Demi Allah, sekalipun mereka meletakan matahari di tangan kananku dan rembulan di tangan kiriku supaya Aku meninggalkan RISALAH yang kupikul, Aku tidak akan meninggalkannyahingga Allah memberi KEMENANGAN, atau Aku MATI BINASA. (Rasulullah Muhammad SAW) Mengharap kemenangan dan pertolongan dari Allah, dengan kesabaran Revolusioner (Imam Khomeini, 1979)
Negeri berpopulasi sekitar ratusan juta jiwa yang terletak di kawasan “Zamrud Khatulistiwa”, dengan luas bentangan buana kira-kira setara dengan jarak dari London hingga Teheran dan kekayaan alam amat berlimpah, dewasa ini tengah dirundung malang oleh ‘balur-balur biru pilu kelabu’ yang membebani bagian terbesar anak bangsanya. Persoalan yang berkembang tak kunjung terselesaikan, kendati pergantian presiden dan jajaran kementerian berulangkali dilakukan. Bahkan dari hari ke hari tingkat indeks kesejahteraan rakyat menurun drastis. Pengangguran terus membumbung, lapangan pekerjaan kian jarang. Kemiskinan, kelaparan dan kekurangan gizi merajalela dimana-mana. Betapa banyak petani tak mampu lagi mengelola lahannya, karena tak pernah mendapat laba. Betapa banyak pedagang menipis penghasilannya, seiring menurun drastis daya beli konsumennya. Betapa banyak pengrajin terancam kelangsungan usahanya, akibat kekurangan modal dan akses pasar. Betapa banyak buruh yang merana, akibat di-PHK majikannya. Dan banyak pula pengusaha kelas rumahan yang dipaksa gulung tikar akibat kalah bersaing dengan pengusaha raksasa yang padat modal. Lebih dari itu, mereka yang terusir oleh pertikaian antar-etnik maupun agama serta antar kelas sosial hingga antar kampung terus menggejala memberi pertanda adanya segregasi dan disintegrasi sosial.
Sejalan dengan fenomena tersebut, budaya barbarian ikut serta mengepung seluruh pelosok negeri. Ditandai kuatitas dan kualitas tindak kriminal yang terus memuncak, ditingkah oleh minimnya jaminan keamanan, maka akibatnya rasa aman pun merambat lenyap. Dan rasa frustasi dan teralienasi massal terpupuk, menampakan bentuknya dalam perilaku konsumsi NARKOBA dan tindak kekerasan massa yang semakin mengangkasa. Wajarlah, jika WS Rendra menyatakan zaman ini ‘zaman kalabendu’.
Serangkaian kenyataan terurai, mengingatkan KITA pada realitas kejahiliyahan yang dialami Masyarakat Makkah pra-Kenabian. Halmana rentetan permasalahan datang dari segala jurusan menimpa Masyarakat Makkah. Realitas tiranik berepidemik mencabik-cabik rasa kemanusiaan. Penindasan terjadi dimana-mana hingga dianggap hal yang biasa. Kebodohan dan pembodohan, kemiskinan dan pemiskinan, permusuhan dan perseteruan, persangkaan dan kebohongan, pembantaian dan pemenjaraan, perbudakan dan perhambaan, koersi dan intimidasi, serta pemerasan dan penghisapan mengemuka secara sistemik dengan melibatkan secara trans-sektoral dan trans-kelas sosial. Struktur politik masyarakat Mekkah yang ‘feodalistik-kapitalistik’ secara efektif berfungsi menopang ‘beranak-pinaknya’ gejala-gejala tiranik dimaksud. REZIM TRIUMVIRAT Abu Sofyan, Abu Jahal dan Abu Lahab-yang adalah musuh utama Nabi-dengan kuasanya melanggengkan “ORDE KEGELAPAN”. Bahkan kehadiran Nabi Muhammad yang membawa Islamic Salvation Mission/misi pembebasan berupaya dimusnahkan baik wacana, raga, bahkan maupun basis pengikutnya. Rezim memandang, kritik dan koreksi teologis-politis Nabi beserta pengikutnya terhadap ‘PAGANISME’ merupakan ancaman potensial terhadap legitimasi tradisional ‘Kuasa Politik-nya’, sekaligus ancaman terhadap formasi sosial yang dilanggengkannya.
