Wahai manusia, apa yang menyebabkan engkau berani melakukan perbuatan - perbuatan dosamu, apa yang menyebabkan engkau sombong terhadap Tuhanmu, dan apa yang menyebabkan engkau tidak peduli akan kecelakaan dirimu? Bukankah sudah saatnya (kau butuh) obat untuk penyakitmu; dan bukankah sudah saatnya kau harus bangun dari tidurmu? “
Rangkaian kalimat di atas merupakan kutipan dari kata-kata Imam Ali bin Abi Thalib as. Melalui kalimat tersebut, beliau menyebutkan tiga sifat negatif manusia yang seandainya kita rangkumkan dalam satu kalimat, maka kita bisa menyebutnya dengan satu istilah, ghaflah. Secara sederhana ia berarti “kelalaian”. Dalam ilmu ahlak, ia dianggap sebagai suatu penyakit yang sangat kronis yang bisa mengantarkan seseorang kepada malapetaka abadi. Dalam sebuah hadis qudsi, Allah SWT pernah mengingatkan Nabi Muhammad Saww. Sebagai berikut, “Hai Ahmad, jadikan jiwamu senantiasa terjaga, tidak lalai (ghaflah) dari-Ku. Siapa yang melakukan ghaflah pada-Ku, Aku tidak akan peduli di lembah mana dia akan celaka.”
Ghaflah dalam kosa kata bahasa arab. Ghaflah adalah lawan dari kata yaqazhah atau dzikr, yang artinya sadar dan ingat kepada Allah. Pelakunya disebut ghafil – yaitu orang yang tidak ingat kepada Allah. Ketika Allah mencela manusia yang tidak memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang diberikan kepadanya – seperti mata, telinga dan hati – pada jalan kebahagiaannya, Allah menamakan mereka sebagai orang-orang yang lalai (ghafilin). Sedemikian kronisnya penyakit ini, sehingga mereka yang membawa sifat ghaflah di kategorikan oleh Allah sebagai makhluk yang sama statusnya dengan hewan, bahkan lebih rendah dari itu. Sebagaimana hal ini difirmankan oleh Allah SWT:
Dan sesungguhnya kami jadikan untuk (isi neraka jahanam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kebesaran Allah). Dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunaknnya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). Mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai (QS 7:179)
Mengapa demikian? Dan mengapa sampai sejauh itu pernilaian yang diberikan oleh Allah terhadap orang-orang yang lalai (ghafilin)? Kemudian apakah penyakit ini bisa diobati kendatipun sudah sampai pada tingkat yang sangat kronis?
Mata, telinga dan hati adalah tiga rangkaian media-vital yang telah Allah titipkan dalam diri setiap manusia. Ketiganya mempunyai fungsi ganda; materi dan maknawi. Fungsi materi mata adalah kemampuannya melihat segala sesuatu yang berada dalam jangkauan pandangannya. Dan fungsi maknawinya adalah ia mampu mengambil I’tibar atau pelajaran dari apa yang dipandangnya. Fungsi materi telinga adalah kemampuannya mendengar setiap suara yang ada sekitarnya: sementar fungsi maknawinya adalah menyimpan dan merenungkan apa saja yang didengarnya.
Jika mereka bisa sakit, bahkan jika ketiganya tidak berfungsi secara materi, maka mereka juga bisa sakit bahkan tak berfungsi secara maknawi. Kalau mata bisa buta secara inderawi, maka ia juga bisa buta secara maknawi, Kalau telinga bisa tuli secara inderawi, maka ia juga bisa tuli secara maknawi. Ketidak-berfungsian (invaliditas) tersebut dinamakan oleh Al-Quran dengan istilah ghaflah.
Dalam sebuah nasihatnya, Rasulullah Saww menyebutkan empat faktor penyebab ghaflah. Pertama, batin yang beku. Yang karenanya mata tak pernah mengambil pelajaran dari segala apa yang disaksikannya; atau menyesali perbuatan-perbuatan salah yang pernah dilakukannya. Abu Hamzah Al-Tsimali seorang arif besar dalam suatu doa sahurnya bermunajat kepada Allah seperti berikut ini:
“Illahi bantulah daku menangisi diriku.karena telah kusia-siakan umurku hanya untuk berangan - angan panjang. Illahi, mengapa aku tidak menangis, padahal aku tidak tahu bagaimana nasibku. Kulihat diri ini senantiasa menipuku. Hari-hariku memperdayakanku mengapa aku tidak menangis, menangisi saat perpisahan ruhku dengan jasadku, menangisi gelapnya kuburku, menangisi sempitnya liang lahatku, menangisi saat pertanyaan Munkar dan Nakir padaku, menangisi saat keluarnya diriku dari kuburku, dalam keadaan telanjang,hina dan membawa beban berat di atas pundakku.”
Doa yang dilantunkan Abu Hamzah panjang. Yang kita kutip adalah sebagian doa yang dibaca oleh Abu Hamzah pada waktu sahur, saat orang-orang lain terlelap tidur. Doa tersebut menunjukkan adanya kesadaran yang timbul dari kedalaman jiwa seorang hamba. Pada waktu hening seperti itu, akan mudah seseorang mencairkan hatinya yang beku, melunakkan kalbunya yang sangat keras, yang merupakan faktor penyebab timbulnya penyakit ghaflah.
Kedua, kecenderungan kepada perkara maksiat, yaitu perkara yang melanggar perintah Allah. Imam Ali Zainal Abidin as, Imam pertama tarekat Naqsyabandiah dalam munajat syakin-nya merintih sebagai berikut:
“Illahi, kepada-Mu kukeluhkan perkara diriku, yang nafsunya sentiasa memerintah, kepada pelanggaran-Mu segera melangkah, untuk maksiat kepada-Mu semangat menyala-nyala.”
Dalam kenyataanya, memang demikian. Ada sejumlah orang yang ketika melanggar perintah Allah, terasa seakan dia tidak melakukan sebarang kesalahan. Hal seperti itu tidak datang begitu saja. Pada awalnya dia merasa berdosa ketika pertama kali melakukan pelanggaran. Namun karena hal itu sering diulang-ulang, maka perbuatan tersebut menjadi semacam kebiasaan. Pada akhirnya ia sampai pada suatu klimaks dimana ia merasa “bahagia” tatkala melakukan pelanggaran ; sehingga apa yang dilihatnya semuanya menjadi terbalik. Sesuatu yang haq baginya adalah salah; dan yang batil baginya adalah benar. Mungkin karena itulah Rasulullah Saww. Pernah berdoa seperti ini: “Ya Allah, tunjukan kepadaku yang benar itu benar dan karuniakan aku untuk mengikutinya; tunjukan kepadaku yang batil itu batil dan karuniakan aku untuk menghindarinya”
Ketiga, mabuk kenyang. Rasulullah Saww sering berdoa: “Ya Allah aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat. Amal yang tidak terangkat dan perut yang tidak merasa kenyang.” Rangkaian kalimat dalam doa yang disebut terakhir tidak semata mata bermakna tekstual. Ia lebih merupakan suatu kiasan untuk sifat rakus yang dimohonkan oleh Nabi kepada Allah untuk mengharapkan lindungan-Nya. “orang yang paling kaya,” kata Imam Ali bin Abi Thalib as adalah orang yang mempunyai sifat qana’ah; merasa cukup dengan apa yang dimilikinya dan tidak melirik milik orang lain.
Dengan demikian, orang yang paling miskin adalah orang yang tidak pernah merasa kenyang. Mereka tidak sekadar miskin secara psikologis, tapi miskin akan rasa humanistis, setis dan mistis. Itulah mengapa ia dianggap sebagaifaktor penyebab ghaflah. Dia lalai bukan hanya terhadap tanggung jawab kemasyarakatannya, bahkan juga lalai akan kepentingan dirinya sendiri, jiwa dan kebutuhan maknawinya. Oleh karena itu, doa Rasulullah Saww di atas sangat dianjurkan untuk diamalkan demi menghindari kuman ghaflah ini.
Keempat, keangkuhan akan kekayaan. Nabi Musa pernah memprotes tindakan Fir’aun yang mengungkit “jasa baiknya” yang pernah diberikan kepada Musa ketika Musa berada di rumahnya di kala kecil. “Jasa baik” tersebut dijadikan oleh Fir’aun sebagai alas an yang tepat baginya untuk menganiaya orang – orang lemah Bani Israel. Protes Musa di atas adalah protes orang yang suci kepada semua orang yang menyimpan sifat Fir’aun. Bagi orang suci, kekayaan tidak berarti penghormatan Allah kepada orang tersebut, sehingga dengan kekayaan itu dia boleh merasa angkuh dan berbuat apa saja sekehendak hatinya. Dan begitu pula sebaliknya, baginya kemiskinan seseorang tidak berarti penghinaan Allah kepada orang tersebut sehingga ia harus merasa hina – dina dan bisa diperlakukan apa saja. Kaya dengan angkuh, walaupun tidak sinonim, seringkali terjadi pada kehidupan masyarakat. Jika demikian yang dirasakan. Maka berarti gejala ghaflah mulai berbenih dalam dirinya.
Akibatnya, seperti sabda Rasulullah, orang yang seperti itu akan suka menunda amal perbuatan yang baik, lupa untuk mengingat Allah dan lalai akan hari akhirnya. Imam Ali bin Abi Thalib as pernah bertanya kepada mereka, “Bukankah sudah tiba saatnya Anda bangun dari tidur?”
Zikir
Kalau “tidur” disebut ghaflah, maka bangun dan sadar disebut yaqazhah atau dzikr. Secara lughawi zikir berarti “ingat”. Allah berfirman. “Udzkuruni adzkurkum (Ingatlah kalian pada-Ku, kelak Aku akan ingat pada kalian).” Karena itu, dalam ayat – ayat suci Al-Quran, kalimat zikir tidak berarti zikir dengan lisan semata – mata, bahkan ada juga zikir bil arkan, zikir praktis. Sebagaimana difirmankan oleh Allah Swt: Maka bila kamu telah menyelesaikan shalatmu. Ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk, dan di waktu berbaring. Kemudian bila kamu telah merasa aman. Maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang – orang beriman (QS 4:103).
Zikir bil lisan adalah sesuatu yang terpuji yang sangat dianjurkan untuk dilakukan. Zikir bil lisan akan membuahkan hasil yang tidak sedikit kepada pelaku zikir itu sendiri. Dahulu pernah ada seorang yang bertanya kepada Rasululah Saww, “Makhluk mana yang paling dimuliakan oleh Allah?” “Merekalah yang paling banyak zikirnya kepada Allah dan paling banyak amal patuhnya kepada-Nya.” jawab Rasulullah, namun perlu kita ketahui bahwa zikir di lisan semata – mata belum tentu akan bisa mengobati penyakit ghaflah. Betapa banyak penzikir – penzikir yang melakukan dosa besar karena lalai akan penyakit ghaflah ini. Karenanya, penghulu para ahli sufi, Imam Ja’far ash-Shadiq as mengatakan, “Orang yang benar – benar zikir kepada Allah adalah orang yang patuh kepada-Nya, dan orang yang lalai (ghafil) kepada-Nya adalah orang yang bermaksiat kepada-Nya. hali ini didasarkan pada kenyataan bahwa taat adalah tanda petunjuk sedangkan maksiat adalah tanda kesesatan.”
Ketika Al-Quran bercerita tentang ahli zikir, Allah menyebutnya sebagai orang yang tidak dilalaikan oleh urusan niaga dan jual – beli dari zikir (ingat) kepada Allah. Seperti yang dikatakan oleh Al-Quran: “Laki – laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual – beli dari mengingat Allah, dan (dari) mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi guncang (QS 24:37).
Dengan kata lain, mereka adalah hamba – hamba yang menyadari secara penuh untuk mematuhi Allah dalam berbagai situasi dan kondisi. Mereka tidak hanya berzikir pada saat malam, sementara siangnya pemungkir, atau menghalalkan segala cara untuk mengejar keuntungan, dan nanti zikirnya ditunda pada saat melakukan umrah atau haji.
Adalah baik untuk kita renungkan klasifikasi zikir seperti yang dinyatakan oleh sejumlah Imam al-arifin, “Zikirnya lidah adalah ucapan tahmid dan pujian kepada-Nya; zikirnya jiwa adalah bersungguh – sungguh dan berupaya keras (dalam kepatuhan kepada-Nya); zikirnya ruh adalah takut dan berharap; zikirnya hati adalah jujur dan bersih; zikirnya akal adalah pengagungan (ta’zhim) kepada-Nya, dan rasa malu; zikirnya ma’rifah adalah penyerahan diri (taslim) dan ridha; dan zikirnya sir adalah ru’yah dan liqa’. Wallahu a’lam.
"Bundel al-Tanwir" Yayasan Muthahhari. Ust Husein Shahab.
Balas ke AlfanLaporkan
Kamis, 20 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar