Hadits riwayat al-Bukhâri dari Anas bin Malik, ia berkata:
Suatu ketika aku pernah berjalan bersama Rasulullah saw. Beliau saat itu memakai selendang Najran yang kasar tepinya. Tiba-tiba ada seorang Arab desa bertemu dengan beliau, lalu menarik selendang beliau dengan kuat, hingga aku melihat di bagian leher beliau ada bekas ujung selendang itu akibat kuatnya tarikan tersebut. Orang itu kemudian berkata, “Wahai Muhammad! Berikanlah kepadaku sebagian dari harta Allah yang ada padamu.” Rasulullah saw. meliriknya, lalu tersenyum dan memerintahkanku untuk memberikan sesuatu kepadanya.
Di antara gambaran saling kasih-mengasihi para sahabat satu dengan yang lainnya adalah hadits riwayat Muslim dari Ibnu Abbas, ia berkarta:
Ketika Umar bin al-Khathab ditimpa suatu musibah, Suhaib ar- Rumi menjenguknya sambil menangis, ia berkata, “Duhai sudaraku, duhai sahabatku!” dari Waqid bin Amr bin Sa’ad bin Muadz, ia berkata; Suatu hari Anas bin Malik datang dan aku menemuinya. Ia berkata, “Siapa engkau?” Aku menjawab, “Aku adalah Waqid bin Sa’ad bin Muadz.” Kemudian ia menangis dan berkata, “Sungguh engkau sangat mirip dengan Sa’ad.”
Hadits riwayat Muslim dari Anas bin Malik, ia berkata; Abû Bakar pernah berkata kepada Umar, setelah wafatnya Rasulullah saw., “Wahai Umar!, marilah kita pergi menemui Ummu Aiman. Kita berziarah kepadanya, sebagaimana Rasulullah saw. Senantiasa berziarah kepadanya.” Ketika kami telah sampai di kediaman Ummu Aiman, mendadak ia menangis. Abû bakar dan Umar berkata, “Kenapa engkau menangis? Sesungguhnya apa yang ada si sisi Allah adalah lebih baik bagi Rasulullah saw.” Ia berkata, “Aku menangis bukan karena aku tidak mengetahui bahwa yang ada di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah saw., tapi aku menangis hanya karena al-wahyu telah terputus dari langit.” Perkataannnya itu membuat Abû Bakar dan Umar tersentuh, kemudian kedua sahabat itu pun menangis bersamanya.
Hadits riwayat Muslim dari hadits yang cukup panjang dari Umar bin al-Khathab tentang tebusan tawanan perang Badar. Dalam hadits itu dikatakan: Ketika esok harinya telah tiba, maka aku (Umar) datang. Tiba-tiba aku mendapati Rasulullah saw. dan Abû Bakar sedang menangis. Kemudian aku berkata, “Wahai Rasulullah saw!, apa gerangan yang membuat engkau menangis dan sahabatmu ini? Jika aku mendapati sesuatu yang bisa menyebabkanku menangis, maka aku akan menangis dan jika tidak pun aku akan memaksakan menangis bersama engkau berdua.” Ibnu Abdil Bar meriwayatkan dalam al-Isti’ab dari Junadah bin Abi Ummayah, bahwa Ubadah bin Shamit pada perang Iskandariyah melarang kaum Muslim untuk berperang, tapi mereka akhirnya maju ke medan perang. Kemudian ia berkata, “Wahai Junadah, coba susul mereka.” Kemudian aku pergi dan kembali kepadanya. Ia bertanya, “Apakah ada orang yang terbunuh dari mereka?” Aku Berkata, “Tidak ada.” Ia berkata, “Segala puji bagi Allah, tidak ada salah seorang pun dari mereka yang terbunuh, karena menolak perintah (panglima perang).”
Dalam pembahasan ini perlu ada batasan yang bisa
memilah-milah antara sikap saling menyayangi, lemah lembut, dan mengasihi di antara kaum Muslim dengan sikap keras dan tegas kepada mereka. Sesungguhnya, kasih sayang dan lemah lembut tidak boleh ada dalam hal penerapan hukum syara’ dan dalam perkara yang akan membahayakan kaum Muslim. Karenanya, kita harus bersikap keras dan tegas pada saat menerapkan hukum Islam dan ketika ingin mencegah perkara yang akan membahayakan kaum Muslim. Berikut ini sebagian dalil atas hal tersebut: Dalam hadits riwayat Ahmad dari Abû Hurairah, ia berkata; Rasulullah saw. pernah bersabda, “Pukullah ia.” Kemudian beliau bersabda, “Ucapkanlah, ‘Semoga Allah merahmatimu’”.
Pada kasus perjanjian Hudaibiyah, Rasulullah saw. menentang
pendapat para sahabat, karena itu merupakan hukum syara’. Hadits mengenai hal itu sudah cukup populer. Rasulullah saw. pada saat itu tidak memihak para sahabat dengan dalih kasih sayang kepada mereka, sehingga beliau tidak akan menyeret mereka dalam kesulitan, atau dengan dalih sayang, lemah lembut, dan kasihan kepada mereka sebagai pihak-pihak yang melanggar perintah beliau. Dalam hadits ‘Aisyah yang disepakati oleh al-Bukhâri dan Muslim, ia berkata: seorang wanita dari kabilah Makhzumiyah yang telah mencuri. Mereka berkata, “Siapakah yang berani berbicara kepada Rasulullah saw. untuk meminta pembelaan bagi wanita itu?” Dengan serentak mereka menjawab, “Kami rasa hanya Usamah saja yang berani, kerana dia adalah kekasih Rasulullah saw.” Maka Usamah pun pergi dan berbicara kepada Rasulullah saw. Untuk minta pembelaan atas wanita itu.” Lalu Rasulullah saw. bersabda,
“Jadi kamu ingin memohon syafaat (pebelaan) terhadap salah satu dari hukum Allah?” Kemudian baginda berdiri dan berkhutbah, “Wahai manusia! Sesungguhnya yang menyebabkan binasanya umat-umat sebelum kalian ialah, apabila mereka mendapati ada orang mulia yang mencuri, mereka membiar-kannya. Tetapi apabila mereka mendapti orang lemah di antara mereka yang mencuri, mereka akan menjatuhkan hukuman kepadanya. Demi Allah!, sekiranya Fatimah binti Muhammad yang mencuri, niscaya aku akan memotong tangannya.” Dalam kasus ini, Rasulullah saw. tidak bersikap lemah lembut kepada kaum Quraisy. Rasul saw. tidak mengasihi wanita Makhzumiyah itu dengan cara membatalkan pelaksanaan hukuman atasnya. Beliau pada saat itu menolak memberikan pembelaan yang diminta oleh Usamah bin Zaid.
Jika Rasulullah saw. pernah menyayangi seseorang ketika menerapkan hukum Allah, tentu beliau akan menyayangi al-Hasan (cucu beliau, penj.) ketika mengambil bagian kurma sedekah. Dalam hadits Abû Hurairah, mutafaq ‘alaih, disebutkan: Al-Hasan bin Ali telah mengambil sebagian kurma sedekah, lalu memasukkan ke dalam mulutnya. Maka Rasulullah bersabda, “Kikh-kikh (tidak boleh-tidak boleh), buang kurma itu! Apakah engkau tidak tahu bahwa keluarga kita tidak boleh memakan harta sedekah (zakat).”
Adapun ketegasan Rasulullah saw. ketika menghindari perkara yang membahayakan sangat jelas terlihat pada hadits riwayat Muslim dari Muadz tentang perang Tabuk, ia berkata: Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya kalian Insya
Allah besok pagi akan mendatangi mata air di Tabuk. Kalian akan mendatanginya hingga siang sudah kelihatan jelas. Barangsiapa yang telah datang di mata air itu, maka ia tidak boleh menyentuh airnya sedikit pun hingga aku datang.” Kemudian esok harinya kami sampai ke mata air di Tabuk. Ada dua orang yang terlebih dahulu datang ke tempat itu sebelum kami. Kemudian mata air Tabuk itu menjadi seperti tali sepatu10 yang mengalirkan air hanya sedikit. Rasulullah saw. bertanya kepada keduanya, “Apakah kalian berdua menyentuh airnya?” Keduanya berkata, “Benar” Maka Rasulullah saw. mencela keduanya seraya bersabda pada ke duanya dengan sesuatu yang Allah kehendaki untuk beliau sabdakan...” Hadits riwayat Muhammad bin Yahya bin Hibban dari Ibnu Ishaq tentang kisah Bani Musthaliq dan perbuatan kaum Munafik, ia berkata: …kemudian Rasulullah saw. berjalan bersama kaum Muslim hingga sore hari, malamnya hingga waktu Shubuh, dan pagi harinya hingga matahari benar-benar kelihatan jelas. Kemudian Rasulullah saw. beristirahat besama kaum Muslim. Hal itu dilakukan oleh Rasulullah saw. untuk menyibukkan kaum Muslim dari apa yang telah terjadi. Hadits Sa'id bin Jubair riwayat Ibnu Abi Hatim yang dishahihkan oleh Ibnu Katsir, “Sesungguhnya Rasulullah saw. pada saat itu berangkat sebelum masuk waktu sore...” Adapun bukti ketegasan para sahabat yang paling tampak adalah ketegasan Abû Bakar ketika akan memerangi orang-orang murtad dan ketika melangsungkan pengiriman Usamah bin Zaid, padahal kebijakan tersebut berbeda dengan pendapat seluruh kaum Muslim saat itu. Namun akhirnya kaum Muslim mengikuti pendapat beliau dan melaksanakan perintahnya, lalu memujinya. Apabila kita mengecualikan masalah toleransi dalam penerapan hukum syara’ dan dalam perkara yang membahayakan, maka dapat dikatakan bahwa orang-orang yang harus dikasihi adalah orang yang ditimpa musibah, seperti kematian, sakit, kehilangan orang yang mulia. Begitu juga orang yang bodoh, ia harus dikasihi, disikapi dengan rendah hati, dan harus diajari dengan sabar. Ketika menerapkan perkara yang dibolehkan, maka harus dipilih yang paling ringan, harus diutamakan bersikap lemah lembut daripada bersikap keras, dan tegas. Sebagaimana yang telah dilakukan oleh Rasulullah saw. kepada pasukan kaum Muslim ketika mengepung Thaif; seperti yang telah dijelaskan oleh hadits riwayat Ibnu Umar riwayat Imam al-Bukhâri sebelumnya. Adapun beberapa bentuk sikap keras dan tegas, dan menampakan keperkasaan kaum Muslim kepada kaum Kafir adalah:
1. Ketika Perang
Al-Bukhâri meriwayatkan hadits dari Wahsyi, ia berkata; Ketika kaum Muslim keluar pada tahun Ainain —Ainain adalah salah satu gunung dari arah Uhud, yang di antara bukit itu terdapat suatu lembah— maka aku keluar bersama kaum Muslim untuk berperang. Ketika mereka telah berbaris rapih untuk berperang, keluarlah Siba (dari pasukan musuh). Kemudian Rasulullah saw. bersabda, “Apakah ada yang mau menampakkan diri?” Wahsyi berkata, Maka keluarlah Hamzah bin Abdul Muthalib untuk menghadapinya, kemudian ia berkata, “Wahai Siba!, Ibnu Umi Anmar si tukang sunat wanita, apakah engkau akan menentang Allah dan Rasul- Nya? Selanjutnya Wahsyi berkata, “Kemudian Hamzah menyerang Siba dan membunuhnya...” Ketegasan para sahabat terhadap kaum Kafir seperti
ketegasan Hamzah, Ali, al-Bara, Khalid bin Walid, Amr bin Ma’di Yakrab, Amir, Dzahir bin Rafi dan yang lainnya, bisa dilihat pada buku-buku Sîrah dan Maghâzî. Siapa saja yang ingin mengetahui lebih banyak tentang mereka hendaknya merujuk buku-buku tersebut. Karena karya ini bukan buku sirah dan cerita, maka untuk tujuan tersebut cukup dengan petunjuk saja.
2. Ketika Berunding dengan Musuh (al-Mufawadhah)
Hadits Muswar dan Marwan riwayat al-Bukhâri, menyebutkan: Mughirah bin Syu’bah berdiri di hadapan Rasulullah saw. Beliau membawa pedang dan memakai baju besi. Ketika Urwah berusaha menyentuh jenggot Nabi dengan tangannya, maka Mughirah bin Syu’bah memukul tangannya dengan sarung pedang, dan berkata kepadanya, “Jauhkan tanganmu dari janggut Rasulullah saw.” Dalam hadits sebelumnya Urwah berkata (kepada Nabi saw.):
Demi Allah!, aku sungguh melihat wajah-wajah dan aku melihat sekelompok manusia bergerobol berlari-lari atau hendak meninggalkanmu. Isaplah daging kemaluan Latta! Apakah kami akan lari dari beliau dan membiarkannya. Perbuatan dan ucapan Mughirah, serta ucapan Abû Bakar dilihat dan didengarkan oleh Rasulullah saw., sementara beliau berdiam diri, maka diam beliau tersebut merupakan pengakuan
(pembenaran).
Muhammad bin Hasan asy-Syibani menceritakan dalam kitab as-Siar al-Kabir, ia berkata; Usaid bin Hudair dan Uyainah menghadap Nabi saw. dengan menjulurkan kakinya. Kemudian Usaid bin Hudhair berkata, “Wahai Uyainah al-Hajrasi!, lipatlah kakimu. Apakah engkau akan menjulurkan kakimu di hadapan Rasulullah saw.? Demi Allah, andaikata bukan karena Rasulullah saw., pasti aku akan menusuk matamu dengan tombak, setiap kali engkau menginginkan hal ini dari kami.” Juga terdapat berbagai perundingan yang ada di berbagai kitab, seperti perundingan Sabit bin Akram, Amr bin Ash, Mughirah bin Su’bah, Kutaibah, Muhammad bin Maslam, Ma’mun, dan lainlain. Semua perundingan itu menunjukkan ketegasan dan keperkasaan (kaum Muslim di hadapan kaum Kafir), dan menjadi teladan bagi orang-orang yang beramal. Katika Menyikapi Orang-orang yang Melanggar Perjanjian.
Dalilnya adalah firman Allah Swt.:
Sesungguhnya binatang (makhluk) yang paling buruk di sisi Allah ialah orang-orang yang kafir, karena mereka itu tidak beriman. (Yaitu) orang-orang yang kamu telah mengambil perjanjian dari mereka, sesudah itu mereka mengkhianati janjinya pada setiap
kalinya, dan mereka tidak takut (akibat-akibatnya). Jika kamu menemui mereka dalam peperangan, maka cerai beraikanlah orang-orang yang di belakang mereka dengan (menumpas) mereka, supaya mereka mengambil pelajaran. (TQS. al-Anfâl [8]: 55- 57)
Hadits riwayat Muslim dari Abû Hurairah tentang futuh Makkah, setelah kaum Quraisy melanggar perjanjian. Dalam hadits itu Rasulullah saw. bersabda:
Wahai kaum Anshar, apakah kalian melihat macam-macam orang Quraisy? Mereka berkata, “Ya.” Rasulullah saw bersabda, “Tunggulah, jika kalian bertemu dengan mereka besok, maka habisi mereka.” Rasulullah saw. menyembunyikan tangannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. Beliau saw. bersabda, “Waktu yang dijanjikan pada kalian adalah di Shafa.” Ia (Abû Hurairah) berkata, “Tidak seorang pun (dari kaum Quraisy) yang mendekati kaum Anshar pada hari itu kecuali mereka membunuhnya.”
Hadits mutafaq ‘alaih dari Ibnu Umar, ia berkata; Kemudian Bani Nadhir dan Bani Quraidzah memerangi (Nabi), dan beliau mengusir Bani Nadhir dan membiarkan Bani Quraidzah, dan menjamin keamanan mereka hingga Bani Quraidzah memerangi (Nabi). Beliau pun menghukum mati laki-laki mereka, dan membagikan wanita dan anak-anak kepada kaum Muslim; kecuali sebagian mereka yang mengikuti Nabi saw., maka mereka pun beriman serta masuk Islam. Beliau mengusir Yahudi di Madinah secara keseluruhan, yakni Bani Qainuqa’ --faksi Abdullah bin Salam-- dan Yahudi Bani Haritsah dan semua Yahudi di Madinah
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar