahu wata’ala. Kita memuji, memohan pertolongan dan meminta ampun kepadaNya. Kita berlindung kepada Allah dari kejahatan diri dan keburukan amal perbuatan. Barang siapa diberi petunjuk oleh Allah Subhanahu wata’ala maka tidak ada yang bisa menyesatkannya, dan barang siapa disesatkan oleh Allah maka tidak ada yang bisa menunjukinya. Aku bersaksi bahwa tidak ada Tuhan yang berhak disembah selain Allah semata, tiada sekutu bagiNya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba dan RasulNya.

kitab TAUHID oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab At Tamimi

mari kita koreksi tauhid kita sudah benarkah tauhid kita...?


Daftar Isi



Sumber : http://adealam.wordpress.com/2010/01/05/kitab-tauhid/

Daftar Istilah dalam Kitab ini

‘Adh-h = ‘Idhah : Sihir, dusta, tindakan mengadu domba, menghasut dan memfitnah.

‘Adhih (ism fa’il) : Tukang sihir.

‘Adwa : Penjangkitan atau penularan penyakit.

‘Ain : Pengaruh jahat yang disebabkan oleh rasa dengki seseorang melalui matanya, kena mata.

‘Alaihissalam : Semoga salam sejahtera senantiasa dilimpahkan (Allah) kepadanya.

Allah akbar : Allah Maha besar.

Atsar : ada dua pengertian :

  1. Hadits

  2. Perkataan atau perbuatan yang dinisbatkan kepada sahabat atau tabi’in.


‘Azimah : Lihat ruqyah.

‘Azza wa Jalla : Maha Mulia dan Maha Agung.

Barzakh : Alam ghaib setelah manusia meninggal dunia sampai hari kiamat, atau alam kubur.

Dinar : Nama satuan uang, pada zaman Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang terbuat dari emas.

Dirham : Nama satuan uang, pada zaman Rasaulullah Shallallahu’alaihi wasallam yang lebih kecil nilainya daripada dinar, yang terbuat dari perak.

Fai’ : Harta yang diperoleh kaum muslimin dari musuh tanpa melalui peperangan, karena ditinggal lari oleh pemiliknya.

Fa’l : Perasaan optimis, harapan bernasib baik dan sukses.

Ghanimah : Harta yang diambil alih oleh kaum muslimin dari musuh mereka ketika dalam peperangan, rampasan perang.

Ghaul : Hantu (gendruwo), salah satu jenis jin.

Hadits : Tuntunan dan tradisi yang diajarkan Rasalullah Shallallahu’alaihi wasallam melalui sabda, sikap, perbuatan dan persetujuan beliau, sesuatu yang dinisbatkan kepada Nabi, baik berupa perkataan, perbuatan, sikap, atau persetujuan.

Hamah : Burung hantu.

Hasan : Hadits yang tingkatannya di bawah hadits shoheh, karena daya hafal atau kecermatan dan ketelitian orang yang meriwayatkannya masih kurang, tetapi bila banyak atau ada berbagai jalan dalam meriwayatkannya maka hadits tersebut meningkat menjadi shoheh.

Ibadah : Penghambaan diri kepada Allah Subhanahu wata’ala dengan mentaati segala perintahNya, dan menjauhi segala laranganNya, sebagaimana yang telah diajarkan Rasulullah, disertai dengan penuh rasa kerendahan hati dan penuh rasa cinta.

Iman : Ucapan hati dan lisan yang disertai dengan perbuatan, diiringi dengan ketulusan niat karena Allah, dan dilandasi dengan berpegang teguh kepada sunnah Rasulullah.

Isnad : Silsilah orang-orang yang meriwayatkan hadits dari Rasulullah.

Istinja’ : Bersuci atau membersihkan diri setelah buang hajat kecil atau besar.

Iyafah : Meramal nasib baik dengan menerbangkan burung, apabila terbang ke arah kanan berarti ada alamat baik. Sedang bedanya dengan thiyarah adalah kalau thiyarah itu meramal nasib buruk, atau merasa bernasib sial dengan melihat burung, hewan atau lainnya.

Jahiliyah : Kebodohan, yaitu suatu zaman yang ciri utamanya ialah mengagungkan selain Allah dengan disembah, dipuja, dipatuhi dan ditaati. Ciri lainnya kebobrokan mental dan kerusakan akhlak, seperti zaman sebelum Islam.

Ja’iz : Mubah, tidak dilarang dan tidak pula dianjurkan.

Jayyid : Suatu tingkatan sanad di atas hasan.

Jibt : Sihir, sebutan yang bisa digunakan untuk sihir, tukang sihir, tukang ramal, dukun, berhala dan yang sejenisnya.

Jizyah : Semacam pajak yang dipungut dari orang-orang non muslim yang mampu lagi dewasa, sebagai ganti daripada zakat yang dipungut dari orang-orang Islam, atas segala perlindungan dan ketentraman yang diberikan oleh kaum muslimin.

Al Khalil : Kekasih mulia, tingkatannya lebih tinggi daripada habib (kekasih).

Khamilah : Pakaian yang berbulu atau berbeludru, pakaian tersebut terbuat dari wool.

Khamisah : Pakaian yang terbuat dari dari wool atau sutera dengan sulaman yang indah lagi menarik.

Kunyah (baca : kun-yah) : Nama panggilan untuk kehormatan, seperti : Abu al–Abbas, Abu Abdillah, Abu Ahmad, dll. Biasanya diambil dari nama anak yang pertama.

Makruh : Sesuatu yang apabila dikerjakan kurang baik, tetapi apabila ditinggalkan akan mendapat pahala.

Marfu’ : Hadits yang disampaikan oleh Rasulullah, sesuatu yang dinisbatkan kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam baik itu berupa ucapan, perbuatan, sikap atau persetujuan, meskipun yang menisbatkan itu seorang sahabat atau tabi’in.

Mauquf : Sesuatu yang dinisbatkan kepada seorang sahabat, baik itu berupa ucapan, perbuatan atau persetujuan, perkataan yang diucapkan seorang sahabat atau perbuatan yang dilakukannya atau persetujuannya terhadap apa yang dilakukan seorang tabi’in.

Mufti : Orang yang memberikan fatwa atau petunjuk atas suatu masalah.

Nadzar : Ungkapan seseorang dengan ucapan bahwa ia akan melakukan sesuatu untuk Alloh jika tercapainya sesuatu baginya

Nau’ : Bintang, arti asalnya : tenggelamnya atau terbitnya suatu bintang.

Nusyrah : Tindakan untuk menyembuhkan atau mengobati orang yang terkena sihir dengan mantera atau jampi.

Qadha = qadar : Ketetapan ilahi, artinya bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini diketahui, dicatat, dikehendaki dan diciptakan oleh Allah.

Qunut : Membaca doa dalam shalat, dilakukan sebelum ruku’ atau sesudahnya pada rakaat terakhir, terutama pada waktu nazilah (dalam keadaan ada bahaya).

Radhiyallahu ‘anhu; ‘anha; ‘anhuma : Semoga Allah senantiasa melimpahkan keridhaan kepadanya (laki-laki, wanita, mereka berdua).

Risywah : Sogokan, uang semir, uang pelicin.

Riya’ : Melakukan suatu amal dengan cara tertentu supaya diperhatikan orang lain dan dipujinya, contohnya : seseorang melakukan shalat, lalu memperindah shalatnya ketika dia mengetahui ada orang lain yang memperhatikannya.

Ruqyah : Usaha penyembuhan suatu penyakit dengan pembacaan ayat-ayat Al Qur’an, doa-doa, atau mantera-mantera.

Sakrat al maut : Rasa pedih dan sakit yang dirasakan seseorang ketika dicabut nyawanya, sekarat.

Sanad : Lihat Isnad.

Shafar : Bulan kedua dalam tahun hijriyah, yaitu bulan sesudah bulan bulan muharram.

Shahih : Hadits yang diriwayatkan secara bersinambung oleh orang-orang yang terpercaya (prilaku, daya hafal dan kecermatannya) mulai dari awal sanad sampai yang terakhir, bebas dari suatu keganjilan atau sebab yang menjadikan hadits tersebut lemah.

Shallallahu ‘alaihi wasallam : Semoga Allah senantiasa melimpahkan shalawat dan salam sejahtera kepada beliau.

Subhanahu wa ta’ala : Maha suci Allah dan Maha tinggi.

Subhanallah : Maha suci Allah.

Syahadat : persaksian dengan hati dan lisan bahwa “Tiada sembahan yang hak selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, dengan mengerti maknanya dan mengamalkan apa yang menjadi tuntunannya, baik zhahir maupun batin.

Syafaat : Perantaraan, yaitu perantaraan yang akan dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam kepada Allah, dan hal itu dengan seizinNya, untuk meringankan beban umat manusia ketika di padang mahsyar (pada hari kiamat) dan inilah yang dinamakan syafaat al kubra (terbesar) atau disebut juga al Maqam al mahmud, untuk memasukkan ke dalam surga bagi mereka yang berhak mendapatkan surga, untuk tidak memasukkan ke neraka bagi ahli tauhid dari umatnya yang berdosa yang semestinya masuk neraka, untuk mengeluarkan dari neraka orang orang ahli tauhid yang berdosa yang sudah masuk neraka, untuk menambahkan pahala dan meningkatkan derajat bagi orang-orang penghuni surga, dan perantaraan kepada Allah untuk meringankan siksa bagi sebagian orang kafir dan ini khusus untuk paman beliau Abu Thalib.

Ta’ala : Maha Tinggi.

Ta’awwudz : Meminta perlindungan kepada Allah engan mengucapkan A’udzu billah min …” (aku berlindung kepada Allah dari …)

Tahmid : Memuji Allah ta’ala dengan mengucapkan “Alhamdulillah” (segala puji hanya milik Allah).

Tahrif : Menyelewengkan suatu nash dari Al Qur’an atau Hadits dengan merubah lafazhnya atau membelokkan maknanya dari makna yang sebenarnya.

Takbir : Mengagungkan Allah dengan mengatakan “Allah Akbar” (Allah Maha besar).

Takyif : Mempertanyakan bagaimana sifat Allah itu, atau menentukan bahwa hakekat sifat Allah itu begini atau begitu.

Tamimah : Sesuatu yang dikalungkan di leher anak-anak sebagai penangkal atau pengusir penyakit, pengaruh jahat yang disebabkan dari rasa dengki seseorang, dsb. Dan termasuk dalam hal ini apa yang dinamakan dengan haikal.

Tamtsil : Menyerupakan sifat Allah dengan sifat makhlukNya.

Tathayyur : Berfirasat buruk, merasa bernasib sial, atau meramal nasib buruk karena melihat burung, binatang lain, atau apa saja.

Ta’thil : Mengingkari seluruh atau sebagian sifat-sifat Allah. Sedang perbedaannya dengan tahrif, bahwa ta’thil tidak mengakui makna sebenarnya yang terkandung oleh suatu nash dari Al Qur’an atau Al Hadits. Adapun tahrif ialah merobah lafadznya atau memberikan tafsiran yang menyimpang dari makna sebenarnya yang dikandung oleh nash tersebut. Lihat tahrif.

Ta’wil : Ada tiga pengertian :

  1. hakekat atau kenyataan yang sebenarnya dari sesuatu perkataan atau berita. Seperti kata kata ta’wil yang tersebut dalam Al Qur’an 7 : 3, 53 : 7, 39 : 10, dan sebagainya.

  2. penafsiran, seperti kata kata para ahli tafsir : “ta’wil dari firman Allah …”, artinya : penafsiran dari firman Allah

  3. penyimpangan suatu kata dari makna yang sebenarnya ke makna yang lain. Dan inilah yang dimaksud dengan ta’wil yang sering disebutkan dalam pembahasan teologis.


Tiwalah : Guna-guna, sesuatu yang dibuat untuk supaya suami mencintai isterinya atau sebaliknya.

Thaghut : Setiap sesuatu yang diagungkan selain Allah dengan disembah, atau ditaati, atau dipatuhi, baik yang diagungkan itu batu, manusia, atau syetan.

Tharq : Meramal dengan membuat garis di atas tanah. Caranya antara lain, seperti yang dilakukan orang-orang Jahiliyah, yaitu : dengan membuat garis-garis yang banyak secara acak (sembarangan), lalu dihapus dua-dua, apabila yang tersisa dua garis itu tandanya akan sukses atau bernasib baik, tetapi apabila tinggal satu garis saja itu tandanya akan gagal atau bernasib sial.

Ulama : Ilmuwan, secara khusus : orang ahli dalam bidang agama Islam.

Umara’ : Pemimpin, penguasa.

Wada’ah : Sesuatu yang diambil dari laut, menyerupai rumah kerang, menurut anggapan orang-orang Jahiliyah bisa digunakan sebagai penangkal penyakit.

Keagungan Sholat dalam Islam

Penulis: Sofyan Chalid Bin Idham Ruray
حفظه الله تعالى وغفر له ولوالديه ولجميع المسلمين

Kewajiban sholat lima waktu adalah perkara yang disepakati oleh seluruh kaum Muslimin, namun sangat disayangkan realitanya masih banyak kaum Muslimin yang melalaikan kewajiban ini, bahkan meninggalkannya secara menyeluruh. Tidaklah hal ini terjadi kecuali karena semakin jauhnya ummat Islam dari ilmu al-Qur’an dan as-Sunnah serta bimbingan para Ulama. Padahal para Ulama telah sepakat akan besarnya dosa meninggalkan sholat dan bahaya yang akan menimpa pelakunya di dunia dan akhirat.

Berkata al-Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah: “(Ulama) kaum Muslimin tidak berbeda pendapat bahwa meninggalkan sholat wajib dengan sengaja termasuk dosa besar, dan bahkan dosanya di sisi Allah lebih besar dari dosa membunuh jiwa, dosa mengambil harta orang (tanpa alasan yang benar), dan juga lebih besar dari dosa zina, pencurian, minum khamar, dan bahwasannya perbuatan tersebut juga mengundang hukuman dan kemarahan Allah serta kehinaan di dunia dan akhirat.” (Kitabus Sholah wa Hukmu Tarikiha, hal. 29)

Sesungguhnya fenomena kaum yang melalaikan sholat ini telah diperingatkan Allah Ta’ala dalam firman-Nya:

فخلف من بعدهم خلف أضاعوا الصلاة واتبعوا الشهوات فسوف يلقون غيا

“Maka datanglah sesudah mereka, pengganti (yang jelek) yang menyia-nyiakan sholat dan memperturutkan hawa nafsunya, maka mereka kelak akan menemui kesesatan.” (Maryam: 59)

Makna menyia-nyiakan sholat dalam ayat ini bukanlah meninggalkan sholat sama sekali, sebab meninggalkan sholat lebih besar bahayanya, bahkan maknanya sebagaimana penjelasan Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, hanyalah sekedar menyia-nyiakan waktunya (lihat Syarhul Kabair lidz-Dzahabi, hal. 27)

Juga dalam firman-Nya:

فويل للمصلين ، الذين هم عن صلاتهم ساهون

“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang sholat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari sholatnya.” (Al-Ma’un: 4-5)

Demikian pula makna melalaikan sholat dalam ayat ini mencakup orang yang meninggalkan sholat secara menyeluruh maupun melalaikan pelaksanaannya dari yang semestinya.

Berkata al-Imam Ibnu Katsir rahimahullah: “(termasuk dalam kategori melalaikan sholat) apakah melalaikannya dari awal waktunya, yaitu mereka selalu mengakhirkan waktu sholat atau kebanyakan waktunya, ataukah melalaikannya dari pelaksanaannya dengan benar, yaitu dengan memenuhi rukun-rukun sholat dan syarat-syarat sholat sebagaimana yang diperintahkan (oleh Allah Ta’ala), ataukah melalaikannya dari khusyu’ dalam sholat dan mentadabburi makna-makna sholat. Sedang teks ayat ini mencakup semua bentuk pelalaian tersebut. Dan barangsiapa malakukan satu bentuk pelalaian tersebut maka dia mendapatkan bagian (ancaman) dari ayat ini, dan barangsiapa yang melakukan semua bentuknya maka sempurnalah bagian ancaman terhadapnya dan lengkaplah pula sifat munafik ‘amaly dalam dirinya, sebagaimana dalam Ash-Shahihain bahwa Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

"تلك صلاة المنافق، تلك صلاة المنافق، تلك صلاة المنافق، يجلس يَرْقُب الشمس، حتى إذا كانت بين قرني الشيطان قام فنقر أربعا لا يذكر الله فيها إلا قليلا"

'Itulah sholatnya munafik, itulah sholatnya munafik, itulah sholatnya munafik, yaitu dia (hanya) duduk memperhatikan matahari, sampai ketika matahari berada pada kedua tanduk syaithon (hampir terbenam) maka diapun bangkit lalu mematuk sebanyak empat (raka’at) dalam keadaan dia tidak mengingat Allah dalam sholatnya tersebut kecuali sedikit'.” (Tafsir Ibnu Katsir 8/493)

Oleh karenanya kita berkewajiban untuk menasehati saudara-saudara kita kaum Muslimin agar lebih memperhatikan perkara sholat lima waktu.


Kedudukan Sholat

Asy-Syaikh Rabi’ Bin Hadi Al-Madkhali hafizhahullah menerangkan: “Sesungguhnya sholat merupakan perkara yang agung dalam Islam dan memiliki kedudukan yang tinggi di sisi Allah Ta’ala, di sisi Rasul-Nya dan orang-orang yang beriman, yaitu merupakan rukun kedua dari rukun Islam setelah dua kalimat syahadat. Dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma, bahwasanya Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

بُني الإسلام على خمس: شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمداً رسول الله وإقام الصلاة وإيتاء الزكاة وصوم رمضان وحج البيت لمن استطاع إليه سبيلا

'Islam dibangun di atas lima rukun: bersaksi bahwasannya tiada yang berhak disembah kecuali Allah dan Muhammad adalah utusan Allah; mendirikan sholat; menunaikan zakat; berpuasa pada bulan ramadhan; berhaji ke baitullah bagi yang mampu'.” (Makanatus Sholah fil Islam wa Atsaruhat Thoyibah, hal. 1)

Karena pentingnya sholat, sampai-sampai tidak ada alasan apapun untuk meninggalkan sholat, kecuali wanita yang haid atau nifas dan orang gila atau mati. Sholat lima waktu tetap wajib ditegakkan dalam keadaan bagaimana pun juga, baik dalam keadaan perang maupun aman, ketika safar maupun muqim, saat sibuk maupun lapang, ketika kaya maupun miskin, saat sehat maupun sakit, separah apapun sakitnya, ada air maupun tidak, apakah mampu menggunakan air atau tidak, serta tidak pula dengan alasan lupa atau tertidur.

Karena Allah yang Maha Penyayang dalam syari’at-Nya yang mulia ini telah memberikan keringanan-keringanan dalam pelaksanaan sholat, seperti bolehnya menjamak sholat (dengan sebab tertentu), bolehnya menqoshor sholat ketika safar (yaitu meringkas sholat yang tadinya empat raka'at menjadi dua raka'at), bolehnya bertayamum sebagai ganti wudhu’ dan mandi wajib ketika tidak ada air atau tidak mampu menggunakan air, bolehnya sholat sambil duduk atau berbaring bagi yang tidak mampu berdiri atau karena sakit, serta bolehnya mengqodho’ sholat yang terlewat waktunya karena tertidur atau lupa (yaitu tetap wajib melaksanakan sholat tersebut meski telah keluar dari waktunya jika karena lupa atau tertidur).

Demikianlah, betapa pentingnya sholat sehingga Allah Ta’ala menjelaskan diantara sifat orang-orang yang beriman penghuni surga adalah:

وَالَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَوَاتِهِمْ يُحَافِظُونَ

“Dan orang-orang yang menjaga sholatnya.” (Al-Mu’minun: 9)

الَّذِينَ هُمْ عَلَى صَلَاتِهِمْ دَائِمُونَ

“Yang mereka itu senantiasa mengerjakan sholatnya.” (Al-Ma’arij: 23)

Sebaliknya, diantara sebab diadzabnya penghuni neraka karena meninggalkan sholat:

ما سلككم في سقر ، قالوا لم نك من المصلين

“Apakah yang menyebabkan kalian masuk ke dalam neraka saqor, mereka menjawab, kami dahulu tidak termasuk orang-orang yang mengerjakan sholat.” (Al-Mudatsir: 42-43)


Keutamaan Sholat

Diantara keutamaan sholat yang akan diraih seorang hamba apabila dia menjaga sholatnya dan menjauhi dosa-dosa besar adalah terhapusnya kesalahan-kesalahan. Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam bersabda:

أرأيتم لو أن نهراً بباب أحدكم يغتسل منه كل يوم خمس مراتٍ هل يبقى من درنه شيءٌ قالوا لا يبقى من درنه شيءٌ قال فذلك مثل الصلوات الخمس يمحو الله بهن الخطايا

“Bagaimana pendapat kalian seandainya di depan pintu seorang dari kalian ada sungai yang dia mandi darinya setiap hari lima kali, apakah masih tersisa kotorannya walau sedikit? Para Sahabat menjawab, ‘tidak tersisa kotorannya sedikitpun’. Beliau bersabda: 'Demikianlah sholat lima waktu, dengannya Allah Ta’ala menghapus kesalahan-kesalahan'.” (Muttafaqun ‘alaihi dari Abu Hurairoh radhiyallahu’anhu)

Bahkan sholat adalah amalan pertama yang akan diadili pada hari kiamat dan menjadi penentu bagi baiknya amalan-amalan yang lain. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إن أول ما يحاسب به العبد يوم القيامة من عمله الصلاة فإن صلحت فقد أفلح و أنجح و إن فسدت فقد خاب و خسر و إن انتقص من فريضة قال الرب انظروا هل لعبدي من تطوع ؟ فيكمل بها ما انتقص من الفريضة ثم يكون سائر عمله على ذلك

“Sesungguhnya amalan pertama seorang hamba yang akan diadili pada hari kiamat adalah sholat, jika baik sholatnya maka dia telah menang dan selamat, namun jika rusak sholatnya maka dia telah celaka dan merugi. Dan jika kurang (sholat) wajibnya, Allah berfirman, 'lihatlah apakah hamba-Ku memiliki (sholat) sunnah?' Maka dengan (sholat) sunnah tersebut disempurnakanlah (sholat) wajibnya, kemudian semua amalan dihisab seperti itu.” (HR. Tirmidzi no. 413, dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ no. 2020)

أول ما يحاسب عليه العبد يوم القيامة الصلاة فإن صلحت صلح سائر عمله وإن فسدت فسد سائر عمله

“Amalan pertama seorang hamba yang akan dihisab pada hari kiamat adalah sholat, jika baik sholatnya maka baik pula seluruh amalannya, namun jika rusak sholatnya maka rusak pula seluruh amalannya.” (HR. Thabrani dalam al-Aushat, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 376)

Hukum Meninggalkan Sholat

Orang yang maninggalkan sholat ada dua bentuknya:

Pertama, orang yang meninggalkan sholat dan sekaligus mengingkari, membenci atau menentang kewajiban sholat. Bentuk yang pertama ini telah sepakat para Ulama akan kafirnya orang tersebut, bahkan meskipun dia melaksanakan sholat secara zhahirnya, namun jika bathinnya mengingkari, membenci atau menentang kewajiban sholat, orang tersebut tetaplah kafir, kecuali orang yang baru masuk Islam yang belum mengerti dengan kewajiban sholat.

Kedua, orang yang meninggalkan sholat karena lalai atau malas. Bentuk yang kedua ini terdapat perbedaan pendapat para Ulama akan kekafirannya (lihat Nailul Authar 1/369).

Asy-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-‘Utsaimin rahimahullah menjelaskan dalam risalah Beliau “Hukmu Tarikis Sholah”, bahwa:
Pendapat al-Imam Ahmad tentang orang yang meninggalkan sholat (dengan segala bentuknya) adalah kafir dan keluar dari agama Islam (murtad), hukumannya adalah dibunuh (karena telah murtad) jika tidak mau bertaubat dan melaksanakan sholat kembali.

Adapun pendapat al-Imam Abu Hanifah, Malik dan asy-Syafi’i tentang orang yang meninggalkan sholat adalah fasik (pelaku dosa besar) dan tidak sampai kafir. Kemudian mereka berbeda pendapat tentang hukumannya; pendapat al-Imam Malik dan asy-Syafi’i bahwa hukumannya adalah dibunuh sebagai had (bukan karena murtad, tapi hanya seperti hukumannya pezina yang pernah menikah). Sedangkan pendapat al-Imam Abu Hanifah hukumannya terserah kepada hakim dan tidak sampai dibunuh.
Kemudian Asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah menguatkan pendapat al-Imam Ahmad, yaitu kafirnya orang yang meninggalkan sholat dengan segala bentuknya, berdasarkan dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah serta pendapat para Sahabat radhiyallahu’anhum, diantaranya firman Allah Ta’ala:

“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudaramu seagama.” (At-Taubah: 11)

Sisi pendalilannya adalah: dalam ayat ini Allah Ta’ala menjadikan sholat sebagai syarat ukhuwah dalam agama. Adapun dalil dari as-Sunnah, sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam dalam dua hadits berikut ini:

“Sesungguhnya (batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekafiran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu‘anhuma)

“Perjanjian antara kami dengan mereka adalah sholat, barangsiapa yang meninggalkannya maka dia telah kafir.” (HR. Tirmidzi no. 2621, dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Misykatul Mashabih no. 574)

Berkata seorang Tabi’in yang mulia, Abdullah bin Syaqiq rahimahullah:
“Dahulu para Sahabat Muhammad shallallahu’alaihi wa sallam tidak melihat suatu amalan yang apabila ditinggalkan merupakan kekufuran, kecuali sholat.” (HR. Tirmidzi, no. 2622, dishohihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shohihut Targhib, no. 565)


Hukum Sholat Jama’ah

Asy-Syaikh al-‘Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan bahwa para Ulama telah sepakat akan disyari’atkannya sholat jama’ah, namun mereka berbeda pendapat akan hukumnya menjadi empat pendapat:

Pertama: Fardhu ‘ain.
Kedua: Fadhu kifayah.
Ketiga: Sunnah mu’akkadah.
Keempat: Syarat sahnya sholat.

Kemudian beliau menguatkan bahwa yang benar adalah pendapat pertama, yaitu hukum sholat jama’ah (bagi laki-laki) adalah fardhu ‘ain, barangsiapa yang meninggalkannya dengan sengaja maka dia berdosa namun sholatnya tetap sah. Setelah itu beliau menjelaskan kelemahan-kelemahan pendapat yang lainnya (lihat Asy-Syarhul Mumti’ 4/59).

Adapun dalil-dalil wajibnya sholat jama’ah dari al-Qur’an, as-Sunnah dan amalan para Sahabat adalah sebagai berikut.

Dalil dari al-Qur’an, diantaranya firman Allah Ta’ala:

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلاَةَ فَلْتَقُمْ طَآئِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ أَسْلِحَتَهُمْ فَإِذَا سَجَدُواْ فَلْيَكُونُواْ مِن وَرَآئِكُمْ وَلْتَأْتِ طَآئِفَةٌ أُخْرَى لَمْ يُصَلُّواْ فَلْيُصَلُّواْ مَعَكَ وَلْيَأْخُذُواْ حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan sholat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat besertamu) telah sujud (telah selesai sholat), maka hendaklah datang golongan yang kedua yang belum sholat, lalu sholatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata…”. (QS. An-Nisa’: 102)

Ayat ini menjelaskan tentang tata cara sholat ketika perang, yaitu sholat khauf (dalam keadaan takut), bahwasannya Allah Ta’ala memerintahkan sholat berjama’ah meski dalam keadaan khauf, sedang ‘perintah’ hukum asalnya adalah ‘wajib’ dan ia tetap pada hukum asal tersebut selama tidak ada dalil yang memalingkan dari hukum asalnya.

Sedangkan dalil dari As-Sunnah dan atsar Sahabat, diantaranya:

عن ابن أم مكتوم - رضي الله عنه- أنه سأل النبي صلى الله عليه وسلم فقال: يا رسول الله، إني رجل ضرير البصر، شاسع الدار، ولي قائد لا يلائمني، فهل لي رخصة أن أصلي في بيتي؟ قال: هل تسمع النداء؟ قال: نعم، قال: لا أجد لك رخصة

Dari Abdullah bin Ummi Maktum radiyallahu’anhu bahwasannya dia bertanya kepada Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, “wahai Rasulullah, sesungguhnya aku seorang lelaki buta, rumahku jauh (dari masjid), dan penuntunku tidak selalu menemaniku, apakah ada keringanan bagiku untuk sholat di rumahku?” Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam mengatakan, “apakah kamu mendengar adzan”, dia menjawab “ya”, beliau bersabda, “saya tidak mendapati keringanan untukmu.” (HR. Abu Daud no. 552, dishohihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam Shohih Abi Daud no. 561)

Dari Abdullah bin Mas’ud radiyallahu’anhu dia berkata, “barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah besok (hari kiamat) dalam keadaan muslim maka hendaklah dia menjaga sholat lima waktu dengan melaksanakannya di tempat dikumandangkan adzan, karena sesungguhnya Allah telah mensyari’atkan kepada Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam jalan-jalan hidayah, sedang sholat lima waktu berjama’ah adalah termasuk jalan-jalan hidayah tersebut. Dan seandainya kalian sholat di rumah-rumah kalian -sebagaimana sholatnya orang yang meninggalkan ini di rumahnya-, maka sungguh kalian telah meninggalkan petunjuk Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam, sedang jika kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian shallallahu’alaihi wa sallam maka kalian pasti tersesat. Dan tidaklah ada seorang bersuci dengan baik, kemudian dia bermaksud ke masjid kecuali Allah menuliskan baginya pada setiap langkahnya satu kebaikan, dan mengangkat satu derajatnya, serta menghapus satu kesalahannya (dengan setiap satu langkahnya). Dan sungguh aku melihat kami (para Sahabat), tidaklah ada yang meninggalkan sholat jama’ah kecuali (kami menganggapnya) seorang munafik yang jelas kemunafikannya, bahkan dahulu seorang (sahabat yang sakit) didatangkan (ke masjid) dengan dibopong oleh dua orang sampai diberdirikan ke dalam shaf.” (HR. Muslim, no. 1520)

Adapun bagi wanita maka hukumnya boleh sholat jama’ah di masjid (tentu dengan syarat memperhatikan adab-adab Islami), namun sholatnya wanita di rumahnya itu lebih baik (lihat Asy-Syarhul Mumti’ 4/60).

Berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu’alaihi wa sallam:

لا تمنعوا نساءكم المساجد و بيوتهن خير لهن

“Janganlah kalian melarang wanita-wanita kalian mendatangi masjid-masjid (untuk sholat), dan (sholatnya mereka) di rumah-rumah mereka itu lebih baik bagi mereka.” (HR. Hakim no. 755, dishohihkan Syaikh Al-Albani dalam Shohihul Jami’ no. 7458)

Demikianlah penjelasan ringkas seputar pentingnya sholat dalam kehidupan seorang muslim, semoga kita dianugerahkan Allah kemampuan untuk selalu mengamalkannya dalam keadaan bagaimana pun juga.

Wallohu Ta'ala A'la wa A’lam wa huwal Muwaffiq.

Potret Sholat Jama’ah dalam Kehidupan Salaf (Generasi Awal Ummat Islam)

Sholat merupakan perkara penting dalam kehidupan para salaf. Ia memiliki pengaruh yang sangat mendalam dalam kehidupan mereka. Sehingga sholat jama’ah merupakan aktifitas rutin yang membahagiakan dan menyejukkan hati serta menerangi jiwa mereka. Hati mereka bagaikan gulita, jika luput mengerjakan sholat jama’ah. Bahkan sholat jama’ah selalu terngiang-ngiang dalam benak mereka.

Pentingnya sholat jama’ah dalam kehidupan salaf sulit digambarkan dengan suatu ekspresi, dan susah dijelaskan manisnya sholat jama’ah bagi pribadi mereka. Kita Cuma bisa menggambarkan urgensi dan kedudukan sholat jama’ah di sisi para salaf dengan meneropong kehidupan mereka lewat atsar-atsar yang dinukil dan dibukukan oleh para ulama’ kita.

Meninggalkan Sholat Jama’ah Ciri Orang Munafik

Di zaman Nabi –Shollallahu alaihi wa sallam- dan para sahabatnya, sholat jama’ah merupakan perkara yang amat diperhatikan. Mereka takut tertimpa penyakit munafiq jika meninggalkan sholat jama’ah, karena orang-orang munafik malas melaksanakan sholat jama’ah.

Allah –Ta’ala- berfirman,

”Sesungguhnya orang-orang munafik itu menipu Allah, dan Allah akan membalas tipuan mereka, dan apabila mereka berdiri untuk shalat mereka berdiri dengan malas. Mereka bermaksud riya (dengan shalat) di hadapan manusia. dan tidaklah mereka menyebut Allah kecuali sedikit sekali”. (QS.An-Nisaa’: 14)

Abul Fida’ Isma’il Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata ketika menafsirkan ayat ini, “Inilah sifatnya orang-orang munafiqin dalam amalan yang paling mulia, paling utama, dan paling baik-yaitu sholat-, jika mereka berdiri untuk sholat. Mereka berdiri dalam keadaan malas sholat. Karena mereka tidak memiliki niat (maksud keinginan) untuk sholat, tidak pula memiliki keimanan tentangnya, dan tidak pula mereka memiliki rasa takut (kepada Allah), serta mereka tidak memahami maknanya”.[Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Azhim (1/743)]

Jadi, kebiasaan orang-orang munafiq adalah malas mendirikan sholat di masjid bersama jama’ah kaum muslimin karena mereka tak memahami hakekat sholat jama’ah. Mereka tak tahu bahwa sholat jama’ah merupakan jalan-jalan petunjuk yang telah ditetapkan oleh Allah melalui lisan Rasul-Nya, Muhammad –Shollallahu alaihi wa sallam-.

Sahabat Anas bin Malik–radhiyallahu anhu- berkata,

مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِيْ بُيُوْتِكُمْ كَمَا يُصَلِّيْ هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِيْ بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطَّهُوْرَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خُطْوَةٍ يَخْطُوْهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُوْمُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ

“Barangsiapa yang ingin bergembira menemui Allah besok dalam keadaan muslim, maka jagalah sholat-sholat itu tatkala dikumandangkan. Karena Allah telah mensyari’atkan sunanul huda (jalan-jalan petunjuk) bagi Nabi kalian -Shollallahu ‘alaihi wasallam-, dan sesungguhnya dia (sholat-sholat wajib) itu merupakan sunanul huda (jalan-jalan petunujuk). Andaikan kalian sholat (fardhu) di rumah kalian sebagaimana orang (munafiq) yang tinggal di rumahnya, maka kalian telah meninggalkan sunnah (petunjuk) Nabi kalian. Andaikan kalian meninggalkan petunjuk Nabi kalian, maka kalian akan sesat. Tak ada seorang pun yang bersuci, lalu ia memperbaiki bersucinya, kemudian ia ke masjid di antara masjid-masjid, melainkan Allah akan tuliskan kebaikan bagi setiap langkah yang ia ayunkan, Dia (Allah) akan mengangkat derajat orang itu dengannya, dan menghapus dosanya dengannya. Kami telah menyaksikan orang-orang diantara kami, tak ada yang tertinggal dari sholat jama’ah, kecuali orang munafiq yang nyata kemunafiqannya. Sungguh ada seorang laki-laki didatangkan sambil dipapadi antara dua orang sampai ia ditegakkan dalam shaf” . [HR.Muslim dalam Kitab Al-Masajid wa Mawadhi' Ash-Sholah(654), dan Ibnu Majah dalam Kitab Al-Masajid wa Al-Jama'at (777)]

An-Nawawiy-rahimahullah- berkata, “Dalam perkara ini semua terdapat penekanan masalah sholat jama’ah, menanggung penderitaan dalam menghadirinya, dan bahwa jika seorang yang sakit dan semacamnya mungkin sampai kepada sholat jama’ah, maka dianjurkan untuk menghadirinya”. [Lihat Syarh Shohih Muslim (5/159)]

Jadi, Sholat jama’ah merupakan ciri khas seorang mukmin. Tak ada yang meninggalkannya, kecuali orang-orang munafiq yang dikuasai oleh setan. Nabi -Shollallahu alaihi wa sallam- bersabda, “Tidaklah tiga orang dalam suatu kampung dan pedalaman, yang tidak ditegakkan diantara mereka sholat, kecuali setan akan menguasai mereka. Lazimilah (sholat) jama’ah, karena serigala akan memangsa kambing yang jauh (sendirian)”. [HR. Abu Dawud dalam As-Sunan (547), An-Nasa’iy dalam As-Sunan (847). Di-hasan-kan Al-Albaniy dalam Shohih Al-Jami' (5577)]

Perhatikan bagaimana kehidupan para sahabat dalam menjaga sholat jama’ah, sampai ada orang sakit yang dipapa, dituntun diantara dua orang demi menghadiri sholat jama’ah. Mereka bukanlah seperti orang-orang di zaman kita ini, mereka malah berbangga meninggalkan sholat jama’ah, dan sebaliknya canggung menghadirinya karena dalih “kolot”. Dia menganggap orang-orang yang menghadiri sholat jama’ah sebagai orang-orang kolot karena masih saja mau mengikuti para sahabat. Semoga Allah tidak memperbanyak jumlah orang seperti ini, dan memberi petunjuk kepada mereka. Bagaimana sampai ia anggap mengikuti generasi terbaik di sisi Allah sebagai perbuatan kolot, Nas’alullahal ‘afiyah minal khudzlan.

Bersegera menuju Masjid

Diantara tanda yang menunjukkan tingginya semangat dan perhatian salaf dalam menjaga sholat jama’ah, mereka bersegera menuju masjid sebelum adzan dikumandangkan. Lembaran-lembaran sejarah emas telah mengisahkan semangat mereka tersebut. Coba kita membuka sebagian kitab sejarah islamiyyah, niscaya kita akan menemukan sosok yang sholeh dan bersemangat tinggi dalam mengikuti sunnah.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqolaniy–rahimahullah- berkata: “Tidaklah dikumandangkan (adzan) sholat sejak 40 tahun lalu, kecuali Sa’id ibnul Musayyib sudah berada di dalam masjid”. [Lihat Tahdzib At-Tahdzib (4/87)]

Apa yang diceritakan Al-Hafizh, juga telah diakui sendiri oleh Sa’id ibnul Musayyib -rahimahullah- tatkala beliau berkata, “Aku tak pernah mendengarkan adzan di tengah keluargaku sejak 30 tahun”. [Lihat Ath-Thobaqot Al-Kubro (5/131) karya Ibnu Sa’d]

Adat kebiasaan yang baik seperti ini bukan hanya dilakukan oleh Sa’id ibnul Musayyib, akan tetapi juga dilakukan oleh salaf lainnya. Sekarang kita dengarkan Abul Asy’Ats Robi’ah bin Yazid Ad-Dimasyqiy -rahimahullah- berkata, “Mu’dzdzin tidak pernah mengumandangkan adzan shubuh sejak 40 tahun, kecuali aku berada di masjid; kecuali aku sakit atau musafir”.[LihatRiyadh An-Nufus(1/84) via Ahammiyah Sholah Al-Jama’ah, (hal.75)]

Tidak Luput dari Takbirotul Ihram

Sholat jama’ah di dalam jiwa para salaf merupakan perkara yang sangat penting. Mereka adalah suatu generasi yang rela meninggalkan segala kehidupannya demi menghadiri munajatnya bersama Robbnya, bukan seperti sebagian orang yang rela meninggalkan sholat jama’ahnya demi kehidupan yang fana.

Al-Qodhi Taqiyyuddin Sulaiman–rahimahullah- berkata, “Aku tak pernah melaksanakan sholat dalam keadaan sendirian sama sekali, kecuali dua kali saja. Seakan-akan aku tidak melaksanakan sholat itu sama sekali”.Lihat Dzail Thobaqot Al-Hanabilah (2/365)

Waqi’ ibnul Jarroh Ar-Ru’asiy-rahimahullah- berkata, “Dulu Al-A’masy hampir 70 tahun tak pernah luput dari takbir pertama” Lihat As-Siyar (6/228)]

Demikianlah seorang muslim yang gemar ibadah. Dia bersegera menuju ke masjid demi mengejar keutamaan shof pertama dan bertakbirotul ihram bersama imam. Al-Hafizh Adz-Dzahabi -rahimahullah- berkata, “Yahya ibnul Qoththon apabila menyebut Al-A’masy, ia berkata: “Al-A’masy adalah seorang ahli ibadah , dan ia menjaga sholat jama’ahnya dan shof pertama. Dia adalah ulama’ Islam”.[Lihat Siyar A’lam An-Nubala’ (2/232)]

Muhammad bin Sama’ah -rahimahullah- berkata, “Aku telah hidup selama 40 tahun, sedang aku tak pernah luput dari takbir pertama, kecuali satu hari saja ketika itu ibuku meninggal. Akhirnya akupun tertinggal satu kali sholat jama’ah”. [Lihat Tahdzib At-Tahdzib (9/204)]

Sampai disana ada seorang salaf yang bernama Ibrohim bin Yazid -rahimahullah- pernah berkata, “Apabila engkau melihat seorang meremehkan takbir pertama, maka bercuci tanganlah (berlepas tanganlah) darinya”.[Lihat Siyar Al-A’lam(5/62)]

Tinggalkan Pekerjaan Saat Adzan Terdengar

Bekerja untuk mencari nafkah adalah kewajiban seorang ayah dan kepala rumah. Namun kewajiban seperti ini tidaklah menghalangi paara salaf untuk menunaikan kewajiban yang lebih tinggi lagi, yaitu sholat jama’ah. Karena sholat jama’ah adalah hak Allah Robbul alamin atas para hambanya.

Tak heran jika disana ada seorang salaf yang menghentikan aktivitasnya detik itu juga jika mendengarkan adzan. Yahya bin Ma’in -rahimahullah- berkata ketika menceritakan perihal kehidupan Ibrohim bin Maimun Ash-Sho’igh-rahimahullah-, “Apabila dia (Ibrohim bin Maimun Ash-Sho’igh ) mengangkat palu, lalu ia mendengarkan adzan, maka beliau tidak mengembalikannya (tidak memukulkannya)”.[Lihat Tahdzib At-Tahdzib(1/173)]

Para salaf adalah suatu kaum yang tidak dilalaikan oleh kehidupan dunianya sehingga rela menyia-nyiakan hak Robbnya. Sebab mereka tahu bahwa mereka akan menghadap Allah dengan membawa pahala sholat yang pertama kali akan dipertanggung jawabkan di hadapan-Nya -Azza wa Jalla-.

Adz-Dzahabiy menyebutkan dalam sebuah kitabnya bahwa, “Al-Aswad, apabila hadir waktu sholat, maka beliau menderumkan ontanya walaupun pada sebuah batu”.[Lihat Siyar A’lam An-Nubala’(4/53) karya Adz-Dzahabiy ]

Bulan Madu Bukan Rintangan

Bulan madu bukanlah merupakan suatu penghalang bagi para salaf dalam menunaikan dan mendahulukan hak Robb mereka. Bahkan ada di antara mereka yang rela meninggalkan istrinya demi melaksanakan sholat jama’ah. Mereka bukanlah seperti generasi masa kini, jika datang malam pengantin sedang mereka berbulan madu bersama istrinya, maka mereka tak rela bangun melaksanakan sholat Ashar atau sholat shubuh demi menyenangkan dan memuaskan syahwat belaka. Mereka lupa bahwa istri hanyalah perhiasan belaka dan penolong dalam ketaatan, bukan penolong dalam kedurhakaan kepada Allah. Mereka lupa akan hari kiamat saat tegaknya semua manusia dari Adam sampai manusia terakhir di hadapan Allah Al-Hakim (Sang Maha Bijaksana) untuk menghukumi, dan memutuskan segala tindak-tanduk makhluknya ketika di atas permukaan bumi ini. Ketika itulah Allah akan menampakkan segala yang tersembunyi sampai seorang yang bersembunyi dan berselimut bersama keluarganya akan dinampakkan oleh-Nya demi menanyakan segala perbuatannya.

Perkara ini betul-betul dipahami oleh para salafush sholeh. Hal itu nampak pada diri dan perbuatan mereka. Sekarang perhatikan, dulu ada seorang salaf bernama Simak bin Harb -rahimahullah- berkata,

تَزَوَّجَ الْحَارِثُ بْنُ حَسَّانٍ – وَكَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ – وَكَانَ الرَّجُلُ إِذْ ذَاكَ إِذَا تَزَوَّجَ تَخَدَّرَ أَيَّامًا فَلاَ يَخْرُجُ لِصَلَاةِ الْغَدَاةِ فَقِيْلَ لَهُ : أَتَخْرُجُ وَإِنَّمَا بَنَيْتَ بِأَهْلِكَ فِيْ هَذِهِ الَّيْلَةِ ؟ قَالَ : وَاللهِ إِنِ امْرَأَةٌ تَمْنَعُنِيْ مِنْ صَلَاةِ الْغَدَاةِ فِيْ جَمِيْعِ لَامْرَأَةُ سُوْءٍ

“Al-Harits bin Hassan –radhiyallahu anhu- telah menikah -dan beliau memiliki persahabatan (dengan Nabi –Shollallhu alaihi wasallam-) Dahulu seorang laki-laki jika telah menikah, maka ia tinggal (di rumahnya) dalam beberapa hari. Lalu beliau ditanya, “Apakah engkau akan keluar (pergi sholat shubuh), padahal engkau berbulan madu dengan istrimu di malam ini?” Maka beliau menjawab: “Demi Allah, Jika ada seorang istri yang menghalangi aku dari sholat shubuh bersama jama’ah, maka ia sungguh istri yang buruk”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Al-Kabir (3324)]

Demikian nilai sholat jama’ah di sisi para salaf. Mereka rela meninggalkan pekerjaan, kesibukan, dan istri demi menghadap Allah -Azza wa Jalla-, dan menundukkan dahi-dahi mereka sebagai lambang kesyukuran mereka atas keimanan yang Allah -Ta’ala- anugrahkan kepada mereka. Mereka tidaklah memandang dunia ini sebagai tempat tinggal mereka. Tapi mereka memandangnya sebagai ladang untuk memperbanyak bekal pahala menuju Allah Robbul Alamin.

Sumber: http://almakassari.com/artikel-islam/fiqh/potret-sholat-jamaah-dalam-kehidupan-salaf.html