Jumat, 31 Juli 2009

CANDUKU AGAMAMU

Ada tuduhan bahwa rakyat Islam adalah sumber kebobrokan bangsa ini. Maklum saja, mayoritas bangsa Indonesia menganut ajaran Muhammad, sehingga tak aneh jika keburukan bangsa ini dialamatkan kepada risalah yang dibawakan teladan agung kita itu. Sebab memang sudah dari dulu ajaran Muhammad selalu ditentang oleh musuh-musuhnya. Gue juga bisa menuduh bahwa Pancasila itu sumber KKN, karena dengan ideologi Pancasila-lah sistem yang korup, kolusi dan nepotis ini dibangun. Tetapi apakah pemikiran itu selalu sejalan dengan tindakan seseorang? Konon selalu saja ada kesenjangan antara pikiran dan tindakan--split personality complex. Sumber kejahatan tidak mesti harus dicari pada pikirannya, tetapi mungkin pada upaya praksisnya yang keliru. Kalau seorang Muslim merampok dan membunuh seorang Muslim toh pengadilan tidak pernah mempersoalkan ke-Islam-an mereka bukan?!

Menghadapi sebuah tuduhan, refleks yang kita lakukan adalah membela diri--apologetik biasa, maklumlah. Islam itu kan aturan Allah Azza Wa Jalla, diturunkan untuk segenap manusia, kok malah dituding sumber kebejatan moral. Sampai-sampai "si mbah jenggot" turunan Yahudi yang kebetulan oleh bapaknya diberi nama Karl Marx mengecap agama sebagai candu. Apa sih candu itu?! Candu itu narkotik (:kata BNN), obat yang dalam takaran tertentu berguna untuk mematikan rasa sakit, tetapi penyalahgunaannya justeru dapat menciptakan kenikmatan yang menjajah. Nah, si Yahudi Marx itu menganggap agama sering dipakai (tentunya oleh mereka yang ahli atau minimalnya tahu tentang agama, karena pecandu obat bius pun tahu jenis, merek dan "khasiat" barang haram yang dipakainya) untuk melenakan penganutnya dari persoalan-persoalan duniawi. Orang melarat diminta untuk sabar dan tawakal menyaksikan si kaya asyik menghambur-hamburkan fulus untuk ke Makkah, hilir-mudik dengan Baby Benz atau berebutan kursi parlemen mengatasnamakan ideologi dan demokrasi. Orang melarat itu lebih dekat dengan surga ketimbang si kaya. Maka si melarat tidak pernah mempertanyakan kenapa hidupnya kembang kempis sedang tetangganya buncit perutnya karena kebanyakan korupsi sama makan di McD'. Orang yang mengajarkan agama malah menghiburnya bahwa kaya-miskin itu takdir Tuhan, dan mana mungkin orang kaya semua atau miskin semua. Lagian juga kalo semua ke McD' siapa yang ke warteg?!

Jadi benar bahwa agama (Islam) itu candu?! Nah, kita akan berapologi lagi bahwa Islam itu bukan candu. Agama justru sangat care dengan persoalan kemiskinan. Ali bin Abi Thalib pernah bilang bahwa "Andaikan kemiskinan itu berwujud manusia tentu akan aku bunuh", karena kata Nabi "Kefakiran itu mendekatkan seseorang pada kekafiran". Dus kemiskinan harus dilenyapkan, minimalnya diminimalkan, bukan dibiarkan, apalagi dikonservasi. Karena itu si kaya diwajibkan menyisihkan sebagian kekayaannya untuk dibagikan kepada si miskin melalui mekanisme infak dan zakat. Lalu apakah jika si kaya sudah bersedia menyumbang untuk si miskin, agama berhenti menyerukan kebajikan? Fenomena yang terjadi justru sering terasa menggelitik, malah menyesakkan dada. Jika si melarat tahu bahwa sedekah dan zakat orang-orang kaya (untuk konteks Indonesia moderen misalnya kucuran modal konglomerat buat pengusaha kecil atau bagi-bagi sembako gratis oleh kalangan bermodal gede) dipakai buat "menghapus dosa-dosa" sambil menimbun dosa-dosa baru. Kemitraan bukannya membesarkan si kecil tetapi memperbesar kue konglomerat dan mengekalkan tata hubungan yang selama ini memang sudah timpang. Program bagi-bagi sembako dijadikan ladang bisnis baru. Nggak ada salahnya sih beramal sambil berbisnis. Masalahnya apakah dengan beramal tersebut persoalan kemiskinan bisa teratasi [?!] Jangan-jangan malah terlestarikan [?!]

Maka dari itu agama tidak boleh berhenti bertugas! Agar para ulama tidak kelelahan berdakwah dan berdakwah, menghabiskan banyak dana dan energi, ada baiknya persoalan kemiskinan disorot secara struktural (oleh ulama). Kenapa seseorang bisa miskin, apakah memang sudah takdirnya dilahirkan dalam keadaan fakir miskin, lalu kenapa orang tuanya miskin, kakek neneknya miskin dan mbah buyutnya juga menderita kemiskinan. Mungkin daerahnya kering kerontang? Timbul pertanyaan kenapa daerah tersebut tidak terjamah pembangunan, wong Jepang yang miskin sumber daya alam saja bisa menjadi macan industri. Karena yang harus diprioritaskan adalah kota-kota di mana industri menjamur, dan orang desa yang miskin silahkan urbanisasi atau ber-transmigrasi. Yang tidak mau ikut urbanisasi atau transmigrasi, ya terpaksa bergulat dengan kemiskinan hingga tujuh turunan. Warga desa yang miskin ini terpaksa menjadi buruh tani dengan upah minimum demi menggelembungkan perut si petani kaya atau tuan tanah. Sedang mereka yang memilih ke kota menjadi buruh pabrik hidup serba kekurangan karena upah minimum regional atau upah minimum kota yang ditetapkan penguasa memang kecil (kan agar investasi asing mengalir lancar). Jika si buruh menuntut kenaikan upah, pemilik pabrik biasanya kucing-kucingan. Kalau buruhnya nekad dan bikin demo, pemilik pabrik pun dengan sigap panggil satu peleton BRIMOB plus preman yang biasanya mengutip uang keamanan. Kalau nekad lagi ya di-Marsinah-kan. Atau dituduh komunis dan anarkhis, selesai acara.

Kalau ulama terus-menerus sibuk mencari dalil kenapa orang bisa miskin, ya persoalan tidak selesai-selesai, karena persoalannya lebih kepada masalah sistem. Nah, di tengah deras tuntutan keadilan sosial, para ulama yang bijak ini malah sibuk memprediksikan perolehan kursi partainya dalam pemilu kelak. Atau sibuk mempersoalkan khilafiyah dan terus mesra ber-assobiyah. Dalam suasana kemalangan seperti sekarang memang paling menyenangkan hiburan-hiburan politis seputar mitos-mitos sejarah buatan rezim, membesar-besarkan bahaya serangan teroris atau menjual gagasan terorisme-nya si Zionis Laknatulloh. 'Jadi benar nih agama berfungsi sebagai candu?' Salah siapa yang menciptakan kesan agama adalah candu: salah Marx si komentator? Salah elit partai? Salah Ulama? Salah ummat? Atau salah agamanya? (Atau salah penulis artikel ini? -Red)

Agama memang bukan candu, tapi oleh para penganutnya (dan oleh para pakar agama atau bahasa Arabnya ulama) sering dibuat seperti candu. Terutama jika pemerintah (atau bahasa Arabnya umaro) meminta ulama memberi 'candu' untuk menenangkan ummatnya yang lagi emosi, agar lupa persoalan sesungguhnya. Ulama dan umaro kan harus bekerja sama, karena politik dan kekuasaan juga wilayah ajaran Islam. Kalau umaro punya program-program pembangunan, ulama harus ikut memberikan fatwa (legitimasi agama). Kalau umaro bilang ada bahaya laten komunis, ulama harus menggalang apel akbar mewanti-wanti bahaya ateisme dan kekejaman PKI. Kalau POLRI seenaknya menangkapi para pejuang kemanusiaan (seperti Ustadz Ba'asyir) atas intervensi Amerika bin Zionis Yahudi, ulama harus mengatakan dengan lantang bahwa POLRI adalah gundiknya imperialis kafir. Ulama dan umaro harus harmonis demi kemaslahatan ummat. “Demi mencandui ummat dan pemiskinan ummat atau demi tugas pembebasan dari sistem Jahiliyah?!” Atau salahkan kaum Marxis yang mengadvokasi buruh karena dicurangi oleh pemilik pabrik. Atau juru dakwah Kristen yang memanfaatkan kemiskinan ummat demi ajaran kasih Yesus. Jika benar, mari kita musuhi komunisme dan Kristen. Lupakan masalah perut atau UU Ketenagakerjaan. Agama bukan masalah perut atau upah buruh coy...!!!

Padahal agama itu diturunkan untuk manusia yang punya perut dan mungkin keterpaksaan nasib menjadikannya seorang buruh. Agama tidak terus mengatur bacaan doa masuk WC, wirid sesudah sholat atau besarnya nasab untuk zakat ternak unta (siapa yang punya seribu ekor unta di negeri ini?). Agama harus mampu mensejahterakan ummatnya yang kebetulan menjadi buruh pabrik, petani kecil, pedagang kaki lima atau penghuni kawasan kumuh, jika slogan "agama itu sistem yang komplit: mengatur urusan dunia dan akhirat" itu benar. Makna agama tidak terletak pada kesahihan hukum-hukum (fiqih), tetapi pada kemampuan menjadi rahmat bagi seluruh alam. Bukan untuk orang Islam saja, bukan untuk mereka yang kebetulan tidak jadi buruh pabrik, petani kecil, pedagang kaki lima atau penghuni kawasan kumuh saja. Justru pengikut Muhammad dulu rata-rata wong cilik: budak belian, orang miskin dan perempuan-perempuan lemah, sedikit sekali orang kaya yang tertarik. Orang kaya malah memusuhi Muhammad karena ajarannya mengancam status quo yang selama ini mereka nikmati: jual beli budak demi kelangsungan perdagangan di kota Makkah, demi eksploitasi si miskin atau menghalalkan korupsi untuk memperkaya diri [?!]

Dalam era yang lagi penuh euforia kebebasan ini, agama sebaiknya dikembalikan kepada fungsi transformasi sosial sebagaimana pernah diteladankan oleh Pemimpin Revolusi Islam, Rosululloh Saw.. Bukan dijadikan komoditas politik. Atau dijadikan senjata pamungkas untuk mengkomuniskan dan mensekulerkan (juga memasukkan ke dalam api neraka) mereka yang berseberangan platform organisasi-nya. Agama adalah semangat perubahan zaman yang menghendaki tatanan ‘berkeadilan’ di mana yang kaya dan yang miskin lebur dalam bingkai sistem nilai ala Rosulluoh. Jika si kaya menolak menyerahkan sebagian hartanya untuk menyumbang secara ikhlas (tanpa pamrih apapun), agama harus mengutuknya sebagai "pengumpul dan penghitung-hitung harta", bakal calon penghuni neraka hutomah. Agama harus menentang penindasan oleh orang-orang kuat yang kebetulan memegang tampuk kekuasaan atau mengendalikan jalannya perekonomian. Meskipun kebetulan mereka menganut Islam sebagai isian kolom KTP-nya dan mulutnya penuh buih ayat-ayat suci selama berpolitik. Agama bukan ajaran langit yang begitu sakralnya, tetapi untuk manusia penghuni bumi yang bergulat dengan persoalan-persoalan duniawi. Agama berbicara tentang moralitas demi memuliakan derajat manusia, bukan moralitas yang mengekalkan eksploitasi sistematik !!!

Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayati 'l-Mus'tadz'afin

Tidak ada komentar:

Posting Komentar