Prof. Dr. Komaruddin Hidayat
Setiap agama memiliki doktrin kesucian tempat dan waktu. Diharapkan umat beragama saling menghargai keyakinan serta ritual umat lainnya. Di antara doktrin yang mencolok pada setiap agama adalah perintah bersembahyang dan berdoa serta berpuasa meski dengan keyakinan dan cara berbeda-beda. Meski perintah ibadah masuk wilayah agama, dalam pelaksanaannya unsur budaya tidak bisa dipisahkan.
Pelaksanaan puasa dan Lebaran, misalnya, aspek budayanya amat kental sehingga setiap negara memiliki kekhasan masing-masing. Dalam masyarakat Jawa, misalnya, ada tradisi yang disebut nyekar sebelum datangnya Ramadhan. Orang melakukan ziarah dan membersihkan kuburan. Ada lagi tradisi padusan, yaitu mandi ramai-ramai sehari sebelum puasa untuk menyucikan diri sebagai persiapan memasuki bulan suci. Belum lagi berbagai jenis masakan yang hanya populer selama bulan Ramadhan. Ini semua menunjukkan bahwa agama dan budaya begitu menyatu, berkaitan, dan saling mengisi.
Dalam ibadah puasa ada tiga aspek yang fundamental, yaitu pendekatan diri kepada Tuhan, penyucian diri, dan membangun kesalehan sosial. Dengan ibadah puasa, seorang yang beriman berusaha mengaktifkan kekuatan rohaninya lalu berusaha mendekatkan diri kepada Tuhan sedekat mungkin. Dengan kedekatan dan intensitas berkomunikasi dengan Tuhan, sebuah proses penetrasi dan internalisasi sifat dan nilai ilahi dalam diri seseorang diharapkan akan terjadi. You are what you think, kata orang bijak.
Bahwa apa yang selalu dipikirkan, dibayangkan, dan dirasakan akan memengaruhi dan menggerakkan perilaku seseorang, jika hati dan pikiran selalu terikat dan tertuju kepada Allah Yang Mahakasih, maka kasih Allah akan merasuk ke dalam diri kita sehingga kita menjadi instrumen Tuhan sebagai penyebar kasih dan kebajikan. Namun, untuk meraih prestasi ini mensyaratkan kita untuk membuka diri, membersihkan, dan membuang jauh-jauh berbagai pikiran, perasaan, serta perilaku kotor karena akan menghalangi cahaya dan energi ilahi untuk turun (nuzul) ke dalam diri kita.
Efek sosial puasa
Ada tiga aspek yang bisa diamati sebagai buah dari puasa, yaitu kesehatan fisik dan mental serta kesalehan sosial. Ketiganya bisa diamati dengan pendekatan medis dan psikologis, apakah efek yang ditimbulkan puasa bagi seseorang. Berbagai kajian ilmiah menunjukkan, dampak puasa amat positif bagi kesehatan dan pembinaan mental.
Namun, menyangkut aspek metafisik-spiritual, hal itu kita serahkan sepenuhnya kepada Allah karena seseorang tidak punya kewenangan dan kemampuan untuk mengukur keikhlasan dan ketakwaan seseorang. Tak ada yang tahu kualitas dan kedalaman puasa seseorang kecuali Allah. Dan sungguh, ketika menjalani puasa, seseorang merasakan betul kehadiran Allah di mana pun ia berada sehingga ia senantiasa berlaku jujur, senantiasa menyebarkan vibrasi kebaikan dan kedamaian. Efek sosialpsikologis puasa mudah sekali kita amati dan rasakan terutama selama bulan Ramadhan. Tibatiba kita menemukan aura spiritual yang begitu kental dalam keluarga, lingkungan kerja dan masyarakat. Televisi serta radio pun berlomba menyajikan acara keagamaan semenarik mungkin.
Tiba-tiba kita merasakan terjadinya perubahan amat drastis, mayoritas masyarakat Indonesia berubah menjadi santun, mampu menahan diri, jujur, dan tidak ingin menyakiti orang lain. Pendeknya, selama Ramadhan kita menemukan masyarakat yang beradab dan religius.
Demikianlah, menurut Al Quran, salah satu hikmah puasa adalah untuk mendidik jiwa agar mencapai derajat takwa, pribadi yang mampu menahan diri dari berbagai godaan yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Namun, lagi-lagi, pertanyaan yang selalu muncul adalah mengapa—ibarat baterai telepon seluler—daya setrumnya hanya bertahan sebulan? Bukankah mestinya puasa sebulan memiliki daya setrum penyebar kebajikan setidaknya selama setahun?
Salah alamat
Terhadap pertanyaan itu, ada dua kemungkinan yang menjadi penyebabnya. Pertama, kita menjalani puasa tidak sungguh-sungguh sehingga yang didapat bisa jadi lebih pada hikmah fisikal, minimal badan menjadi lebih sehat. Namun, target pembinaan pribadi unggul dengan berpuasa tidak diraih. Kedua, jika aktivitas puasa diharapkan bisa memberantas korupsi dan sekian kejahatan yang merebak dalam masyarakat dan birokrasi, mungkin harapan itu salah alamat karena sebenarnya pemberantasan korupsi sungguh naif jika diharapkan dari gerakan moral-spiritual saja.
Bagi sebagian orang, bulan suci Ramadhan merupakan bulan untuk meng-up grade dan revitalisasi diri sehingga hidup ini senantiasa dipandu kekuatan spiritual. Lewat puasa kita kembalikan dan perkokoh nurani untuk menjadi pemimpin kehidupan.
Kita mesti bersikap positif karena yakin, bulan Ramadhan pasti mendatangkan berkat dan rahmat bagi kita semua.
Puasa sosial
Sebaiknya pemerintah bisa dan mau menjadikan tradisi dan ibadah puasa sebagai aset dan elemen pembangunan bangsa, karena ibadah puasa dan tradisi Lebaran telah berakar kuat dalam masyarakat dan mengandung kekuatan moral yang sangat besar. Salah satu pesan sosial ibadah puasa adalah agar kita tidak konsumtif, ulet menghadapi tantangan, senantiasa menaruh empati pada problem orang lain, mengedepankan moral dan nurani sebagai panduan hidup, dan selalu merasa dekat dengan Tuhan.
Jika nilai-nilai ini menjadi karakter bangsa, keberagamaan kita akan dirasakan sebagai rahmat, untuk menghapuskan kesan bahwa agama itu sumber pertengkaran, keganasan, dan sekadar peleburan dosa.
Selamat memasuki bulan suci, dengan hati, pikiran, dan perilaku yang juga suci!
Dikutip tanpa izin dari buku :"Syahr al-Muwasat", Penerbit: Penerbit Kompas, September 2007
Lebak Bulus, 1 Ramadhan 1430 H ( 22 Agustus 2009) ba'da Ashr jam 15.30 WIB
Semoga Bermanfaat.
Wassalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono (IPH)
L
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar