Alkisah, seorang sufi beribadat di atas benteng di puncak sebuah bukit yang tinggi. Di bawah benteng itu mengalir sungai yang jernih. Begitu rupa sufi ini beribadat sehingga ia tenggelam dalam munajat dan doanya. Rasa haus pun menyerangnya. Ia melihat ke kiri dan ke kanan, tapi tak ia dapatkan minuman. Benteng itu mengurungnya. Suara air dibawah begitu jernih terdengar di telinganya. Serangan haus itu semakin menjadi. Ia pukulkan tangannya ke dinding benteng itu, merobohkan bata demi bata, meruntuhkan tiang demi tiang, berusaha mendekatkan dirinya menuju sungai di bawahnya. Setiap bongkah batu yang dijatuhkannya, gemericik suara air terdengar karena percikannya. Semakin ia mendengar percik itu, semakin besar kerinduannya. Melihat ini, sungai di bawahnya itu berkata, "Hai salik, apa yang kau lakukan? Kauhancurkan bentengmu?" Sufi itu menjawab, "Dengan meruntuhkan benteng ini aku punya dua keuntungan. Keuntungan yang pertama, aku makin dekat denganmu. Keuntungan yang kedua, setiap bongkah yang jatuh menenteramkan batinku."
Tibalah akhirnya, pada bongkah yang terakhir. Dengan penuh semangat, ia menjatuhkan dirinya, menceburkannya pada air sungai itu yang berkata: Masihkah akan kau minum airku yang sudah kotor ini? Sufi itu menjawab: Air suci yang datang darimu masih jauh lebih bersih lagi. Sungai pun berkata: Mandilah dan minumlah. Puaskan dahagamu. Sucikan ruh dan jiwamu.
Kisah di atas ditulis Rumi, lagi-lagi penuh dengan metafora: perumpamaan-perumpamaan buat kita untuk menggali maknanya. Sufi itu adalah misal kita semua. Air sungai yang jernih adalah tujuan perjalanan kita. Dalam setiap diri kita ada kerinduan kepada yang abadi, ada fitrah yang tak mungkin terganti, ada kekosongan yang harus terisi. Itulah jeritan seruling Rumi.
Tetapi antara kita dan tujuan kita ada benteng kokoh yang menghalangi kita. Kata Rumi, itulah hawa nafsu kita. Benteng itu harus kita robohkan, hawa nafsu itu harus kita kalahkan. Bukankah Nabi Saw bersabda memerangi hawa nafsu adalah jihad al-akbar? Tasawuf adalah ilmu untuk meruntuhkan keakuan kita, menaklukan hawa nafsu kita, meniadakan keinginan kita.
Ada dua keinginan: Keinginan Tuhan dan keinginan manusia. Dari dua keinginan ini, kita bisa bagi empat kelompok hamba. Kelompok pertama adalah kelompok yang mendahulukan kehendak diri di atas kehendak Tuhan. Ketika Tuhan menghendaki kita meluangkan waktu pertengahan malam dalam berdoa, kita lebih memilih kehangatan selimut kita. Ketika Tuhan meminta kita untuk membantu sesama, kita lebih memilih untuk menumpuk harta. Inilah kelompok yang menjadikan hawa nafsu sebagai Ilah-nya. Kelompok kedua adalah kelompok yang terombang-ambing diantara dua keinginan. Terkadang ia dahulukan kehendaknya, pada kesempatan yang lain ia memenuhi panggilan Tuhannya, Inilah, mungkin, kelompok mayoritas di antara manusia. Kelompok ketiga adalah kelompok yang senantiasa mendahulukan kehendak Tuhan diatas kehendak manusia. Kelompok ini berusaha untuk menggapai rido Allah, meski mereka masih mempunyai keinginan. Mereka korbankan keinginan itu demi rido Allah Swt. Inilah kelompok para mujahid. Kelompok yang keempat adalah merek yang sudah tidak memiliki apa pun kecuali kehendak Allah Swt dalam dirinya. Kehendak Tuhan dan kehendak mereka sudah menyatu. Mereka tidak lagi memiliki kehendak. Semuanya adalah ma sya'a Allah. Inilah kelompok para kekasih Allah.
Bayazid al-Busthami, seorang sufi besar pernah diriwayatkan berdoa:Ilahi, uridu an la urid, aku ingin agar aku tidak punya keinginan lagi.
Hawa nafsu adalah gudang keinginan kita. Berbeda dengan cerita Rumi, Imam Ghazali mengibaratkan hawa nafsu itu sebagai seekor kuda liar, ia bukan untuk dihilangkan. Ia harus kita taklukkan. Hawa nafsu itu harus berada di bawah kendali kita. Sehingga cepat kita berjalan kembali kepada-Nya.
Kisah Rumi di atas juga mengajarkan agar kita tidak henti-henti berusaha dan tak pernah putus asa. Pernah seorang sufi berdoa dan setan datang mengganggunya. Setan mengalihkannya dari doa dengan mengatakan bahwa Tuhan tidak mendengarkannya, Tuhan tidak mempedulikannya, Tuhan tidak pernah menjawabnya. Sufi ini putus asa. Ia hentikan doa-doanya. Suatu malam ia bermimpi. Ia melihat malaikat datang menujunya. Malaikat itu menyampaikan pesan Tuhan, bertanya mengapa ia tak lagi berdoa kepada-Nya. Ketika sufi itu menjawab bahwa ia tak lagi berdoa karena tak pernah ia dengar jawaban dari Tuhan, malaikat itu berkata:tangisanmu dalam doamu, adalah jawaban Tuhan terhadapmu; kenikmatan berzikirmu adalah jawaban Tuhan terhadapmu; kerinduanmu akan waktu-waktu shalatmu, adalah jawaban Tuhan terhadapmu.
Walhasil, langkah berikutnya dalam tasawuf adalah mengendalikan hawa nafsu kita. Mengendalikan hawa nafsu berarti menempatkannya pada tempat yang semestinya. Kita boleh marah asalkan marah kita karena hak kita yang dirampas, atau karena melihat seseorang dizalimi. Kita boleh iri melihat orang yang jauh lebih taat dalam shalat ketimbang kita. Kita boleh dengki melihat orang menginfakkan hartanya lebih banyak dari kita. Inilah prinsip al-bughdhu wa al-hubbu lillah, seorang mukmin itu marah bila Tuhan marah, dan rido bila Tuhan rido.
Untuk mengendalikan hawa nafsu ini, para sufi memberi 3 mim sebagai langkahnya. Inilah mimmiyat (petuah-petuah yang diawali dengan huruf mim). Pada awalnya mimmiyat ini dilakukan harian. Dan pada jangka panjangnya, ia dilakukan sepanjang hayat kita.
Mim yang pertama adalah musyarathah, pengkondisian, persyaratan. Mim ini adalah niat. Pekerjaan pertama setiap kita. Pada niat ini kita mensyaratkan atas diri kita, menadzarkan, menjanjikan untuk melakukan serangkaian amalan tertentu. Mungkin hari ini kita mensyaratkan agar diri kita berinfak, atau untuk shalat tepat pada waktunya, atau untuk mempelajari ilmu, atau untuk membaca minimal sepuluh ayat dari kitab suci, atau apa saja..
Mim yang kedua adalah muraqabah, penjagaan. Mim ini adalah proses pelaksanaan. Agar kita waspada dan berhasil menjalankan apa yang sudah kita syaratkan.
Mim yang ketiga adalah muhasabah, evaluasi. Setiap mukmin sebetulnya dianjurkan untuk senantiasa menghisab dirinya setiap saat. Pada mim ini, kita mengevaluasi, sudahkah amalan yang kita syaratkan berhasil kita lakukan. Tahap evaluasi ini biasa dilakukan menjelang tidur, sebelum menyambut esok hari dengan musyarathah yang baru.
Begitu muhasabah berakhir, dimulailah musyarathah yang baru. Demikian terus menerus, hingga akhir hayat kita. Proses ini dilakukan berulang - ulang agar kita tidak terjatuh pada sabda Nabi (juga diriwayatkan dari Imam Musa as): man istawa yaumahu fahuwa maghbun. Celakalah orang yang sama dua harinya. Dalam terminologi tasawuf, hadist ini diistilahkan dengan hasanat al-abrar sayyi'at al-muqarrabin: amal shalih al-abrar, itu adalah amal buruk al-muqarrabin.
Imam Khomeini ra menambahkan dua mim lagi (kalau saya tidak salah) mu'aqabah dan mujahadah. Mu'aqabah adalah proses "pembalasan diri" "penyiksaan diri". Segera setelah muhasabah, kita sadari bahwa kita tidak menjalanan apa yang sudah kita syaratkan, maka- menurut Imam (sepemahaman saya)- kita dituntut untuk menghukum diri kita. Tentu tidak dengan hukuman yang menyiksa dan menyakiti diri kita. Dahulu pernah di siang hari yang terik di Madinah, ketika Nabi yang selalu dinaungi awan saja berteduh, seorang sahabat membuka bajunya, menjatuhkan badannya ke pasir yang panas, menggerak-gerakkannya dan membakarnya seraya berkata,"Dzuqi, duhai diri, rasakanlah! Karena panas yang akan kau terima di hari akhirat nanti jauh lebih berat dari apa yang kau rasakan hari ini." Dan Nabi menegurnya. Kira-kira, mungkin, bukan itu bentuk mu'aqabah. Kita bisa menghukum diri kita dengan menambahkan syarat yang lain, atau dengan "memaksa" diri kita untuk berbuat baik yang lainnya:berkhidmat, mengkhatam Al-Qur'an, atau berpuasa, atau apa saja. Intinya adalah agar syarat yang tidak dapat kita penuhi tidak lewat begitu saja, apalagi bila kemudian diganti dengan syarat yang baru.
Mujahadah adalah mim yang kelima. Inilah proses jihad akbar yang sesungguhnya. Inilah jihad ketika kita berusaha memelihara setiap sifat baik dalam jihad diri kita. Ketika mimmiyat dari musyarathah hingga mu'aqabah senantiasa kita lakukan.
Saya menambahkan 2 mim lagi. Karena amatir, maka 2 mim yang saya tambahkan tidak menggunakan wazan mufa'alah, seperti mimmiyat di atas. Mim berikutnya adalah malakah. Terjemahan yang paling tepat untuk malakah mungkin ada dalam bahasa inggris. yaitu habit. Malakah adalah sesuatu yang kemudian kita "kuasai" begitu rupa hingga menjadi bagian dari tubuh kita, tak terpisahkan. Seperti sifat pengecut pada orang yang lari terbirit-birit, atau sifat dermawan dari orang yang senang berinfak. Ia sudah menjadi bagian dari diri. Ia dan sifatnya tak lagi dapat dipisahkan. Kesanalah tasawuf membimbing kita, agar setiap sifat Tuhan itu kemudian menjadi malakah kita. Mim yang terakhir adalah maut, kematian. setiap proses dalam mim ini berlanjut hingga kematian menjemput kita.
Dalam tasawuf, kematian itu adalah pilihan. Diriwayatkan hadist yang makruf di kalangan tasawuf, mutu qabla an tamutu, matilah kalian sebelum mati.
Mulla Shadra membagi dua macam cara kembali: al-ruju' al-idhtirari dan al-ruju al-ikhtiyari, kembali yang terpaksa dan kembali yang sukarela. Semua kita pasti akan kembali pada Allah Swt. Mau tidak mau, suka tidak suka, suatu saat Malaikat maut akan mengepk-ngepakkan sayapnya di atas ubun-ubun kita. Pada saat itu, siap tidak siap, kita harus meninggalkan seluruh kehidupan ini. Para sufi memilih untuk kembali sebelum waktunya, untuk mudik sebelum masanya. Salah satu cara untuk menjemput kematian adalah dengan membunuh keinginan-keinginan. Para sufi mempraktekannya dalam riyadhah dengan menahan apa yang memang kita inginkan. Justru ketika kita menginginkan sesuatu, tahanlah keinginan itu. Mereka ambil hadis Nabi sebagai rujukan "Makanlah sebelum lapar, dan berhentilah sebelum kenyang." sebagai analogi untuk latihan mengendalikan keinginan ini. Inilah jihad terbesar kita.
Ala ya ayyuha al-syaqi, adir ka 'san wa nawilha Keh 'isyq oson namud awwal, wali uftod-e musykilha
Agar az u khohi, ghafil masyu Hafiz, Mata ma talqi man tahwa da'i al-dunya wa hawilha
Duhai pencari minuman, letakkan cawanmu dan teguklah. Sungguh cinta itu mudah dipermulaan, tapi kesulitan menerjangnya
Kalau Dia yang kuinginkan, janganlah lalai sekejap mata pun. Ketika sampai pada dambamu, tinggalkanlah dunia dan ubahlah ia
(Diwan Hafiz, bait awal dan akhir)
"Makalah Training Tasawuf" Ust. Miftah Fauzi Rakhmat MA
Kamis, 30 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar