Puasa Bersama Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam
بسم الله الر حمن الر حيم
Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarkatuh,
Barakallahu fiika (semoga Allah merahmati mu)
Segala puji hanyalah bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga Shalawat dan Salam atas nabi terakhir Muhammad Shalallahu 'alaihi wa salam, tidak ada nabi setelah beliau Shalallahu 'alaihi wassalam. semoga Shalawat dan Salam atas beliau, keluarga beliau, shahabat beliau dan orang – orang yang mengikuti Sunnah beliau sampai akhir zaman.
Amma Ba'du, (adapun selanjutnya)
Alhamdulillah, kita akan membahas tetang fikih shiyam atau shaum atau puasa. Sebenarnya kami belum mau menyebarkan permasalahan fikih ini. Namun beberapa orang dari sahabat kita yang meminta kami untuk membahas nya, Maka alhamdulillah, Allah memberikan waktu bagi kami untuk menyusun buletin tetang fikih puasa ini. Supaya tidak membosankan bagi antum yang membaca nya atau bagi saudara kami yang belum terbiasa membaca kitab ilmiah. Maka kami buat didalam bentuk tanya jawab. Tanpa mengurangi keilmiahan pembahasan. Adapun daftar pembahasan nya sebagai berikut :
1. Cara Menetapkan Awal Ramadhan (Awal Puasa) dan Awal Shawwal (Idul Fitri).
2. Dan Beberapa Permasalahan Seputar menetapkan awal Ramadhan.
PEMBAHASAN
CARA MENENTUKAN AWAL RAMADHAN
1. SOAL : Bagaimana cara menentukan awal ramadhan (awal puasa) yang sesuai dengan al-Quran dan as-Sunnah yang Shahih, karena banyak sekarang terjadi perbedaan didalam menetapkan awal Ramadhan.
JAWAB : بسم الله الر حمن الر حيم
Cara menentukan awal puasa atau awal Ramadhan itu hanya ada dua. Pertama, adalah melihat hilal bulan Ramadhan dengan ru’yah (melihat secara langsung), Kedua, adalah menyempurnakan bilangan Sya’ban menjadi 30 (tiga puluh) hari. Apabila hilal bulan Ramadhan tidak terlihat dengan ru’yah (yakni melihat secara langsung).
Dalil nya adalah sebagai berikut :
Dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda : ”Berpuasalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Ramadhan) dan berbukalah kamu bila sudah melihat hilal (bulan Syawal), jika mendung atas kalian maka genapkanlah bulan Sya’ban menjadi tiga puluh hari.” (Hadits Shahih, Mutafaqun’alaih : Muslim II : 762 no 19 dan 1081 dan ini adalah lafazh Imam Muslim. Fathul Baari IV : 119 no 1909 dan Nasa’i IV : 133)
Dan banyak hadits – hadits seputar ini, yang tidak mungkin saya bawakan disini. Cukuplah bagi kita hadits yang kami sebutkan diatas. (Silahkan Lihat, Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik, jilid 3 hal 118. Lihat, Fiqih Wanita, Syaikh Abu Malik, jilid 1 hal 453. Lihat juga Al-Wajiz, Syaikh Abdul Azhim hal 388)
2. SOAL : Sebagian organisasi Islam dan yang lain nya. Mereka menentukan awal ramadhan dengan hisab. Bagaimana hukum nya hal ini yakni menentukan awal ramadhan dengan hisab.
JAWAB : بسم الله الر حمن الر حيم
Kita sudah mengetahui bagaimana cara menetapkan awal Ramadhan sesuai dengan tuntunan Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam yaitu dengan Melihat Hilal secara langsung atau menjadikan bulan Sya’ban menjadi 30 hari apabila mendung bagi kita. Ssebagaimana yang kami jelaskan diatas.
Adapun menetapkan awal ramadhan dengan hisab, ini adalah kesalahan yang sangat fatal. Yang menyalahi tuntunan Rasulullah Shallahu’alaihi wa Sallam dan Ijma’ Kaum Muslimin. Menentukan awal Ramadhan dengan hisab, sebagaimana yang dilakukan sebagian orang. MAKA INI TIDAK SAH. DAN WAJIB BAGI KITA UNTUK MENJAUHI NYA. Nash – nash atau dalil – dalil nya banyak sekali didalam permasalahan ini. Diantara nya sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam :
”Sesungguhnya kami (umat Islam) adalah umat yang ummi, tidak menulis dan tidak pula berhitung. Bulan itu begini dan begini...” (Hadits Shahih, Bukhari no 1913, Muslim 1080 dan selain nya)
Yakni terkadang dua puluh sembilan dan terkadang tiga puluh hari.
Adapun dari ijma’ (kesepakatan). Tidak ada perbedaan baik dahulu maupun sekarang, tetang tidak sah nya penetapan awal ramadhan dengan hisab. Kecuali sebagian orang yang mengaku ahli fiqih, padahal mereka bukanlah ahli fiqih. (Sumber : Majmu’ al-Fatawa (25/113,132,146), Hasyiyah Ibnu Abidin (II/393, Al-Majmu’ (VI/279) dan Bidayah Al-Mujtahid (I/423) : Silahkan Lihat Shahih Fiqih Sunnah, jilid 3 hal 119 – 120, Fiqih Wanita, jilid 1 hal 452 – 453)
Dengan demikian yang wajib bagi kita adalah untuk menjauhi penetapan awal ramadhan dengan hisab. Karena ini menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu’alaihi wa Sallam dan ijma’ kaum Muslimin. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala telah mengancam keras orang yang menyelisihi perintah Rasul dan tidak mengikuti ijma’ (kesepakatan kaum muslimin), sebagaimana firman-Nya.
”Dan Barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mukmin, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasainya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali.” (Q.S An-Nisa’ ayat 115)
Hanya Allah-lah yang bisa memberi hidayah. Semoga Allah menjaga kita semua.
3. SOAL : Apa Syarat Sah nya Ru’yah (melihat) Hilal itu. Apakah harus 1 kota melihat hilal ramadhan baru sah ditetapkan atau cukup satu orang yang melihat nya melihat nya.?
JAWAB : بسم الله الر حمن الر حيم
Syarat sah nya ru’yah ramadhan itu cukup dengan kesaksian seorang laki – laki atau perempuan yang adil dan terpercaya. Sebagaimana Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma.
Ibnu Umar Radhiyallahu’anhuma berkata :
”Sekelompok orang berkumpul untuk melihat hilal (ramadhan), lalu aku mengabarkan kepada Rasulullah Shallahu’alaihi wa Sallam bahwa aku melihatnya, kemudian beliau (yakni Rasulullah) berpuasa dan memerintahka yang lain nya untuk berpuasa.” (Hadits Shahih, Riwayat Abu Dawud no 2242, Ad-Darimi (II/4) dan Ibnu Hibban no 3447 dengan sanad yang Shahih)
(Silahkan Lihat, Fiqih Wanita, Jilid 1, hal 453 – 454. Al-Wajiz hal 388 – 389. Shahih Fiqih Sunnah, Jilid 3, hal 120)
4. SOAL : Kita sudah tahu, bahwa menetapkan awal ramadhan dengan ru’yah hilal (melihat secara langsung hilal) lalu bagaimana jika kita sendiri yang melihat. Apakah boleh kita berpuasa sementara yang lain nya belum puasa.?
JAWAB : بسم الله الر حمن الر حيم
Barangsiapa yang melihat hilal satu Ramadhan atau Syawal, sendirian. Maka ia tidak boleh berpuasa sebelum masyarakat berpuasa dan tidak boleh berbuka hingga masyarakat berbuka. Hal ini berdasarkan pada hadits dari Abu Hurairah Radhiyallahu’anhu, bahwa Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda :
”Puasa adalah pada hari kamu sekalian berpuasa, berbuka (idul fitri) adalah pada hari kamu sekalian berbuka. Dan hari kurban adalah hari kamu sekalian menyembelih binatang kurban.” (Hadits Shahih, Shahih Jami’us Shaghir no 3869, at-Tirmidzi II : 101 no 693)
Imam At-Tirmidzi berkata : “Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, “Makna hadits ini ialah berpuasa dan berbuka (idul fitri) harus bersama – sama dengan mayoritas kaum muslimin.”
KESIMPULAN DAN FAIDAH :
Inti dari pembahasan ini adalah kewajiban bagi kita untuk mengikuti pemerintah dan berpuasa bersama – sama dengan pemerintah, dan idul fitri bersama - sama. Saya belum mendapatkan satu hadits pun bahwa para Sahabat ada yang berpuasa, sementara Rasulullah tidak berpuasa. Hal juga menunjukkan bahwa Wajib nya kita untuk berpuasa bersama – sama dan idul fitri bersama – sama. Sebagaimana hadits yang terakhir tadi. Nabi Shallallahu’alaihi wa Sallam bersabda :
”Puasa adalah pada hari kamu sekalian berpuasa, berbuka (idul fitri) adalah pada hari kamu sekalian berbuka. Dan hari kurban adalah hari kamu sekalian menyembelih binatang kurban.” (Hadits Shahih, Shahih Jami’us Shaghir no 3869, at-Tirmidzi II : 101 no 693)
Maka dari itu kita harus menunggu pemberitahuan awal ramadhan dari pemerintah. Wallahu’allam.
Semoga bermanfaat bagi antum yang membaca dan menjadi amal kebaikkan bagi kami. Selesai.
- Jika ada salah tulis, atau salah bahasa. Mohon diberitahu. Jika ada pertanyaan silahkan disampaikan.-
Sumber :
1. Shahih Fiqih Sunnah, Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim. Diteliti oleh Imam Muhammad Nashruddin Al-Albani, Imam Muhamma bin Shaleh Al-Utsaimin, Imam Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz
2. Fiqih Wanita, Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim. Diteliti oleh Syaikh Mushthafa bin al-’Adawi, Syaikh Ahmad bin al-’Isawi, Syaikh Umair bin Arafat al-Mishri al-Atsari
3. Al-Wajiz, Syaikh Abdul Azhim bin Badawi Al-Khalafi. Diteliti oleh Syaikh Muhammad Shafwat Nuruddin, Syaikh Shafwat asy-Syawadifi.
Ketiga kitab ini sudah diterjemahkan silahkan merujuk kepada nya.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar