معـرفته بنفسـه
"Orang yang berimajinasi (berprasangka) bahwa ada pelindung dirinya yang lebih utama dari Allah maka berarti ia kurang pengetahuannya terhadap Allah sedangkan orang yang berimajinasi (berprasangka) bahwa ada musuh dirinya yang lebih hebat dari hawa nafsunya berarti ia kurang pengetahuan terhadap dirinya." (Hukama)
Seseorang bisa saja berimajinasi, menduga-duga, atau menyangka sesuatu yang sejatinya teramat nyata (tidak perlu diragukan atau diduga-duga). Tindakan yang didasari oleh konstruksi mental yang benar-benar tidak nyata terhadap sesuatu yang sejatinya nyata, selalu dinilai sia-sia, dan pada peristiwa tertentu, terutama yang berhubungan dengan masalah fundamental manusia, dapat membahayakan martabat kemanusiaan itu sendiri.
Misal, seseorang berimajinasi tentang eksistensinya. Dia membayangkan bahwa dirinya, secara individu, serba mampu dalam merealisasikan semua keinginannya. Padahal realitas sejatinya, sebagai makhluk ciptaan Allah, manusia serba terbatas dan karena itu ia tidak punya kemampuan itu. Faktanya ia tidak mampu menyelesaikan semua yang menjadi keinginannya, apa lagi keinginan-keinginan orang banyak yang begitu kompleks. Seseorang yang menganggap dirinya mampu merealisasikan semua keinginannya jelas dapat membahayakan martabat kemanusiaannya dikarenakan selain mustahil juga bisa mengobarkan kesombongan yang bisa menjerumuskannya ke dalam kenistaan.
Pada umumnya hasil sebuah proses imajinasi atau mengira-ngira terhadap realitas dapat menumbuhkan pikiran-pikiran yang salah dikarenakan bertentangan dengan kenyataan itu sendiri. Di sisi lain, tindakan menduga-duga dibangun di atas dasar prasangka atau kesangsian, bukan atas dasar pengetahuan. Pertanyaan, tepatnya teguran, salah seorang pemilik kebun kepada pemilik kebun yang lain seperti dikisahkan dalam al-Qur`an tentang dua pemilik kebun cukup menggambarkan tentang kesalahan seseorang dalam berimajinasi tentang dirinya yang tidak berdasarkan pada realitas sejati bahwa semua yang kita miliki, termasuk diri kita sendiri, sepenuhnya dalam genggaman Allah Swt. “Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki kebunmu "maasyaallaah, laa quwwata illaa billaah (sungguh atas kehendak Allah semua ini terwujud, tiada kekuatan kecuali dengan pertolongan Allah). Sekiranya kamu anggap aku lebih sedikit darimu dalam hal harta dan keturunan.” (QS, al-Kahfi [18]: 39).
Oleh karena itu orang yang menganggap dirinya memiliki kemampuaan untuk merealisasikan semua keinginannya adalah refleksi dari khayalan yang mengendap di dalam batinnya. Khayalan seperti itu merupakan salah satu wujud kesangsian dan ketidakyakinan tentang kebenaran yang sejati.
Sebagian keraguan terhadap sesuatu sering ditampilkan dalam ungkapan yang bernada mempertanyakan (kebenaran) sebuah gagasan yang mutlak pasti dan benar. Sedangkan sangsi atau kesangsian adalah situasi psikologis manusia yang menggambarkan ketidakmampuan untuk mengambil salah satu pilihan (keputusan) untuk menerima atau menolak di antara dua hal; antara segala hal yang menyenangkan atau yang tidak menyenangkan, antara pengharapan dan kebingungan (kekhawatiran), antara baik dan buruk.
Dimensi kesangsian itu sendiri bisa merentang pada diri seseorang dari ketidakpercayaan total dan penuh pada segala sesuatu, hingga sebuah keraguan tentatif dalam mencapai kepastian. Apa pun tingkatannya, kesangsian dan keraguan dapat membuat batin dan pikiran seseorang tidak tenang dan memunculkan rasa khawatir yang menyebabkan sang diri berada dalama ambang situasi yang amat mencemaskan.
Al-Qur`an menggambarkan situasi psikologis orang yang ragu tentang keesaan dan kekuasaan Allah (syirik) sebagai situasi yang sangat mencemaskkan. “Dengan ikhlas kepada Allah, tidak mempersekutukan sesuatu dengan Dia. Barangsiapa mempersekutukan sesuatu dengan Allah, Maka adalah ia seolah-olah jatuh dari langit lalu disambar oleh burung, atau diterbangkan angin ke tempat yang jauh.” (QS, al-Hajj [22]: 31). Adalah termasuk perbuatan tercela jika seseorang kemudian melembagakan kesangsian dan keraguan di dalam dirinya.
Kenyataannya, dalam kehidupan ini ada dua realitas yang sama sekali berbeda. Yaitu realitas Allah, Tuhan Pencipta alam semesta Yang Maha Esa, dan realitas alam ciptaan-Nya yang serba bergantung kepada Sang Pencipta. Dalam kajian tasawuf keesaan Allah Swt tidak hanya meniscayakan transendensi tetapi juga imanensi. Dia melampaui segala kategori pemikiran manusia karena Dia “Maha Suci dari sifat-sifat yang mereka berikan” (QS, al-An’am [6]: 100) dan “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa kecuali Allah” (QS, al-Qashash [28]: 88).
Kesaksian yang pertama dalam dua kesaksian kita (syahadatain) adalah kalimat la ilaha illa Allah sejatinya refleksi pengetahuan seseorang terhadap kedua realitas tersebut. Salah satu muatan pengertiannya adalah tidak ada Pelindung (Wali) kecuali Allah. Dia adalah satu-satunya Pelindung bagi seluruh makhluk-Nya. Pengertian ini, dalam satu sisi meniscayakan ketidakberdayaan segala sesuatu di hadapan kekuasaan-Nya dan di sisi lain adalah sebuah pernyataan bahwa semua eksistensi ciptaan-Nya bersifat fana. Sedangkan kesaksian adalah derajat tertinggi pengetahuan seseorang terhadap satu realitas.
Atas dasar itu, kesangsian pada Allah Swt sebagai satu-satunya Pelindung utama adalah cermin rendahnya derajat probabilitas keyakinan dikarenakan kedangkalannya terhadap marifatullah. Allah Swt secara eksplisit menyatakan Dirinya sebagai Pelindung dan penolong makhluk-Nya. Selanjutnya Ia menyifati Diri-Nya dengan al-Waliy (Maha Pelindung). Dengan sifat-Nya itu Ia melindungi seluruh makhluk-Nya secara sempurna dengan cara melengkapi dengan hukum-hukum keseimbangan sehingga semua makhluk-Nya dapat berfungsi dengan sangat harmonis yang menjadikan manusia merasakan kenyamanan di dalamnya.
Sejatinya Allah Swt tidah hanya melindungi manusia di dunia ini dengan hukum-hukum-Nya yang pasti tetapi juga melindunginya dalam kehidupan di akhiratnya dengan agama-Nya. Rasulullah Saw dalam salah satu doa yang diajarkannya menyebut bahwa agama (al-din) adalah benteng pelindung semua urusan. Hanya orang yang berimanlah yang akan dapat memperoleh kedua perlindungan Allah Swt. “Allah pelindung orang-orang yang beriman; Dia mengeluarkan mereka dari kegelapan (kekafiran) kepada cahaya (iman). dan orang-orang yang kafir, pelindung-pelindungnya ialah syaitan, yang mengeluarkan mereka daripada cahaya kepada kegelapan (kekafiran). mereka itu adalah penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya." (QS, al-Baqarah [2]:257).
Konsekuensi logis dari keyakinan seseorang kepada Allah sebagai Pelindung satu-satunya, adalah kesempurnaan dalam bersandar kepada-Nya bahwa Dia-lah yang paling sempurna penjagaannya dari segala sesuatu. Ibnu Katsir dalam tafsirnya berkata, "Meminta perlindungan atau yang diistilahkan dengan isti'adzah adalah menyandarkan diri kepada Allah Swt dan mengikatkan diri kepada-Nya dalam hal menjauhkan kejelekan/kejahatan dan para pelakunya.". "Katakanlah: Aku berlindung kepada Tuhan yang menguasai subuh, dari kejahatan makhlukNya dan dari kejahatan malam apabila telah gelap gulita dan dari kejahatan wanita-wanita tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul dan dari kejahatan orang yang dengki apabila ia dengki." (QS Al Falaq: 1-5).
Dalam kajian psikologi Islam dikenal istilah nafsu ammarah (nafsu tirani). Istilah ammarah sendiri secara literal dimaknai sebagai perintah atau kebiasaan yang berulang-ulang. Di kalangan sufi nafu ammarah diposisikan sebagai stasiun jiwa yang terendah. “Dan aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyanyang.” (QS, Yusuf [12]: 53)
Pada umumnya orang yang berada pada posisi kejiwaan terendah seperti itu akan menjadi budak-budak kesenangan nafsu syahwat. Ia akan melakukan apa pun demi kepuasan nafsu yang menyebabkan dirinya didominasi oleh ketergantungan yang tidak terkontrol. Musykilnya, orang yang telah terdominasi oleh hawa nafsunya selalu menolak untuk memahami bahwa sesungguhnya ia memiliki persoalan. Oleh sebab itu praktis ia benar-benar menjadi orang yang diatur oleh nafsu tiraninya.
Dengan demikian, di dalam diri setiap manusia menyimpan potensi laten keburukan yang oleh Ibnu Taimiyah dilukiskan sebagai sumber keburukan serta tidak berdiri sendiri. Menurutnya, hawa nafsu tidak berdiri sendiri dalam mendorong seseorang untuk melakukan keburukan kecuali disertai dengan kebodohan. Sebab jika ia mengetahui serta menyadarinya sesuatu itu berbahaya dan berdosa, tentu ia akan menolak untuk melakukannya.
Abu Utsman al-Naisaburi, seperti dikutip oleh Ibnu Taimiyah dalam Tazkiyyatun Nafs, mengatakan, “Barangsiapa yang menghidupkan sunnah di dalam dirinya, yaitu dalam ucapan dan perbuatannya, ia akan mampu berkata-kata penuh hikmah. Barangsiapa yang menghidupkan hawa nafsu di dalam dirinya, baik dalam ucapan maupun dalam perbuatannya, maka kata-katanya akan sarat dengan kebid’ahan.”
Atas dasar itulah perlunya pengetahuan yang cukup terhadap hakikat manusia agar sang diri tidak terjerumus ke dalam kenistaan. Meragukan nafsu sebagai potensi yang mengandung bahaya laten bagi kemajuan spiritual adalah cermin kedangkalan pengetahuannya terhadap dirinya sendiri. “Maka hawa nafsu Qabil menjadikannya menganggap mudah membunuh saudaranya, sebab itu dibunuhnyalah, Maka jadilah ia seorang diantara orang-orang yang merugi.” (QS, al-Ma`idah [5]: 30). “Mereka datang membawa baju gamisnya (yang berlumuran) dengan darah palsu. Ya'qub berkata: "Sebenarnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang buruk) itu; Maka kesabaran yang baik Itulah (kesabaranku dan Allah sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan." (QS, Yusuf [12]: 18)
Akan tetapi kenyataan selalu menunjukkan, tidak sedikit orang yang tidak memahami hakikat nafsu yang ada pada dirinya. Bahkan di antara mereka sampai pada tingkat menuruti apa saja kemauannya yang menyebabkan berjuta-juta manusia dalam sepanjang sejarahnya terjerumus ke dalam kenistaan. Semua itu, sekali lagi, cermin kedangkalan pengetahuan seseorang tentang dirinya. “Apa saja nikmat yang kamu peroleh adalah dari Allah, dan apa saja bencana yang menimpamu, Maka dari (kesalahan) dirimu sendiri. Kami mengutusmu menjadi Rasul kepada segenap manusia. dan cukuplah Allah menjadi saksi.” (QS, al-Nisa [4]: 79)
Ibnu Qayyim dalam Fawa`id al-Fawa`id mengingatkan bahaya nafsu yang diperturutkan terhadap kehidupan. “Menahan nafsu lebih mudah daripada menahan konsekuensi yang diakibatkan oleh hawa nafsu yang diperturutkan. Antara lain, rasa sakit, penderitaan, terputusnya nikmat yang sempurna, dan hilangnya waktu yang menyebabkan kerugian dan penyesalan. Dari sisi materi, dapat mengakibatkan lenyapnya harta benda. Selain itu, memperturutkan hawa nasu dapat merugikan diri sendiri dengan sebab hilangnya nama baik, kewibawaan, dan kekayaan, tertutupnya pintu kebaikan, dilanda kesedihan, duka cita, dan penderitaan yang tidak sebanding dengan kenikmatan syahwati yang diteguknya. Lebih dari itu akan melupakan ilmu yang mengingatnya lebih nikmat dari mengumbar hawa nafsu, membahagiakan musuh, menyengsarakan wali Allah, memutus jalan nikmat, dan mentahtakan aib yang sukar untuk dihilangkan.”
Di sisi lain, orang yang suka menurutkan hawa nafsu hak keteladanan dirinya sebagai manusia menjadi lenyap ditelan implikasi-implikasinya. “…Dan janganlah kamu mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingati Kami, serta menuruti hawa nafsunya dan adalah keadaannya itu melewati batas.” (QS, al-Kahfi [18]: 28).
Selanjutnya Ibnu Hazm mengingatkan bahwa jika nafsu syahwat berhasil mengalahkan akal, ia akan diselimuti awan kegelapan. “Hati menjadi buta, dan ia akan setia mengikuti jalan kemungkaran, dan akhirnya terjatuh dalam jurang kehinaan.” “Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya? Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya. Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya dan meletakkan tutupan atas penglihatannya.“(QS al-Jaatsiyah [45]: 23)
AL-Harits al-Muhasibi melukiskan nafsu sebagai musuh yang sukar untuk diperangi. “Kala Anda menyadari akhirat sebagai tempat kembali, ia justru mengacaukan ingatan Anda dengan cara membisikkan pikiran mengenai dunia. Jika Anda coba melawannya dengan akal sehat, ia semakin gencar melancarkan bisikan hingga Anda tergerak untuk memikirkannya sepanjang salat. Seandainya seorang musuh terus-menerus meneror, Anda pasti murka, naik pitam, bahkan mungkin bergegas untuk membunuhnya. Akan tetapi tidak bagi musuh yang satu ini. Sebab musuh ini tidak bisa Anda perangi. Apalagi membunuhnya. Anda tidak akan bisa menghindari dan membinasakannya. Oleh sebab ia adalah musuh abadi yang tak mungkin dihindari, maka tidak aneh kalau memeranginya lebih sukar daripada memerangi orang kafir.”
Allah Swt sebagai satu-satunya Pelindung dan nafsu sebagai potensi yang mengandung bahaya laten terhadap kemanusiaan merupakan kenyataan yang tidak ada kesangsian dan keraguan di dalamnya. Orang yang sangsi terhadap keduanya dapat membahayakan terhadap perjalanan hidupnya. Oleh sebab itu langkah tepat yang harus diambil oleh seseorang yang tengahh dilanda keraguan ialah meninggalkan keraguannya dengan cara meningkatkan pengetahuan. Tentu saja pengetahuan yang diperlukan di sini bukan hanya pengetahuan lisan melainkan juga pengetahuan hati, pengetahuan yang benar-benar berharga, seperti dinyatakan Rasulullah Saw.
Agar seseorang terhindar dari keraguan atau kesangsian, perlu melengkapi dirinya dengan, menurut istilah sufi, dua pengetahuan: pengetahuan lahiriah dan pengetahuan batiniah. Menurut Robert Frager dalam bukunya Heart, Self, & Soul: The Sufi Psychology of Growth, Balance and Harmony, pengetahuan lahiriah itu mencakup informasi yang kita butuhkan untuk bertahan dalam hidup sedangkan pengetahuan batiniah adalah pemahaman terhadap realitas yang harus menyertai tindakan luar agar mampu memberinya makna dan kehidupan.
Secara ekspilisit Rasulullah Saw memerintahkan ummatnya agar tidak terjebak dalam ruang kesangsian dan karenanya harus meninggalkan sesuatu yang meragukan. Dari Abu Muhammad Al Hasan bin Ali bin Abu Thalib, dia berkata, ”Aku telah hafal (sabda) dari Rasulullah Saw, “Tinggalkanlah sesuatu yang meragukanmu kepada sesuatu yang tidak meragukanmu.” (HR. Tirmidzi dan Nasa’i). Wallahu A’lam
Rabu, 19 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar