Jum`at, 18 Juli 2008
(whandi.net) IBNU HIBBAN meriwayatkan hadis dari Anas bin Malik. Intinya, kelak di hari kiamat, ada segolongan umat Muhammad yang melesat terbang dari kubur mereka langsung menuju sorga, tanpa hisab. Para malaikat bertanya, “Amal apa yang pernah kalian lakukan selama di dunia?“ Mereka menjawab, “Bila kami dalam keadaan bersepi, rasanya malu kami melakukan maksiat. Di samping itu, kami ridha menerima bagian sedikit yang diberikan Allah kepada kami “.
Dalam kitab ‘Cinda dan Rindu ‘ ( terjemahan ) karya Imam Ghazali, diceritakan ada seorang ahli ibadah di zaman Bani Israil yang sepanjang tahun pekerjaannya melulu beribadah. Satu malam ia bermimpi, mendengar seseorang berkata “Kelak ada seorang wanita pengembala yang menjadi temanmu di sorga“. Ketika bangun, ia cari wanita itu dengan bersusah payah. Setelah ketemu, ia ajak untuk menginap di rumahnya selama tiga hari. Si Abid ( ahli ibadah ) itu ingin tahu amalan apa yang dikerjakannya di waktu malam. Ternyata si wanita itu hanya tidur. Si Ahli ibadah, siang berpuasa sunat, sedangkan si Gembalawati, itu tidak. Setelah genap tiga hari, si Abid bertanya mengenai kebiasaan sehari-hari wanita itu. Ia menjawab, “Jika saya berada dalam kesulitan, saya tidak pernah berharap berada dalam kelonggaran. Kalau kebetulan sakit, tidak beharap segera sembuh. Kalau sedang berada di bawah terik matahari, saya tidak berharap berada dala keteduhan“. Mendengar ungkapan itu, si Abid berkata, “Ya, benar. Itulah soalnya. Demi Allah, yang begitu itu tidak banyak ahli ibadah yang melakukannya“.
“Dalam tradisi amal ubudiyah, cinta ( mahabbah ) menempati derajat utama. Mencintai Allah dan Rasul-Nya, berarti melaksanakan seluruh amanat dan ajaran Al Quran dan Sunnah Rasul, disertai luapan kalbu yang dipenuhi rasa mahabbah. Pada mulanya, perjalanan mahabbah seorang hamba menapaki dejarat mencinta-Nya. Namun, pada akhir perjalanan ruhaninya, sang hamba mendapatkan derajat wahana yang dicintai- Nya,“ demikian antara lain tutur Abdul Aziz Musthafa dalam buku ‘Mahabbatullah‘.
Kecintaan kepada Allah SWT hanya bisa dicapai dengan menghilangkan kecintaan kepada selain-Nya. Itu pula yang terjadi pada Rabi’ah. Ketika Hasan Al Basri datang melamarnya, Rabi’ah menolak dengan sangat bijak. Ia bertanya kepada Al Hasan, “Menurut anda, berapa persenkah nafsu perempuan dibandingkan nafsu lelaki?“ Al Hasan menjawab, “Sembilan puluh persen nafsu perempuan dan sepuluh persen nafsu lelaki“.
Rabi’ah melanjutkan, “Berapa perbandingan akal perempuan dan akal lelaki?“ Dijawablah, “Sepuluh persen akal perempuan dan sembilan puluh persen akal lelaki,“ kilah Al Hasan. Lalu Sufi wanita ini menjawab, “Mengapa saya yang memiliki akal sepuluh persen dapat mengendalikan sembilan puluh persen nafsuk, sementara sembilan puluh persen nafsumu tidak bisa mengenalikan sepuluh persen akalmu?“ Dengan sedih, ulama kharismatik kota Basrah itu meninggalkan Rabi’ah. Ketika ada seseorang bertanya kepada Rabi’ah, “Mengapa engkau tolak lamaran Al Hasan? “ Ia menjawab, ”Karena di dalam hatiku hanya ada kecintaan kepada Tuhan, tidak ada tempat untuk mencintai sesama manusia“. Dalam kaitan ini bukan pula Rabi’ah tidak mencintai Rasulullah SAW. Kecintaan kepada Allah diwujudkan dengan kecintaan pada Rasulullah SAW. Karena, sebenarnya di dalam cinta kepada Allah itu mengandung cinta kepada Rasulullah SAW. Sebab Rasul SAW bersabda , “Cintailah Allah karena nikmat yang dianugerahkan-Nya kepadamu. Cintailah aku karena kecintaanmu kepada Allah. Dan cintailah keluargaku karena kecintaanmu kepadaku“.
Tanpa disertai Mahabbah, ibadat kita terasa gersang, amal terasa hampa dan pertumbuhan ruhani tidak tumbuh subur sebagaimana mestinya. Sebab, ladang jiwa kita telah menjadi wahana persemaian biji keimanan dan keyakinan, tidak menjadi ladang yang disuburkan oleh peribadatan, keilklasan, kecintaan dan istiqamah.
Ridha atau senang menurut Imam Ghazali adalah salah satu buah yang dihasilkan oleh cinta. Nabi SAW bersabda, “Allah, dengan hikmah dan keagungan-Nya, menjadikan kesenangan dan kegembiraan terletak pada keridhaan dan keyakinan. Dan menjadikan duka cita serta kesedihan terletak pada keraguan dan kemarahan.“
“Diantara tanda-tanda mahabbah ialah kesenangan menyepi di tempat kosong dan malam yang gelap untuk mencurahkan perhatian kepada Allah Ta’ala dan memutuskan diri dari makhluk. Barang siapa yang senang menyepi dengan manusia, maka ia termasuk orang-orang yang merugi, “ujar Abdul ‘Aziz Al Darini dalam buku, Pembersih Kalbu‘.
Abu Bakar As-Shiddiq RA berkata, “Barangsiapa yang merasakan kemurnian mahabbah kepada Allah SWT, maka yang demikian akan menyibukkannya dari mencari dunia, dan akan menyepi dari semua manusia“. Sangat indah ungkapan Abdul Aziz Musthafa dalam bukunya, Mahabbatullah : “Menyendiri bersama Allah ketika Dia turun. Para penghuni malam, sudah pasti, mereka adalah ahli mahabbah. Bahkan, mereka merupakan ahli mahabbah paling mulia sebab terjaganya mereka di malam hari untuk menghadap di hadapan Allah SWT, itu mampu menyatukan sebagian besar sebab-sebab mahabbah. Keberhasilan mereka untuk bangun itu merupakan kesuksesan untuk menyendiri dengan Tuhan mereka, saat Tuhan Turun (Nuzul Ilahi) untuk bermunajat kepada-Nya dan membaca firman-Nya“.
Diriwayatkan, ada seorang Abid yang sedang berada di dalam hutan. Lalu dia melihat seekor burung yang indah sedang membuat sarang di sebatang pohon. Kemudian dia berpindah ke dekat pohon itu untuk melihat burung itu dan menikmati bentuknya yang indah. Maka Allah mewahyukan kepada Nabi zaman itu, “Katakanlah kepada si Fulan ahli ibadah itu, Engkau telah menyukai makhluk. Demi Allah, Aku akan menurunkanmu ke derajat yang tidak diperoleh dengan sedikitpun dari amalmu.“ Wallahualam. ** (Uti Konsen.U.M./PONTIANAKPOST)
Sumber: Klik di Sini
0 Komentar Ambil Ini!
Arsip dari: Kasih Sayang Allah, Mahabbatullah
22 Agustus 2009
Cara Meraih Cinta Allah
Kebanyakan orang ingin mengetahui tentang bagaimana orang lain menilai mereka akan tetapi sedikit sekali yang ingin mengetahui tentang bagaimana Allah menilai mereka. Apakah Allah menerima amalan-amalanmu ? Apakah kita telah mengetahui bagaimana Allah menilai amalan-amalan kita ?
Ada sebuah hadits Qudsi dalam shohihul Bukhari yang menjelaskan tentang bagaimana seseorang dikatakan bahwa mereka telah mencapai keridho’an dan kecintaan Allah Yang Maha Kuasa.
Akan tetapi yang pertama kita pahami dulu perbedaan antara hadits Qudsi dan hadits Nabawi. Hadits Qudsi dan hadits Nabawi adalah statemen (perkataan) yang diriwayatkan oleh Nabi SAW akan tetapi hadits Qudsi adalah pernyataan dari perkataan Nabi tentang apa yang Allah firmankan... Jadi kata-kata (dari hadits Qudsi) adalah dari Nabi SAW akan tetapi maknanya dari Allah.
Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra bahwa Rosulullah SAW bersabda :Allah berfirman : Orang yang menunjukkan permusuhan dengan waliKu maka Aku menyatakan perang dengannya.
Al Wali adalah individu yang dicintai Allah. Hadist tersebut berlanjut:
....Kecintaan terhadap sesuatu bersama dengan hamba-Ku yang datang mendekatkan diri kepada-Ku adalah (karena perbuatannya) yang telah Aku wajibkan atasnya untuk dilakukan. Hambaku menjaga kedekatannya dengan-Ku dengan amalan-amalan Nawafil (amalan-amalan sunnah) hingga Aku mencintainya. Ketika Aku mencintainya, Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, menjadi penglihatannya yang ia melihat dengannya, menjadi tangannya yang ia bergerak dengannya dan menjadi kakinya yang ia berjalan dengannya. Jika dia meminta sesuatu dariKu, Aku akan mengabulkannya. Jika dia meminta perlindungan maka Aku akan melindunginya. Aku tidak akan pernah berhenti melakukan sesuatu yang ingin Aku lakukan..... Mukmin membenci kematian dan Aku membencinya melakukan dosa.
Hadits ini membahas banyak persoalan, akan tetapi ketika Allah berfirman, “Barangsiapa menunjukkan permusuhan denganWali-Ku maka Aku akan menyatakan perang dengan-Nya. Karena itulah penting bagi kita untuk mengetahui siapa Wali Allah dan Apa arti Wali itu sendiri.
Al Wali adalah Al-Qareeb min Allahâ. Orang yang dekat kepada Allah. Bagaimana seseorang bisa dekat dengan Allah ? Dengan memenuhi kewajiban-kewajiban dan tugas-tugas yang Allah perintahkan dan dengan menjauhkan diri dari apa yang Dia larang.
Jadi kapan saja kamu mendengar Waliyullah atau Auliyaaâ Allah (bentuk jamak) itu menunjuk pada orang yang dekat kkepada Allah dan orang yang dekat kepada Allah adalah orang yang sempurna dan mereka selalu berbicara kebenaran.
Orang yang berbicara kebenaran, menyeru kepada kebaikan, mencegah keburukan, berperang dalam jihad, menegakkan Dien Allah dan mengemban akidah, dia adalah seorang wali dari Auliyaa Allah.
Semua hamba Allah adalah sama, akan tetapi Allah meninggikan orang yang memiliki ketaqwaan lebih (Takut terhadap-Nya). Dalam surat Al Hujurat, Allah SWT berfirman
Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal, sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang-orang yang paling bertaqwa diantar kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al hujurat,49:13)
Imam Al Junaid pernah ditanya, Apakah wali adalah orang yang berjalan di atas bumi? Imam menjawab,Tidak. “Apakah orang yang berjalan di atas air? Imam menjawab Tidak.Wali adalah orang yang kamu lihat di tempat yang halal (memenuhi kewajibannya), dan kamu tidak menemukannya di tempat yang haram.
Oleh karena itu Wali berada di tempat yang Allah menginginkannya berada dan tidak ada dari tempat yang Allah tidak inginkan dia berada di sana. Sesuatu yang membuat kamu dekat kepada Allah akan membuatmu merasa superior, tenang, gembira dan sukses.
Jadi wali adalah Al Qareeb. Orang yang dekat kepada Allah dan kaafir (orang yang tidak beriman) adalah al Ba’eed orang yang jauh dari Allah. Wali adalah orang yang dekat dengan kasih sayang Allah dan ampunan-Nya. Adapun orang-orang kafir adlah orang yang jauh dari kasih sayang dan ampunan-Nya. Allah SWT berfirman :
Katakanlah: :Al-Qurâ an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Qurâ-an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang –orang yang dipanggil dari tempat yang jauh.
(QS. Fushilat,41:44)
Allah SWT berfirman kepada Rosulullah SAW,
Sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).
(QS. Al Alaq,96:19)
Jadi Allah SWT menginginkan kita untuk mendekatkan diri kepada-Nya, bukan kepada orang-orang kafir, orang-orang Musyrik, PBB, hukum-hukum buatan manusia, pezina (baik belum menikah maupun yang sudah, homoseksual, pergaulan bebas, riba, asuransi, kartu kredit dan apa saja yang lain yang dilarang oleh Islam.
Kasih sayang-Nya terbuka kepada setiap orang, peliharalah dirimu untuk memenuhi kewajiban-kewajibannmu dan jauhkan dirimu dari apa yang Allah larang karena hal ini akan menyebabkan kamu menjadi salah satu dari Auliyaaâ Allah, Allah SWT berfirman
Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu betakwa,. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar.
(QS. Yunus,10:62-64)
Orang yang menolong agama (Dien) Allah adalah Auliyaaâ-Nya dan Allah berjanji untuk menolong mereka dan menjadikan mereka teguh dalam pendiriannya.
Hai orang-orang yang beriman, jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.
(QS. Muhammad,47:7)
Jika kamu menegakkan perintah Allah berarti kamu menolong agama-Nya, kemudian Dia (Allah) akan menolongmu. Kapan saja manusia memenuhi perintah Allah maka akan ada tamkeen (Kekuasaan) lebih karena Dien Allah di muka bumi. Allah tidak butuh pertolonganmu akan tetapi jika kamu menolong Dien maka Dia (Allah) akan menolongmu.
Mudah untuk mengatakan, Satu milyar poundsterling akan tetapi tidak mudah sebenarnya mengumpulkan jumlah ini. Serupa dengan itu, mudah untuk menyebut,waliyullah’akan tetapi menjadi wali Allah adalah sesuatu yang berbeda.
Tingkatan tertinggi atau posisi dalam kata ini adalah menjadi Abdullah (hamba Allah), bukan seorang doktor atau sesuatu yang lain. Kehormatan tertinggi dan memiliki hak-hak istimewa adalah mencapai Keridhoâan Allah bukan tingkatan PhD atau Diploma.
Tidak akan menjadi hamba yang dekat dengan Allah kecuali dikarenakan dia memenuhi apa saja yang Allah wajibkan atasnya untuk dilakukan seperti membayar zakat, memberi nasehat kepada orang-orang muslim, menyeru kepada kebaikan, melarang keburukan, berbicara melawan hukum-hukum buatan manusia dan syirik, mengajarkan manusia dengan Islam, sholat, berjuang untuk khilaafah, membantu yang membutuhkan dan lain sebagainya. Jadi jika kamu melakukan yang fardhu (wajib) maka kamu akan menjadi orang yang dekat kepada Allah dan jika kamu gagal mengerjakannya, maka Dia (Allah) akan menghukummu.
Jika kamu telah mengerjakan kewajiban-kewajibanmu, setelah itu kamu dapat mengerjakan amalan-amalan Nawafil dan inilah yang akan membuatmu lebih dekat kepad Tuhanmu.
Orang yang menjadi wali Allah akan dilindungi oleh Allah. Allah akan menjadikan ia kebal terhadap bisikan syaithon dan Allah akan mencegah pendengarannya dari mendengar sesuatu yang dilarang. Terlebih lagi Allah akan mencegah matanya dari melihat apa-apa yang terlarang dan mencegah lisannya dari kata-kata buruk serta perbuatannya dari mengerjakan sesuatu yang haram seperti voting (pemilu) untuk hukum buatan manusia atau pergaulan bebas dan lain-lain. Inilah yang diartikan oleh hadist : ... Dan ketika Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarannya yang ia mendengar dengannya, penglihatannya yang ia melihat dengannya, tangannya yang ia bergerak dengannya dan kakinya yang ia berjalan dengannya...
Wahai Ikhwan dan Akhwat, lakukanlah yang fardhu dan jauhilah yang haram maka dengan itu kamu akan dicintai oleh Allah dan menjadi Auliyaaâ-Nya. Insya Allah.
__________________
ISY KARIMAN OUMUT SYAHIDAN
Sabtu, 22 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar