Kamis, 20 Agustus 2009

Acara Tujuh Bulan Kehamilan, Islamikah?

Penulis: Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah & Salmah

Sekilas Gambaran Satu dari Sekian Banyak Acara Tujuh Bulanan

Dari depan sebuah rumah besar, terlihat adanya keramaian. Tampak perangkat-perangkat adat daerah kawasan Indonesia tengah, tepatnya Sulawesi Selatan dipajang di sekitar rumah, menandai sedang ada hajatan. Memang di rumah itu sedang berlangsung upacara adat tujuh bulan kehamilan ala Bugis Bone yang dilakukan oleh sepasang suami istri dalam menyambut kedatangan anak pertamanya. Upacara semacam ini pun dikenal di daerah lain di Indonesia misalnya di daerah Jawa.

Upacara tujuh bulan kehamilan, dalam bahasa Bugis Bone disebut Mappassili, artinya memandikan. Makna upacara ini adalah untuk tolak bala atau menghindari dari malapetaka/bencana, menjauhkan dari roh-roh jahat sehingga segala kesialan hilang dan lenyap. Acara itu diawali dengan iring-iringan pasangan muda tersebut, dalam pakaian adat Bugis menuju sebuah rumah-rumahan yang terbuat dari bambu dengan hiasan bunga dan pelaminan yang meriah oleh warna-warna yang mencolok. Sebelumnya, calon ibu yang hamil tujuh bulan dari pasangan muda ini harus melewati sebuah anyaman bambu yang disebut Sapana yang terdiri dari tujuh anak tangga, memberi makna agar rezeki anak yang dilahirkan bisa naik terus seperti langkah kaki menaiki tangga. Upacara Mappassili diawali dengan membacakan doa-doa yang diakhiri oleh surat Al-Fatihah oleh seorang ustadzah. Bunyi tabuh-tabuhan dari kuningan yang dipegang oleh seorang bocah laki-laki mengiringi terus upacara ini.

Selanjutnya upacara ini dipimpin oleh seorang dukun. Ia mengambil tempat pembakaran dupa dan diputar-putarkan di atas kepala sang ibu. Asap dupa yang keluar, diusap-usapkan di rambut calon ibu tersebut. Perbuatan ini memberi makna untuk mengusir roh-roh jahat yang bisa mengganggu kelahiran bayi. Menurut kepercayaan mereka, roh jahat itu terbang bersama asap dupa.

Kalau dalam adat Jawa, upaca nujuh bulan dilakukan dengan menyiram tubuh calon ibu, namun di Mappassili hanya memercikkan air dengan beberapa helai daun ke bagian tubuh tertentu, mulai dari atas kepala, bahu, lalu turun ke perut. Bahu menyimbolkan agar anak punya tanggung jawab yang besar dalam kehidupannya. Demikian pula tata cara percikan air dari atas kepala turun ke perut, tak lain agar anaknya nanti bisa meluncur seperti air, mudah dilahirkan dan kehidupannya lancar bagai air.

Usai dimandikan, dilanjutkan dengan upacara makarawa babua yang berarti memegang atau mengelus perut. Pernik-pernik pelengkap upacara ini lebih meriah lagi ditambah lagi dengan beraneka macam panganan yang masing-masing memiliki symbol tertentu.

Calon ibu yang telah berganti pakaian adat Bone berwarna merah ditidurkan di tempat pelaminan. Sang dukun akan mengelus perut calon ibu tersebut dan membacakan doa. Selanjutnya daun sirih yang ditaburi beras diletakkan di kaki, perut, kening kepala calon ibu dimaksudkan agar pikiran ibu tetap tenang, tidak stress. Diletakkan di bagian kaki sebagai harapan agar anak melangkahkan kakinya yang benar. Sementara beras sebagai perlambang agar anak tak kekurangan pangan. Seekor ayam jago sengaja diletakkan di bawah kaki calon ibu. Bila ternyata ayam tersebut malas mematuk beras, menurut mereka ini pertanda anak yang akan lahir perempuan.

Tahap akhir upacara tujuh bulan Bugis Bone ini adalah suap-suapan yang dilakukan oleh dukun, pasangan tersebut (sebagai calon bapak dan ibu) dan orang tua keduanya.

Acara ditutup dengan rebutan hiasan anyaman berbentuk ikan dan berisi telur bagi ibu-ibu yang memiliki anak gadis atau yang sudah menikah. Ini sebagai perlambang agar anak-anaknya segera mendapat jodoh yang baik, dan nantinya melahirkan dengan mudah.

Tinjauan Syari’at

Setiap orang tua pasti mengharapkan anak yang bakal lahir kelak menjadi anak yang baik dan dapat memenuhi harapan mereka terhadapnya. Apalagi sebagai seorang muslim dan muslimah, harapan ditanamkan setinggi-tinggi agar anak yang bakal lahir akan menjadi hamba Allah yang shalih dan berbakti kepada kedua orang tuanya. Upacara adat tujuh bulanan yang dilakukan oleh sepasang suami istri yang beragama Islam di atas, juga dimaksudkan untuk kebaikan bagi anak yang dikandung. Dan tidaklah mereka melakukan upacara tersebut melainkan untuk tujuan kebaikan dan keselamatan, harapan mereka agar anak yang akan lahir menjadi anak yang shalih, menjadi hamba Allah yang jujur, bermanfaat bagi agama dan bangsa. Suatu tujuan yang mulia sebenarnya, yang andai ditimbang dengan perasaan ya… rasanya baik juga upacara itu diadakan. Benarkah demikian?

Bila kita berbicara tentang syari’at, maka perasaan harus disingkirkan karena agama itu dibangun bukan berdasarkan perasaan manusia. Agama itu adalah apa kata Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Acara tujuh bulanan di atas (maupun acara tujuh bulanan yang lain menurut adat masing-masing) tidak ada dan tidak pernah dikenal dalam syari’at Islam yang diturunkan kepada Muhammad shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Seandainya itu baik, tentu yang paling pertama mengerjakannya adalah para shahabat Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam, yang mereka itu adalah orang-orang yang paling bersegera dalam kebaikan dan telah dipersaksikan kebaikan mereka oleh Allah dan Rasul-Nya. Lalu kalau ada yang mengatakan: “Itu memang bukan dari Islam. Itu kan hanya adat dan yang demikian sudah umum di tengah masyarakat kita.” Maka dijawab bahwa kalau itu hanya adat maka tidak boleh bertentangan dengan syari’at Islam, bilamana bertentangan maka sekali-kali kita tidak boleh melakukannya, dan ukurannya bukan sudah umum atau belum umum bagi masyarakat.

Ibnu Taimiyah rahimahullâh ketika membahas tentang perbedaan ibadah dan adat, beliau berkata: “Pada asalnya ibadah itu tidak disyari’atkan untuk mengerjakannya kecuali apa yang telah disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sedangkan adat itu pada asalnya tidak dilarang untuk mengerjakannya kecuali apa yang dilarang Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana perkataan Imam Ahmad bin Hambal dan para imam yang lainnya: Asal kesesatan pada penduduk bumi sesungguhnya tumbuh dari dua perkara berikut:

1. Mengambil agama dari apa yang tidak disyari’atkan Allah Subhanahu wa Ta’ala.
2. Mengharamkan apa yang tidak diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Lihat Iqtidha’ Shirathal Mustaqim oleh Ibnu Taimiyah, juz 2, hal. 584 bersama tahqiq)

Sekarang kita lihat ringkasan acara tujuh bulanan di atas, ternyata penuh dengan khurafat dan kesyirikan di samping menghambur-hamburkan harta, pemborosan dan perbuatan haram lainnya. Kita tidak membatasi dengan upacara ala Bugis Bone saja, namun seluruh upacara yang bertentangan dengan syari’at Islam mengandung hal-hal demikian.

Syari’at Islam memang menghasung para orang tua agar berupaya memiliki anak yang shalih dan berharap agar anak dapat lahir dengan selamat, namun tidak berarti segala cara harus ditempuh.

Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menurunkan Islam kepada kita, yang berisi aturan-aturan hidup yang sangat lengkap dan sempurna. Dalam permasalahan penjagaan keselamatan anak (janin yang dikandung) dari gangguan setan (yang mereka istilahkan ruh-ruh jahat dalam upacara adat yang biasa dilakukan), jauh sebelum kehamilan sang anak, Islam telah menetapkan aturan lewat lisan Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam. Beliau menuntunkan kepada seorang suami yang ingin berjima’ dengan istrinya agar berdoa:

بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَقُضِيَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ. (حديث صحيح رواه البخاري ص ١٤١ ومسلم ص ١٤٣٤ وأبو داود ص ٢١٦١ والترمذي ص ١٠٩٢ وابن ماجه ص ١٩١٩ والدارمي ص ٢٢١٢ وأحمد ١/٢١٧، ٢٢٠، ٢٤٣، ٢٨٦)

Dengan nama Allah, Ya Allah jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau anugerahkan pada kami. Apabila ditakdirkan bagi mereka berdua seorang anak (dari jima’ tersebut) maka setan tidak akan memberi mudharat pada anak tersebut. (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, At-Tirmidzi, Ibnu Majah, Ad-Darimi dan Ahmad)

Dalam sebagian riwayat disebutkan dengan lafadh:

فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ.

Apabila ditakdirkan bagi keduanya (mendapat) seorang anak dalam jima’ tersebut maka setan tidak akan memudharatkannya selama-lamanya.

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani rahimahullâh menukilkan dalam Fathul Bari 9/229 perkataan dari Ad-Dawudi bahwasanya yang dimaksud dengan “tidak akan memudharatkannya” yakni setan tidak akan menyelewengkannya (menyimpangkannya) dari agamanya kepada kekufuran (murtad -pent) dan tidaklah yang dimaksud bahwasanya ia (anak tersebut) terpelihara dari godaan setan untuk berbuat maksiat (yakni tidak berarti anak tersebut suci dari perbuatan maksiat yang tidak sampai memurtadkannya dari Islam -pent). Masih banyak pendapat-pendapat yang lain tentang makna “setan tidak akan memudharatkannya”, bisa dilihat dalam kitab Fathul Bari juz 9, hal. 229 dan dalam Syarhu Muslim jilid 4, juz 10, hal. 5.

Dalam hadits di atas terkandung pengarahan bagi orang tua agar tidak meninggalkan doa. Doa akan dapat melindungi anak dan membentenginya dari gangguan setan tatkala (calon anak tersebut) diletakkan dalam rahim. Hal ini karena setan terus-menerus mendekati (atau bersama) dengan anak Adam dan tidak akan menjauh darinya kecuali bila anak Adam itu berdzikir kepada Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya dari gangguan/godaan setan. Inilah perhatian Islam yang besar terhadap penjagaan janin yang dikandung seorang ibu, sejak dimulainya pembentukan janin tersebut dalam rahim ibunya sampai terlahir ke alam ini. (Lihat Ahkamuth Thifl bab Maa Yuqaalu ‘inda al-jima’ lihifz ath-thifl oleh Ahmad Al-‘Aysawi).

Termasuk pula penjagaan Islam terhadap janin adalah apa yang disabdakan oleh Rasululllah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berikut ini:

اُقْتُلُوْا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ فَإِنَّهُ يَطْمِسُ الْبَصَرَ وَيُصِيْبُ الْحَبَلَ. (حديث صحيح رواه البخاري ص ٣٣٠٨ عن عائشة رضي الله عنها)

Bunuhlah dza ath-thufyatain (nama dari sejenis ular berbisa -pen) karena dapat membutakan pandangan dan menggugurkan kandungan. (HR. Bukhari no. 3308 dari ‘Aisyah radhiyallâhu ‘anhâ)

Hadits ini juga dikeluarkan oleh Bukhari no. 3297 dari Ibnu ‘Umar radhiyallâhu ‘anhumâ bahwasanya ia mendengar Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam berkhutbah di atas mimbar dengan berkata:

اُقْتُلُوا الْحَيَّاتِ وَاقْتُلُوْا ذَا الطُّفْيَتَيْنِ وَالأَبْتَرَ فَإِنَّهُمَا يَطْمِسَانِ الْبَصَرَ وَيَسْتَسْقِطَانِ الْحَبَلَ. (أخرجه مسلم ص ٢٢٣٣)

Bunuhlah ular-ular dan bunuhlah dza ath-thufyatain dan abtar (nama dari dua jenis ular berbisa) karena keduanya membutakan pandangan dan menggugurkan kandungan. (HR. Muslim hadits no. 2233)

Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari 6/401 membawakan perkataan Ibnu ‘Abdil Barr: “Bahwasanya dza ath-thufyatain adalah sejenis ular yang di punggungnya terdapat dua buah garis berwarna putih.” Adapun “Al-Abtar” kata Al-Hafizh adalah: “(Ular) yang terpotong ekornya (seolah-olah ekornya terpotong karena pendeknya).” An-Nadhr bin Syumail menambahkan bahwasanya ular itu berwarna biru dan tatapan matanya dapat menggugurkan kandungan wanita yang hamil. Berkata Ad-Dawudi: “Ular jenis ini ukurannya sejengkal atau lebih besar sedikit.” (Lihat Fathul Bari juz 9)

Islam menuntunkan bagi wanita yang sedang hamil untuk terus memberi makan pada janinnya agar dapat tumbuh berkembang dengan baik. Karena itulah syari’at Islam memberikan keringanan (rukhshah) untuk berbuka puasa bagi wanita hamil, baik puasa wajib terlebih lagi puasa sunnah. Dalam hadits Rasulullah shallallâhu ‘alaihi wa sallam disebutkan bahwasanya seorang laki-laki datang menemui beliau shallallâhu ‘alaihi wa sallam di Madinah tatkala beliau sedang makan siang, maka beliau bersabda kepadanya (artinya):

“Mari makan siang.” Laki-laki itu menjawab: “Aku sedang puasa.” Maka Nabi shallallâhu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘Azza wa Jalla meletakkan (menggugurkan kewajiban) puasa bagi musafir dan mengurangi setengan dari shalat (qashar -pen) dan (menggugurkan kewajiban puasa tersebut) dari wanita yang hamil dan menyusui.” (HR. Nasa’i, Abu Daud, Tirmidzi dan Ibnu Majah. Hadits ini memiliki syahid dari hadits lain yang diriwayatkan oleh Nasa’i, lihat Sunan Nasa’i 4/180-182, dan juga Ibnu Majah no. 1668. Dihasankan oleh Syaikh Nashiruddin Al-Albani dalam Shahih Sunan Nasa’i, dan beliau berkata dalam Shahih Sunan Ibnu Majah no. 1353: “Hadits hasan shahih,” wallahu a’lam).

Islam juga menuntunkan agar setiap hamba senantiasa berupaya untuk terus mendekatkan dirinya kepada Dzat yang telah menciptakannya dan memberikan nikmat kepadanya. Karena itu yang paling utama untuk dilakukan oleh seorang ibu selama masa kehamilannya adalah memperbanyak taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah ‘Azza wa Jalla dengan ibadah seperti shalat, doa, dzikir dan membaca Al-Qur’an. Ini penting sekali untuk menambah bekal keimanan seorang ibu, yang dengan iman tersebut insya’ Allah ia akan siap dalam menghadapi segala keadaan.

Satu hal yang tidak boleh dilupakan oleh orang tua, bahwasanya seorang anak bisa tetap menjadi manusia yang baik selama fithrahnya terus dijaga dan dididik dengan tarbiyah islamiyah yang shahihah. Karena itu bila orang tua mendambakan agar anaknya kelak menjadi “manusia yang baik” dalam arti yang sebenarnya, maka hendaklah mereka mulai dari diri mereka sendiri, menyiapkan diri, berbekal ilmu dan amal.

Penutup

Syari’at Islam sudah terlalu cukup untuk kita. Tak ada satu sisi kehidupan pun atau satu masalah pun melainkan sudah diatur dalam syari’at Islam. Bagaimana tidak, padahal yang menetapkan syari’at tersebut adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala, Rabbnya sekalian manusia yang Maha Tahu apa yang dapat mendatangkan maslahat bagi hamba-hamba-Nya dan Maha Tahu apa yang dapat menimbulkan mudharat bagi mereka. Karena itu tengoklah kepada syari’at Islam ini saja, jangan berpaling pada yang lain. Timbanglah segala sesuatu dengan syari’at ini. Bila ternyata bertentangan, tinggalkan tanpa keberatan sedikitpun.

Wallahu a’lam.

Maraji:

1. Ahkamuth Thifl, Asy-Syaikh Ahmad Al-‘Aysawi
2. Iqtidha’ Ash-Shirath Al-Mustaqim, Ibnu Taimiyah, bersama tahqiq.
3. Fathul Bari, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani
4. Shahih Muslim Syarhun Nawawi, Imam Nawawi

(Dinukil dari Majalah Salafy Muslimah/Edisi XIX/Rabi’ul Awwal/1418/1997, Keluarga Sakinah, judul: Acara Tujuh Bulan Kehamilan, Islamikah?, hal. 14-18, untuk http://almuslimah.co.nr)

1 komentar:

  1. bagaimana cara kita untuk menegur orang tua yang menyarankan acara 7 bulanan, sementara makanan dan perlengkapan sudah di persiapkan, walaupun dalam susunan acara tidak terdapat ritual seperti yang tercantum di artikel di atas...

    BalasHapus