Tata bangun peristiwa tersebut ternyata kembali menjelma di Nusantara “KITA’’, di tanah bekas jajahan Hindia Belanda. Sebagai sunnah sejarah, kendati dalam bentuk dan varian serta area dan skala, aktor dan kolaborator yang berbeda. Jika pada era Nabi Muhammad, sumber legitimasi Rezim Tiran adalah ‘PAGANISME-FEODALISME’ maka hari ini, di Indonesia ini didasarkan pada ‘KAPITALISME-SEKULERISME’. Atas dasar pendewaan kepentingan modal dan marginalisasi Agama, maka dogma-dogma, klaim-klaim, perundang-undangan, serta kebijakan dan tindakan REZIM TIRAN dikembangkan. Kesemuanya bermuara pada upaya pelestarian struktur politik dan formasi sosial yang jelas-jelas hanya menguntungkan segelintir orang dan justeru merugikan banyak orang. Hatta Privatisasi Agama pun--(sama bahayanya dengan privatisasi BUMN)--tak lepas dari sepenggal upaya guna mereduksi dan mengisolasi ‘POTENSI REVOLUSIONER AGAMA’ agar tidak tampil membongkar HEGEMONI dan DOMINASI yang mereka bangun. Itulah relevansi mengapa ISLAM dijinakan agar semata menjadi candu bagi para penganutnya. Agar semata menjadi obat penawar ‘penyakit jiwa’ dan etika individual, bukan sebagai ‘LIBERATING FORCE’ bagi semua kalangan dan lapisan masyarakat yang tengah terperangkap dalam ‘SISTEM TIRANIK-JAHILY’ yang mereka ciptakan. Sementara Agama yang dibangun atas dasar spirit dinamika sejarah dan berupaya menjelma sebagai kekuatan organik dan ‘LIBERATING FORCE’ terus menerus mengalami pembusukan intelektual.
Menyadari labirin dan kompleksitas permasalahan yang dihadapi cukup mendasar, ‘KITA’ memandang bahwa solusi pemecahan yang hendak diaplikasikan mestilah komprehensif dan integratif. Tidak justeru sebaliknya, parsial dan sporadis. ‘KITA’ berketatapan hati, bahwa program perjuangan KITA berorientasi secara simultan pada ‘Pembaharuan Identitas Keagamaan’ sekaligus ‘Pembaharuan Formasi Sosial-Politik’ bangsa kita. Kita menghendaki identitas keagamaan yang terbangun secara spiritual maupun historikal ini kembali pulih. Bahwa identitas religius yang dimiliki, yang bertumbalkan cucuran darah, tetesan keringat dan air mata, luapan suka dan nestapa para pendahulu ‘KITA’, adalah pusaka yang abadi. Bahwa identitas keagamaan yang melekat pada jiwa ‘KITA’ adalah anugerah sekaligus amanah. Bahwa ia harus dijaga dari KUASA THAGUT-IMPERIALIS yang terus bergentayangan menghancurkan sendi-sendi kehidupan KITA. Dalam konteks inilah ‘PERLAWANAN SEMESTA TERHADAP IMPERIALIS-ASING’ yang berupaya ‘MENJAJAH’ Bangsa ini dengan model baru patut digenderangkan. Yakni penjajahan yang mengambil model melalui pendiktean politik, yang disertai ancaman dan hukuman, melalui invasi budaya, melalui penetrasi intelektual-ideologis, melalui ekspansi modal, haruslah segera dilawan dan ditentang. Jika tidak, maka hancurlah BANGSA INI menjadi Bangsa yang tak memiliki integritas dan kualitas, terperosok jadi BANGSA KERDIL dan BANGSA KULI, serta BANGSA MELARAT sepanjang hayat.
Upaya pembaharuan formasi sosial-politik mendapatkan relevansi-aktualnya ditengah relasi-sosial Bangsa ini yang berwatak KORUPTIF-EKSPLOITATIF-ALIENATIF. Relasi antara penguasa dan rakyatnya, para elit-dan massanya, antara kaum buruh dan kaum majikannya, kaum miskin dan kaum kaya, kaum terpelajar dan kaum tak-belajar, warga desa dan warga kota, produsen dan konsumen, kaum agamawan dan jemaatnya terjalin dalam relasi KORUPTIF-EKSPOLOITATIF-ALIENATIF. Jauh dari watak mutualistik dan solidaritas serta rasa keadilan. Dimana satu pihak bertendensi menjaga kepentingan egoistisnya secara membuta. Fakta penggelapan anggaran dan jual beli ‘jabatan’, yang terjadi di lingkungan birokrasi dan elit politik merupakan indikasi abusement of power di kancah politik kita. Fakta berlakunya bermacam ragam pungutan atas rakyat. Fakta kebohongan bahkan kekerasan elit negara terhadap masyarakat. Fakta pencabutan subsidi. Fakta penistaan terhadap hak-hak buruh. Fakta manipulasi dan diskriminasi hukum serta perundang-undangan. Fakta kesenjangan ekonomi. Fakta marginaslisasi akses dan kepentingan ekonomi sektor menengah ke bawah, adalah rangkaian kenyataan yang mengindikasikan betapa relasi sosial antara KAUM MUSTAKBIRIN dan KAUM MUSTAD’AFHIN sarat berwatak KORUPTIF-EKSPOLOITATIF-ALIENATIF.
Pada tingkat Komunitas Islam, sebagaimana telah dimafhumi, ‘Islam’ dan kaum ‘Muslim’ senantiasa memiliki “selling point” yang tinggi alias “laku keras” untuk ‘dijual’ sebagai (1) komoditas politik di pasar taruhan dan pertarungan kepentingan (conflict of interests) antar-elite politik, (2) sebagai sasaran tembak media massa yang entah kapan akan bisa bersahabat dengan komunitas Islam, (3) sebagai ‘kambing putih’ dan common enemy/common denominator yang paling sahih dan paling dibenarkan oleh prasangka-prasangka historis-ideologis tradisional [Barat] selaku pelaku ‘human crime’ yang wajib dimusuhi oleh para “pejuang hak-hak asasi manusia” sejagat, (4) sebagai pecundang yang hanya akan mampu berteriak lantang dari gurun pasir seberang atau sekadar meratapi nasib saja bila dibusukkan secara politik, di-‘momok’-kan dan di-stigma-kan secara ideologis, dipinggirkan secara ekonomi, dipandang-remehkan secara intelektual, dan di-inferior-kan secara moral dan cultural.
Sementara, bila terdapat Komunitas Muslim yang dibantai dan diperkosa secara massal, dengan serta-merta dunia menutup mata seolah-olah nothing happened there…! Dan sebaliknya, bila terdapat progress dan advantages di kalangan ilmuwan, intelektual, profesional, teknokrat, budayawan dan gerakan perempuan Islami, buru-buru lah mereka (Barat beserta seluruh sekutu, cecunguk, begundal dan ‘bala kurawa’-nya, termasuk sekutu lokal-nya yang sangat loyal!) meng-klaim bahwa “awan mendung dan ancaman serius bagi peradaban dan kemanusiaan telah datang bersamaan dengan munculnya para teroris barbarian Arabia!” [Catatan: Ingat Edward W. Said dalam Covering Islam (State University of New York Press,1986), Samuel P. Huntington dalam The Clash of Civilization (Harvard University Press, 1992), atau bahkan film layar lebar dan VCD “True Lies” yang dibintangi oleh Arnold Schwarzenegger, yang bukan saja sangat biased terhadap Islam, melainkan juga memang secara sistematik berusaha membusukkan citra Islam di mata dunia!]
Oleh karenanya, dalam ‘PERJUANGAN KITA’, solusi alternatif yang dibangun adalah berujud ‘Pembaharuan Total’ berbasis kekuatan MASSA-MUSTAD’AFHIN lewat pendekatan fisik-material, intelektual-rasional, serta moral-spiritual dengan meliputi dimensi kultural maupun structural, dan pada spektrum kebangsaan maupun ke-Islam-an KITA seluruhnya. ‘Pembaharuan Total’ dimaksud merupakan proses dialektis dan determinis yang tercipta dengan kesadaran massif-kolletif bersandarkan spiritualitas, solidaritas, dan kelas sosial menuju ‘KEPUNAHAN TOTAL TATANAN LAMA’ dan ‘TERCIPTANYA SECARA TOTAL TATANAN BARU’ yang digerakan oleh Risalah Ilahiyah. Kepunahan total tersebut adalah rusak dan lumpuhnya ‘KEKUATAN YANG BATHIL’ yang konservatif menghadapi ‘KEKUATAN AL-HAQ’ yang visioner dan progresif.
Tatanan baru ini secara sistemik mengarah pada terbangunnya ‘Tatanan Islam Yang Kaffah’ yang berkemampuan mereduksi indikasi tiranik-eksesif yang mungkin terjadi oleh sebab-sebab manusiawi. Dalam konteks inilah, Negara akan mampu menjalankan secara efektif fungsi reservasi dan transformasi humanistik-nya terhadap segenap rakyatnya. Berbanding terbalik dengan ‘realitas’ status quo yang bertendensi memeras rakyatnya dan melayani kepentingan golongan/kelompok tertentu saja serta mendewakan kepentingan modal dan mencampakan Agama. Wallahualam…
Jumat, 31 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar