Jumat, 31 Juli 2009

MUHAMMAD-NABI REVOLUSIONER TERAKHIR

Semua Nabi-revolusioner adalah manusia-manusia yang menerima wahyu yang memberontak terhadap tatanan-tatanan sosial yang menindas uan diskriminasi: pada zamannya. Mereka adalah hamba-hamba kebenaran yang berjuang dengan sepenuh jiwa demi membela kesetaraan sosial. Kebenaran yang mereka temukan adalah cahaya yang bersinar terang dalam kegelapandan kesuraman. Kebenaran yang diserukan oleh Musa, Isa, dan Muhamad Saw. adalah kebenaran yang sama meskipun masyarakat tempat hidup mereka berbeda-beda.
Tujuan para Nabi-revolusioner, Musa, Isa, Ibrahim dan Muhammad Saw. adalah berdirinya sebuah tatanan social dan persaudaraan. Meskipun struktur-struktur fundamental, lembaga-lembaga, adat-istiadat, hukum-hukum, dan moral-moral masyarakat di zaman mereka berbeda-beda, tetapi tujuan dasar wahyu-wahyu mereka berbeda-beda, tetapi tujuan dasar wahyu-wahyu yang disampaikan kepada mereka adalah sama untuk menyerukan kebenaran, mengangkat harkat dan martabat orang-orang yang tertindas dan membawa kesetaraan dan persaudaraan kepada mereka.

1. Nabi-Revolusioner
Muhammad Saw. (570-632 M), yang secara harfiah berarti ‘orang yang terpuji’, adalah Nabi-revolusioner terakhir yang juga merupakan tokoh revolusioner pertama di zaman modern ini. Dialah Nabi terakhir, pengabdi kebenaran dan kebijaksanaan serta penerima wahyu yang melihat cahaya dalam hati dan pikirannya pada suatu saat ketika keuatan-kekuatan jahat telah menggelapkan cakrawala dan telah melemahkan pikiran dan kalbu manusia-manusia yang menderita.
Dia membebaskan budak-budak, anak-anak yatim dan para wanita, kaum yang miskin dan lemah. Perkataannya yang mengandung wahyu menjadi ukuran untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang sejati dari yang palsu, dan kebaikan dari kejahatan. Misinya sama dari misi-misi Nabi lain sebelum dia : supremasi kebenaran, kesetaraan persaudaraan manusia.
Dialah revolusioner pertama dari zaman modern karena dia melihat dengan jelas bahwa pertentangan abadi antara kebaikan dan kejahatan, dalam bentuk social dan ekonominya, sesunggunya adalah perjuangan kelas, sebuah pertentangan antara orang-orang yang tertindas dengan para penindas, antara budak dengan majikan, antara orang-orang yang dieksploiatasi dan yang mengeksploitasi, hamba dengan tuan-tuan, dan antara kaum yang lemah dengan kaum yang kuat/berkuasa. Sebagai seorang revolusioner,dia mempersenjatai para dirnya dan para pengikutnya setelah para berpindah dari benteng korupsi dan kejahatan. Dia membebaskan kaum tertindas dari perbudakan dan penindasan yang kejam oleh para pedagang, lintah darat, para penimbum, pemilik-pemilik budak, bangsawan-bangsawan, dan para agamawan dalam masyarakat tribal dan pastoral pra-feodal Hijaz awal abad ketujuh.
Dia menemukan kebenaran dan menyampaikan kenyataan dengan sebuah bahasa yang baru dan dalam kondisi-kondisi yang baru pula. Masyarakat tempat dia hidup dan bergerak, berpikir, dan bekerja, berbeda dari masyarakat Musa dan Isa. Formasi-formasi sosialnya telah berubah dari pastoral-tribal (masyarakat suku-pengembala) ke pra-feodal yang tidak lagi pastoral tetapi juga bukan feudal. Kebenaran terbit dalam pikiran Muhammad Saw. didalam lingkuangan Makkah yang telah dikuasai oleh aktifitas-aktifitas financial yang sangat komersial.
Al-Qur’an diturunkan dalam kurun waktu duapuluh tiga tahun, dalam suatu perjuangan hidup dan mati dari kaum tertindas Oligarki para pedagang, pemilik-pemilik budak dan kaum agamawan yang berkuasa. Secara esensial, Al-Qur’an adalah sebuah kitab yang berisi tentang pertentangan kelas antara para raja-tuhan (fir’aun-fir’aun) dan para Nabi-revolusioner, para penindas dan kaum tertindas. Ia adalah sebuah deklarasi perang melawan segala mcam penindasan (zulm). Zulm adalah kepalsuan. Menurut Al-Qur’an kebenaran selalu menang, dan komunitas-komunitas penindas, Qura Zalima, tidak pernah bertahan.
Muhammad putra ‘Abdullah putra Abd al-Muttalib, dilahirkan di Mekah pada tahun 570 M dikalangan suku Hasyim (Bani Hasyim) dari klan Quraish yang merupakan pemelihara tempat suci agama, Ka’bah, di Mekah tempat suku-suku Arab berbondong-bondong melakukan aktifitas-aktifitas komersial, ekonomi, agama, social, dan kulturalnya setiap tahun. Muhammad Saw. tumbuh menjadi seorang manusia yang saleh, bijaksana, dan bertakwa. Dia menjalani hidup yang sederhana, biasa-biasa saja, dan apa adanya, seperti kehidupan para budak, pekerja, dan penduduk miskin Mekah yang pada umumnya dipandang rendah oleh para pemilik budak dan para pedagang Mekah. Dimasa mudanya dia bekerja sebagai pengembala dan sebagai seorang buruh dalam kabilah-kabilah dagang. Dia adalah seorang manusia yang jujur, berani, dan saleh.
Masyarakat Mekah digerogoti oleh disparitas sosial dan ekonomi yang akut, kebusukan moral dan kebobrokan agama. Kekerasan adalah hukum dimana suku-suku yang kuat menaklukan dan memperbudak suku-suku yang lemah. tak seorangpun aman diluar daerah-daerah terlarang Ka’bah, Haram,daerah suci, dimana permusuhan, perang, dan pertumpahan darah sebenarnya dilarang. Anak-anak yatim yang kelaparan, janda-janda, para budak, dan orang-orang buangan berkumpul di kota-kota seperti Makah dan dieksploitasi oleh para lintah darat, kaya, bangsawan, pedagang. Para agamawan menyalahtafsirkan kitab-kitab suci dan menrapkannya kepada kaum miskin serta membiarkan orang-orang kaya dan berkuasa melakukan suap.
Keadaan masyarakat sangatlah menyedihkan. Mereka diperlukan seperti barang bergerak, bahkan seperti kambing dan domba, dan karenanya dianggap sebagai harta milik para pemuka agama. Perempuan dan anak-anak tidak dapat berperang didalam perang-perang suku dan karenanya mereka tidak berhak atas harta rampasan perang atau atas harta dan kekayaan seseorang yang telah meninggal. Masyarakat itu kurang lebih mirip dengan masyarakat Isa di Palestina dalam hal penindasan dan eksploitasi umum terhadap rakyat rakyat jelata oleh para pemuka, bangsawan, agamawan, dan penguasa, baik asing maupun lokal. Masyarakat suku ini berdiri diatas prinsip bahwa yang kuat adalah yang benar. Kaum yang kuat merebut harta rampasannya.
Diriwayatkan bahwa Muhammad Saw. Menerima wahyu pertamanya, atau panggilan keNabiannya, didalam sebuah gua di dekat kota Mekah di mana dia biasa berdoa dan merenungkan korupsi, kebobrokan moral dan anarki yang merajalela di sekitarnya. Penderitaan kaum miskin dan kesedihan orang-orang yang tertindas demikian menyakitkannya. Dan biasa memberi makan orang-orang yang kelaparan, menolong orang-orang yang miskin dan membebaskan kaum budak. Dia duduk sama rendah dengan para budak, para tukang, orang-orang miskin, dan bebaur dengannya seolah-olah dia adalah bagian dari mereka. Kesederhanaan dan cinta kasihnya kepada kaum miskin mengundang ejekan, kecaman, dan kekaguman dari orang-orang kaya Mekah:
“Dan mereka berkata : ‘Rasul macam apa ini, makan-makanandan berjalan di pasar-pasar? Kenapa tidak diturunkan seseorang malaikat kepadanya dan bersama-sama memberi peringatan? Atau harta karun diturunkan kepadanya atau mempunyai kebun ia dapat menikmati kesenangan?’ orang-orang durjana itu berkata: ‘Kamu sekalian hanya mengikuti orang yang sudah kena sihir” (Q.S. 25:7-8)

2. Oligarki Perdagangan
Para pedagang kaya, para pemilik budak, dan tuan-tuan tanah yang sangat bangga akan kekayaan dan harta benda miliknya percaya bahwa wahyu itu seperti kekuatan ekonomi dan politik yang hanya dapat turun kepada seorang yang kaya, pedagang, pemuka, seorang pemuka agama, atau seorang tuan tanah, dan tidak kepada seorang biasa dan rendah hati yang adalah juga seorang anak yatim-piatu dan berasal dari kelas sosial rendah dan tidak berarti.
“Dan mereka berkata: “mengapa Al-Qur’an tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dari dua negeri (Mekah dan Thaif) ini?”
Di Mekah terdapat griya-griya komersial, stan-stan jual-beli, dan pusat-pusat perdagangan milik para pedagang lintah darat kaya dan di Thaif Mereka memiliki kebun buah-buahan, istana-istana,dan tempat-tempat peristirahatan musim panas.
Oligarki kaum pengeksploitasi Makah terkejut melihat seorang lelaki miskin dan sederhana, seorang anak yatim piatu yang tampak seorang buruh atau seorang budak tampil sebagai seorang revolusioner dan Nabi. Mereka mengharapkan seorang kaya atau seorang pemuka agama bijaksana dari kalangan mereka sendirilah yang akan membimbing mereka dan melakukan hal-hal yang ajaib dan luar biasa. Mereka menganggap Muhammad Saw. Sebagai seorang pembohong. Mereka berkata kepada sang Nabi-revolusioner itu:
“...Dan mereka berkata: "Kami sekali-kali tidak percaya kepadamu hingga kamu memancarkan mata air dan bumi untuk kami, Atau kamu mempunyai sebuah kebun korma dan anggur, lalu kamu alirkan sungai-sungai di celah kebun yang deras alirannya, Atau kamu jatuhkan langit berkeping-keping atas kami, sebagaimana kamu katakan atau kamu datangkan Allah dan malaikat-malaikat berhadapan muka dengan kami. Atau kamu mempunyai sebuah rumah dari emas, atau kamu naik ke langit. dan kami sekali-kali tidak akan mempercayai kenaikanmu itu hingga kamu turunkan atas kami sebuah Kitab yang kami baca". Katakanlah: "Maha Suci Tuhanku, bukankah Aku Ini Hanya seorang manusia yang menjadi rasul?" (Q.S. 17:90-93).

Ukuran-ukuran yang digunakan para revolusioner itu untuk membedakan yang benar dari yang salah dan yang sejati dari yang palsu berbeda dengan ukuran yang digunakan oleh para penindas. Kelompok pertama percaya kepada kebenaran, kesetaraan sosial, persaudaraan,cinta kasih, ketuluran, dan kerendahan hati. Kelompok ke dua sangat menginginkan kemewahan/kekayaan, kemegahan, kekuasaan, yakin pada kepalsuan,dan diskriminasi, penindasan terhadap kaum yang lemah, kebencian, arogansi, dan keinginan-keinginan yang egois serta taat pada hawa nafsu. Seorang Nabi yang revolusioner dan para oengikutnya telah meninggalkan ketamakan dan hawa nafsu serta segala sesuatu yang menjadi milik tatanan lama yang korup itu. Bagi mereka, kekuatan terletak pada kebenaran, kesederhanaan dan kerendahan hati, bukan pada harta-benda dan arogansi.
Bagi para pedagang-lintah darat, kekuatan terletak pada kekayaan, tipu daya, kelicikan, dusta, dan egoisme. Dengan demikian, kerendahan hati adalah sebuah kelemahan, ketulusan, penipuan, dan kebenaran dianggap sebagai aib, kesetaraan sebagai kelemahan, dan kurangnya kemewahan dianggap sebagai kemiskinan dan kemelarartan. Jadi semua skala-skala moral dijungkirbalikan. Mereka telah kehilangan kemurnian batindan kebijaksanaan sejati untuk membedakan yang benar dari yang salah, yang baik dari yang buruk, yang sejati dari yang palsu dan yang adil dari yang tidak adil. Inilah kegelapan moral dan kebingungan serta anarki sosial.
Dengan demikian dimata para pemuka yang egois dan haus kekuasaan, sang Nabi-revolusioner tampak sebagai seorang manusia gila yang kesurupan, tukang tanung, ahli sihir, atau paling-paling penyair atau pesuruh yang tanpa tujuan jelas menggerakan kaum budak dan bersimpati kepada orang-orang yang tertindas. Bahkan mereka menuduhnya sebagai seorang agen yang telah dilatih oleh sejumlah orang yang mencurigakan.
“Tetapi orang-orang kafir berkata: ‘ini hanya kebohongan yang diada-adakan dan untuk itu ada golongan yang membantunya…” (Q.S. 25:4; 38:4-7).
“Kemudian mereka berpaling dari dia dan berkata: ‘Dia diajari (orang lain), dia orang gila’” (Q.S. 44:14). “Tidakkah mereka renungkan? Sahabat mereka bukan orang gila; dia hanya pemberi peringatan yang jelas” (Q.S. 7:184). “Ingatlah dengan karunia tuhanmu, engkau bukanlah peramal atau orang gila. Atau barangkali mereka akan berkata: “Seorang penyair gila, yang memang kita tunggu akan di timpa bencana” (Q.S. 52: 29-30).

Tapi Muhammad Saw. adalah seorang Nabi-revolusioner penerima wahyu Tuhan, yang berdiri dijalan kebenaran yang lurus. Dia mengikuti jalan hidup, Milla, Nabi Ibrahim: maka seperti halnya Ibrahim, ia menyerahkan seluruh jiwa raganya kepada kehendak Allah; dia menepati prinsip-prinsip kebenaran, keadilan dan kesetaraan. Seperti halnya Ibrahim, dia memihak kaum yang tertindas dan miskin, para budak dan para tukang. Seperti Ibrahim, dia juga tidak takut pada apapun selain Allah, teguh hati, berani, rendah hati dan sederhana, jujur dan selalu berkata dan bertindak benar:
“Katakanlah: ‘Tuhanku telah membimbingku kejalan yang agama yang benar dan murni menurut ajaran Ibrahim, yang tidak tergolong musyrik’. Katakanlah : ‘Shalatku, ibdahku, hidup dan matiku demi Allah, tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya; demikianlah diperintahkan kepadaku dan aku orang pertama berserah diri’. Katakanlah: ‘Adakah yang akan ku cari selain Allah sebagai Tuhanku. Dialah tuhan segala sesuatu? Dan setiap perbuatan dosa seseorang hanya dirinya yang bertanggung jawab; seseorang yang memikul suatu beban tidak akan memikul beban orang lain. Kemudian kepada tuhanmu kamu akan kembali, kemudain ia memberitahukan kepdamu apa yang kamu perselisihkan” (Q.S. 6:161-164).

3. Para Pengikut Awal
Nabi-revolusioner besar Ibrahim adalah teladan bagi Muhammad Saw. Dan para pengikutnya. Oleh Al-Qur’an, para pemeluk gerakan egaliter Islam ini disebut sebagai aradhil (orang-orang rendahan, jembel, paria) dan mustad’afun (orang-orang yang lemah dan dieksploitasi). Sebagian besar mereka adalah budak-budak yang kelaparan, para hamba sahaya, para pekerja, golongan tukang,klien (budak-budak yang bebas secara nominal), perempuan-perempuan, dan anak-anak yatim-(piatu) yang berasal dari kelas dan status sosial rendah dalam hirarki masyarakat. Para pedagang kaya, para pemuka suku, bangsawan-bangsawan, dan para pemuka agama merasa terancam ketika budak-budak, pekerja-pekerja, hamba-hamba sahaya, perempuan-perempuan mereka mulai memeluk islam yang, dalam konteks sosial berarti sebuah dobrakan terhadap tatanan sosial yang lazim, dan sebuah pemberontakan terhadap lembaga-lembaga, upacara-upacara agama, ritual-ritual, dan adapt-istiadat mereka, dan terhdap moral mereka yang bobrok serta hukum-hukum mereka yang kacau. Mereka berkumpul mengelilingi sang Nabi dan muncul sebagai kekuatan kebenaran, kesetaraan sosial, dan persaudaraan yang besar. Para penindas itu meminta Nabi untuk membebaskan orang-orang miskin itu dari keterikatan mereka terhadapnya. Tetapi beliau menolak untuk memberikan mereka kepada orang-orang kaya itu.
Nabi sendiri adalah seseorang yang miskin, dan seorang yang bapaknya tidak mewariskan harta apapun, baik kebun,budak, binatang ternak, dinar ataupun dirham.
“Bukankah Dia mendapatkan kau sebagai piatu, lalu Ia melindungi? Dan dia mendapati kau tak tahu jalan, lalu ia memberi bimbingan, dan dia mendapati kau dalam kekurangan, lalu ia memberi kecukupan. Karenanya, janganlah kau berlaku sewenang-wenang kepada anak yatim, dan orang yang meminta, janganlah kau bentak; dan nikmat tuhanmu, hendaklah kau siarkan!”(Q.S. 93:6-11).

Revolusi sosial apapun adalah sebuah perubahan radikal dalam struktur sosial; ia adalah sebuah transpormasi tatanan lama kedalam tatanan yang baru. Bagi para revolusioner, ini adalah tawar-menawar antara tatanan baru dengan tatanan lama; yaitu mereka melepaskan segala sesuatu yang menjadi milik tatanan lama yang sudah mati dan mengorbankan nyawanya, kekayaan, dan milik mereka untuk mencapai tujuan-tujuan mereka: meletakan sebuah tatanan baru yang berdasarkan kebenaran, kesetaraan, dan persaudaraan manusia.
Para revolusioner mempersembahkan hidup mereka untuk kebenaran dan kesetaraan dan sebagai balasan mereka adalah kemerdekaan dan emansipasi dari perbudakan yang dilakukan oleh tatanan lama yang tak bermoral.
“Allah telah memberi dari orang yang beriman jiwa-raga dan harta mereka, supaya mereka beroleh taman (surga)” (Q.S. 9:111; lihat juga Q.S. 2:153-157).

Kaum revolusioner berperang dijalan Allah: untuk membebaskan orang-orang yang tertindas dan kaum lema; dan mendirikan sebuah tatanan kebenaran, keadilan dan kesetaraan:
“Dan kenapa kamu tidak berperang dijalan Allah. Dan untuk mereka yang laki-laki, perempuan dan anak-anak, yang berkata: ‘Tuhan! Keluarkanlah kami dari kota ini yang penduduknya zalim; dan berilah kami dari pihak-Mu pelindung, dan berilah kami dari pihak-Mu penolong” (Q.S. 4:75).

4. Jihad, Zakat, dan Shalat
Nabi-revolusioner Muhammad Saw. Dan para pengikutnya dihinakan dan dianiaya karena mereka mengancam tatanan sosial yang berdasarkan korupsi dan penindasan. Sebagai konsekuensinya, Nabi meniggalkan Mekah bersama para pengikutnya dan tiba di yatsrib, sebuah kota pertanian sekitar dua ratus mil kearah utara Mekah masih dalam rute perdagangan ke Siria dan Mesir.
Setelah Hijrah mereka pada tahun 622 M, jihad (perang) menjadi satu hal yang tak terhindarkan. Kaum penindas Mekah menggunakan segenap daya upaya untuk menghancurkan komunitas kebenaran dan kesetaraan yang ada di yatsrib (atau Madinah) ini. Revolusi harus dipersenjatai dan dipertahankan. Terjadi banyak peperangan dan komunitas Muslim berangsur-angsur menjadi kuat dan terkonsolidasi. Setelah jatuhnya Kota Mekah pada tahun 630 M, komunitas ini kian berkembang pesat.
Sang Nabi-revolusioner mendirikan sebuak tatanan sosial yang egaliter dimana alat-alat produksi yang mendasar dikuasai umum dan dimanfaatkan oleh semua orang secara kolektif karena sebuah komunitas yang berdasarkan pada kebenaran dan kesetaraan tidak mengenal penguasaan pribadi atas sumber-sumber daya seperti tanah, air, kebun buah-buahan, tambang-tambang, dan lain-lain, yang kepadanya masyarakat menggantungkan hidup dan kebutuhan-kebutuhan dasar.
Zakat, yang secara harfiah berarti pensucian, sesungguhnya adalah sebuah prinsip revolusi yang mendasari diberikannya kekayaan seseorang (bahan makanan, hewan ternak, biji-bijian, buah-buahan, sandang dan lain-lain) yang melebihi kebutuhan dasarnya kepada orang-orang yang membutuhkannya (Q.S. 2:219). Komunitas pra-feodal yang menganut kesetaraan yang didirikan oleh para revolusioner Muslim adalah sebuah komunitas yang digerakan oleh kelangkaan dimana tidak tersedia cukup pangan dan sandang bagi semua orang. Karenanya, apapun yang mereka miliki, mereka sama-sama berbagi di dalam persaudaraan berdasarkan kesetaraan itu.
Rakyat jelata yang kelaparan hidup dengan compang-camping, dan tanpa rumah dan tempat tinggal. Dalam keadaan yang demikian itu, harta benda pribadi tidak dapat berkembang, dan kaum revolusioner, baik itu dari zaman modern maupun dari abad pertengahan, sebagai sebuah perinsip umum, tidak memiliki harta benda pribadi yang terpusah dari orang-orang lain. Setelah wafatnya, Nabi Muhammad Saw. tidak meniggalkan sedikitpun milik pribadi, baik itu tanah, kebun, sumur, budak-budak, hewan-hewan ternak, maupun uang. Para pengikutnya, yang meneladaninya, puntidak meninggalkan harta milik pribadi apapun.
Demikian pula shalat, hijrah, jihad, amal sholeh adalah prinsip-prinsip revolusi melawan kekuatan-kekuatan penindasan dan kejahatan. Menurut Al-Qur’an, setiap tindakan yang membantu meningkatkan martabat kaum yang lemah dan tertindas serta mendukung jalan Allah adalah sebuah amal saleh (Q.S. 9:119-129). Tindakan-tindakan itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang lebih tinggi dan tidak berakhir pada perbuatan-perbuatan itu sendiri. Tindakan-tindakan itu bukanlah ritual-ritual kaku seperti yang kemudian terjadi pada zaman feodal.
Untuk meningkatkan kesetaraan sosial dna persaudaraan manusia, Muhammad Saw., dengan ajaran-ajarannya, mendorong emansipasi kaum budak. Para pemeluk agama islam yang pertama terutama adalah budak-budak, para tukang, mawali (budak-budak yang telah dimerdekakan), para wanita, dan anak-anak yatim. Sehingga banyak sahabat yang dahulunya adalah budak. Bilal, orang afrika, syu’aib, orang romawi, salman, orang Persia, zaid bin Haritsah, Abdullah Ibnu Mas’ud, dan Ammar Ibnu yasir adalah budak-budak yang kemudian yang kemudian bangkit menduduki kedudukan-kedudukan terhormat setelah revolusi Islam.
Orang seringkali bertanya apakah Muhammad Saw. benar-benar menghapuskan perbudakan dengan sebuah pernyataan yang eksplisit? Sebagai seorang Nabi-revolusioner, Muhammad Saw. percaya pada kesetaraan dan persaudaraan umat manusia. Setiap revolusioner adalah saudara dari revolusioner yang lain: tanpa kesetaraan tidak ada revolusi yang akan berhasil membebaskan kelas-kelas sosial yang tertindas. Tetapi revolusi islam merasuk kedalam linkungan sosial pra-feodal dimana perbudakan berakar begitu dalam.
Al-Qur’an mendesak para revolusioner Muslim awal untuk membebaskan budak-budak mereka dan menerima mereka di dalam persaudaraan islam yang berdasarkan kesetaraan:
“Tetapi dia tiada menempuh jalan yang mendaki lagi sukar. Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan, Atau memberi makan pada hari kelaparan, (kepada) anak yatim yang ada hubungan kerabat, Atau kepada orang miskin yang sangat fakir.” (Q.S. 90:11-16).

Masyarakat itu adalah masyarakat yang mengenal kepemilikan atas budak. Perbudakan tidak dapat dihapuskan dengan sebuah pernyataan tunggal atau tindakan percuma. Dari banyak hukum yang disebutkan di dalam Al-Qur’an, membebaskan budak dan memberi makan orang-orang yang kelaparan dan pakaian kepada orang-orang miskin juga termasuk didalamnya:
“Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi Pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya) “. (Q.S. 5:89).

Muhammad Saw. sang Nabi-Revolusioner, adalah sebuah suri tauladan dan karakter moral yang indah, uswatun khasanah (Q.S. 33:21); dia adalah sebuah standar karakter yang mulia, khuluq ‘azim’ (Q.S. 68:4), “…supaya Ia dapat mengeluarkan mereka yang beriman dan beramal kebaikan, dari gelap kepada cahaya” (Q.S. 65:11). Al-Qur’an mencontohkan karakter dan kehidupan yang dijalani Muhammad Saw. Mula-mula Nabi membebaskan dirinya sendiri, kemudian dia membebaskan masyarakat yang ‘mati’, karena kematian moral seperti kematian fisik. Sebuah surat Makiyah awal berbunyi sebagai berikut:
“Nun, demi kalam dan apa yang mereka tulis, Berkat nikmat Tuhanmu kamu (Muhammad) sekali-kali bukan orang gila. Dan Sesungguhnya bagi kamu benar-benar pahala yang besar yang tidak putus-putusnya. Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung. Maka kelak kamu akan melihat dan mereka (orang-orang kafir)pun akan melihat, Siapa di antara kamu yang gila. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang paling mengetahui siapa yang sesat dari jalan-Nya; dan Dia-lah yang paling mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. Maka janganlah kamu ikuti orang-orang yang mendustakan (ayat-ayat Allah). Maka mereka menginginkan supaya kamu bersikap lunak lalu mereka bersikap lunak (pula kepadamu). Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, Yang banyak mencela, yang kian ke mari menghambur fitnah, Yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, Yang kaku kasar, selain dari itu, yang terkenal kejahatannya, Karena dia mempunyai (banyak) harta dan anak[1490]. Apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kam, ia berkata: "(Ini adalah) dongeng-dongengan orang-orang dahulu kala." (Q.S. 68:1-15).

Nabi-revolusioner mengeluarkan para pengikutnyadari kegelapan kepada cahaya, dan kesurga kebenaran, kesetaraan, cinta kasih, dan kejujuran:
“(dan mengutus) seorang Rasul yang membacakan kepadamu ayat-ayat Allah yang menerangkan (bermacam-macam hukum) supaya dia mengeluarkan orang-orang yang beriman dan beramal saleh dari kegelapan kepada cahaya. dan barangsiapa beriman kepada Allah dan mengerjakan amal yang saleh niscaya Allah akan memasukkannya ke dalam surga-surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Sesungguhnya Allah memberikan rezki yang baik kepadanya.” (Q.S. 65:11). “Dia-lah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membenci.” (Q.S. 61:9).

Dan ‘jalan hidup’ yang sejati, menurut Al-Qur’an, adalah Islam, yaitu menyatakan kebenaran, kesetaraan sosial, nilai-nilai luhur yang mengalir dari sumber ilahiyah dan yang diperjuangkan oleh hamba-hamba Allah, para Nabi dan para revolusioner.

5. Konsep Al-Qur’an tentang Islam
Islam adalah ‘jalan hidup’ (milla, din), misi dan tujuan pejuangan semua Nabi-revolusioner. Al-Qur’an menyebut Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad Saw. serta para revolusioner pengikut mereka sebagai Muslim. Tetapi apakah Islam itu? Apa sajakah prinsip-prinsip dan tujuan-tujuan revolusionernya? Nilai-nilai luhur yang diperjuangkan para Nabi-revolusioner adalah (1) kemenangan kebenaran (2) emansipasi bagi kaum yang lemah dan tertindas dan (3) menegakkan sebuah komunitas atau masyarakat manusia yang berdasarkan pada kesetaraan sosial, cinta kasih, keadilan, dan persaudaraan.
Untuk mewujudkan nilai-nilai atau prinsip-prinsip luhur ini (kebenaran, kesetaraan sosial ) para Nabi-revolusioner berjihad meninggalkan tempat tinggal dan rumah, hubungan-hubungan kekerabatan, suku, dan tatanan sosial lama mereka demi sebuah tatanan sosial baru yang egaliter. Para revolusioner yang mengikuti kebenaran dan kesetaraan sosial sebagai prinsip-prinsip utama disebut muslimun: dan orang-orang yang mengingkari kebenaran dan menolak ketulusan, keimanan dan tidak mau mengakui keadilan disebut Kafirun, atau orang-orang yang ingkar. Orang-orang yang ingkar adalah para penindas kaum yang lemah. Mereka adalah pembohong-pembohong dan penindas kebenaran. Mereka kmengejar penampilan-penampilan, hasrat-hasrat, nafsu-nafsu, kebanggan, arogansi, dan tahyul-tahyul yang semuanya palsu.
Muslimun adalah orang-orang yang mengatakan kebenaran dalam kehidupan pribadinya, dan menegakkan kebenaran di dalam kehidupan sosial, yaitu mereka menata masyarakat berdasarkan kesetaraan dan persaudaraan. Muslimun adalah orang-orang yang tulus, jujur, beriman, benar, berani, adil, tanpa pamrih, suci, tidak munafik, dan tidak memiliki hawa nafsu dan egoisme. Mereka sabar, konsisten, suka, menahan diri, dan teguh hati. Mereka benar dalam perkataan, pikiran, dan perbuatan.
Secara harfiah, islam adalah ketundukan atau penyerahan diri seseorang sepenuhnya kepada kehendak dan takdir Allah atau kepada ‘kesukuan’ atau persetujuan Allah. Islam adalah penyesuaian (diri dan tindakan) dengan kebenaran, ketulusan, keadilan, dan kesetaraan oleh orang-orang yang menyerahkan diri dan kehendak mereka, hasrat-hasrat dan tujuan-tujuan mereka kepada kehendak dan takdir luhur Allah yang adalah kebenaran dan satu-satunya realitas.orang yang berserah diri kepada kehendak Allah dan melakukan apapun yang menyenangkan-Nya, berarti bertindak sesuai dengan kebenaran dan selaras dengan realitas. Islam adalah ketaatan yang penuh keimanan kepada hukum-hukum alam, ketulusan, kejujuran, keadilan, kesetaraan, kemedekaan, dan persaudaraan.

6. Ide Revolusi
Islam merupakan prinsip-prinsip kebenaran dan kesetaraan sosial. Lawan atau kebalikan dari Islam adalah kebohongan dan diskriminasi yang merupakan penolakan terhadap kebenaran, penyangkalan terhadap kesetaraan dan pengingkaran (kufr) terhadap kebaikan. Karenanya orang-orang yang mengingkari kebenaran dan kesetaraan sosial oleh Al-Qur’an disebut kafirun. Jadi, muslimun dan kafirun saling berlawanan. Bagi muslimun, nilai-nilai luhur yang digunakan untuk mengorganisir sebuah komunitas yang adil adalah kebenaran dan kesetaraan sosial yang oleh Al-Qur’an diletakkan dibawah dua prinsip yang luas, yaitu shalat dan zakat. Shalat adalah mengingat Allah terus-menerus; yaitu, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan ketulusan, kemurnian dan kebaikan. Tujuan untuk mengingat ini adalah untuk menanam dalam-dalam nilai-nilai luhur ini di dalam benak orang-orang yang beriman. Dari prinsip luhur inilah mengalirnya prinsip zakat yang merupakan berbagi bersama atau kepemilikan bersama atas alat-alat produksi masyarakat untuk memastikan tercapainya kesetaraan sosial yang sempurna di antara anggota-anggota komusitas.
Al-Qur’an menggambarkan laki-laki dan wanita-wanita Muslim dalam kata-kata berikut:
“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin[1218], laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang benar, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah Telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (Q.S. 33:35).
“Maka sesuatu yang diberikan kepadamu, itu adalah kenikmatan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman, dan Hanya kepada Tuhan mereka, mereka bertawakkal. Dan (bagi) orang-orang yang menjauhi dosa-dosa besar dan perbuatan- perbuatan keji, dan apabila mereka marah mereka memberi maaf. Dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhannya dan mendirikan shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarat antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezki yang kami berikan kepada mereka. Dan ( bagi) orang-orang yang apabila mereka diperlakukan dengan zalim mereka membela diri.” (Q.S. 42:36-39).
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Q.S. 103:1-3).

Dalam sebuah ayat lain Al-Qur’an dengan jelas mengatakan bahwa para revolusioner Muslim dikatakan benar-benar beriman hanya bila mereka mengatakan kebenaran, membagikan kekayaan, dan nafkahnya kepada orang-orang yang membutuhkan, tulus, dan sabar dalam kekurangan dan perang (Q.S. 2:117).
Ketika orang-orang yahudi dan keristen arab menolak Nabi-revolusioner Muhammad Saw. dan pesan kebenaran dan kesetaraan sosial yang dibawanya, mereka mengolok-oloknya dan mengatakan bahwa kebahagiaan dan rahmat hanya menjadi milik mereka, Al-Qur’an memberikan sebuah definisi yang luas tentang seorang muslim:
“Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: "Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani". demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: "Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar". (Tidak demikian) bahkan barangsiapa yang menyerahkan diri kepada Allah, sedang ia berbuat kebajikan, Maka baginya pahala pada sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati.” (Q.S. 2:111-112).
“Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, Maka Sesungguhnya ia Telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh. dan Hanya kepada Allah-lah kesudahan segala urusan.” (Q.S. 31:22).
“Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!" Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam". Dan Ibrahim Telah mewasiatkan Ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah Telah memilih agama Ini bagimu, Maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". (Q.S. 2:131-132).

7. ‘Jalan hidup’ Ibrahim adalah kebenaran

“Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam yang dapat dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. dan sekali-kali bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), (lagi) yang mensyukuri nikmat-nikmat Allah. Allah Telah memilihnya dan menunjukinya kepada jalan yang lurus.” (Q.S. 16:120-121).
“Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik. (Q.S. 3:67).

Nabi-revolusioner Muhammad Saw., seperti halnya Nabi-Nabi yang lain, berserah diri kepada kehendak Allah: yang berarti bahwa dia adalah seorang hamba kebenaran. Dia menyatakan kebenaran dan memperjuangkan kesetaraan sosial. Dia begitu setia kepada tujuannya. Menurut definisi, dia adalah seorang Muslim, seperti halnya semua Nabi-revolusioner. Dia adalah pengikut Ibrahim yang adalah seorang teladan kebenaran:
“Katakanlah: "Sesungguhnya Aku Telah ditunjuki oleh Tuhanku kepada jalan yang lurus, (yaitu) agama yang benar, agama Ibrahim yang lurus, dan Ibrahim itu bukanlah termasuk orang-orang musyrik". Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagiNya; dan demikian Itulah yang diperintahkan kepadaku dan Aku adalah orang yang pertama-tama menyerahkan diri (kepada Allah)". (Q.S. 6:161-163).

Apakah makna dari menyerahkan kehendak sesorang kepada kehendak Allah? Menurut Al-Qur’an, ini adalah sebuah jual-beli, dan sebuah tawar-menawar dimana revolusioner menyerahkan kehendaknya kepada kehendak Allah. Allah mengambil kehendak, jiwa, hati, kekuatan, bakat-bakat, pikiran, kekayaan, harta-benda dan segala sesuatu yang dimilikinya dan sebagai balasannya Allah memberikan kebahagiaan besar yang abadi. Dia memperjuangkan tujuan kebenaran dan kesetaraan dan dengan demikian bekerja untuk kehendak Allah. Di dalam tawar-menawar ini, para revolusioner, kaum Muslim, meninggalkan tatanan sosial yang lama, kemewahan, hak-hak istimewa dan hubungan-hubungannya, dan memperjuangkan sebuah tatanan sosial baru, sebuah surga kebenaran, kesetaraan dan persaudaraan, keadilan dan cinta kasih (Q.S. 9:111). Para revolusioner menyerahkan seluruh jiwa-raga dan harta miliknya kepada Allah; yaitu kepada tujuan kebenaraan, dan Allah memberi mereka keselamatan dan kebebasan dari perbudakan, penindasan, kepalsuan, dan kejahatan. Orng-orang muslimyang memperjuangkan kebenaran dan kebaikan ini dengan jelas di gambarkan oleh Al-Qur’an sebagai orang-orang:
“Mereka itu adalah orang-orang yang bertaubat, yang beribadat, yang memuji, yang melawat, yang ruku', yang sujud, yang menyuruh berbuat ma'ruf dan mencegah berbuat munkar dan yang memelihara hukum-hukum Allah. dan gembirakanlah orang-orang mukmin itu.” (Q.S. 9:112) dan juga “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, Dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, Dan orang-orang yang menunaikan zakat, Dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki[994]; Maka Sesungguhnya mereka dalam hal Ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik itu[995] Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas. Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sembahyangnya. Mereka Itulah orang-orang yang akan mewarisi, (yakni) yang akan mewarisi syurga Firdaus. mereka kekal di dalamnya.” (Q.S. 23:1-11).

Dari ayat-ayat Al-Qur’an ini kita dapat menyimpulkan bahwa seorang Nabi-revolusioner, Ibrahim, Musa, atau Muhammad Saw. yang menyerahkan kehendak, jiwa, pikiran, hati, kekuatan, bakat-bakatnya, dna segala sesuatu yang menjadi miliknya kepada kehendak tuhan, pada dasarnya adalah seorang revolusioner yang membaktikan hidup dan kekuatannya untuk kebenaran dan kesetaraan sosial.
Kebenaran adalah sebuah istilah luas yang meliputi kebaikan, ketulusan , kesucian, kesesuaian dengan hukum-hukum alam, kesetaraan sosial, cinta kasih persaudaraan, kejujuran, dan keadilan. Dengan demikian dlam kontek sosial, Islam berarti sebuah tatanan sosial yang berdasarkan pada nilai-nilai luhur yang menjadikan masyarakat manusia sebuah surga dimuka bumi dimana manusia tidak menindas dan mengeksploitasi manusia lain dan dimana semua orang setara, bebas, dan bersaudara satu sama lain. Jadi, Islam dalam konteks yang luas adalah sebuah sistem egalitarianisme (kedaulatan) dan kebenaran. Inilah konsepsi Al-Qur’an tentang Islam.

8. Konsepsi-konsepsi Feodalis dan Kapitalis tentang Islam
Menurut Al-Qur'an, Islam sesungguhnya adalah se¬buah sistem atau tatanan kebenaran dan kesetaraan sosial. Para Nabi-revolusioner memperjuangkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip itu sepanjang hidup mereka. Shalat dan Zakat adalah dua rukun atau prinsip fundamental yang darinya semua nilai-nilai dan hukum-hukum moral diambil.
Seperti yang akan kita bahas lebih rinci dalam bab selanjutnya, shalat merupakan tindakan mengingat atau merenungkan sumber luhur dari semua moralitas ilahi atau alami yang menanamkan cinta kebenaran, kejujuran, ketulusan, tanpa pamrih, dan keimanan dalam pribadi revolusioner. Dan zakat menggarisbawahi tindakan ber¬bagi sumber-sumber daya ekonomi umat, alat-alat pro¬duksi, nafkah dan kesenangan dengan semua orang guna memastikan kesetaraan sosial dan ekonomi.Dengan demi¬kian, shalat dan zakat bersinonim dengan kebenaran dan kesetaraan sosial. Semua Nabi-revolusioner menyeru ke¬pada para pengikutnya untuk melakukan shalat dan me¬nunaikan zakat.
"Juga ceritakanlah dalam Kitab (kisah tentang) Ismail, orang yangber pegang teguh pada janji; dia seorang rasul dan seorang Nabi. Ia selalu menyuruh kaumnya shalat dan (menunaikan) zakat, dan dalam pandangan Tuhannya ia mendapat rida" (Q.S 19:54-55).

Semua Nabi-revolusioner adalah hamba kebenaran dan ketulusan. Shalat mereka adalah kebenaran dan zakat mereka adalah kesetaraan dan keadilan sosial. Dan me¬nurut Al-Qur'an, esensi dari perintah Allah adalah ke¬benaran dan keadilan:
"Maka sempunlalah firman Tuhanmu dengan benar dan adil tak ada yang dapat mengubah firman-firman-Nya. Dialah Maha Mendengar, Mahatahu" (Q.S. 6:115).

Ini berarti bahwa mengatakan kebenaran, memper¬juangkan kenaikan martabat kaum miskin, berperang me¬lawan para penindas dan para pemilik budak, serta
me¬negakkan kesetaraan dan keadilan sosial adalah elemen riil dari shalat dan merupakan tindakan-tindakan, yang benar. Orang yang mengatakan kebenaran berarti tengah melakukan tindakan yang benar dan dalam melakukan ini dia melaksanakan shalat. Orang yang memperjuangkan, keadilan dan kesetaraan sosial bertindak benar; dan dalam melakukan ini ia melaksanakan shalatnya. Semua itu adalah perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, atau amal saleh.
Seperti yang akan kita paparkan segera, semula shalat bukanlah sebuah ritual yang kaku atau sebuah upacara formal tanpa substansi. Tidak seperti amal-amal saleh lai¬nya seperti jihad, puasa, dan lain-lain, yang bertujuan untuk menjadikan para revolusioner kuat secara fisik, sabar, teguh, dan tabah, shalat bertujuan untuk membuat mereka menjadi orang-orang yang selalu bertindak dan berkata benar, tulus, dan beriman. Semua ini bukanlah tujuan, melainkan cara atau prinsip-prinsip revolusioner untuk menegakkan keadilan dan kesetaraan sosial. Prinsip¬prinsip atau pilar-pilar yang sesungguhnya adalah ke¬benaran, kesetaraan sosial, perjuangan (melawan para pe¬nindas), keberanian dan keteguhan, kerendahan hati, cinta kasih, dan persaudaraan.
Zakat adalah juga sebuah prinsip penyetara, prinsip untuk mengambil kelebihan kekayaan yang melebihi ke¬butuhan dasar dari kalangan kaya dan kemudian mem¬berikannya kepada orang-orang yang kekurangan, karena semua kekayaan, sumber-sumber daya ekonomi, serta alat¬-alat produksi harus dibagi oleh semua orang demi ke¬senangan dan kemajuan setara bagi semua orang. Melalui penyetaraan ini, dia dapat memurnikan masyarakat dari semua ketidaksempurnaan, cacat, persaingan tidak sehat, kedengkian, perpecahan, dan antagonisme di antara kelas sosial kaya dengan kelas-kelas sosial miskin. Zakat adalah tindakan pemurnian, yaitu kebebasan dari ketidaksetara¬an, ketidakadilan, penindasan, eksploitasi, egoisme, dan motif-motif serakah.
Setelah berakhirnya perang-perang saudara dan kontra-revolusi oleh Bani Umayyah, prinsip-prinsip revo¬lusioner shalat, jihad, zakat, dan lain-lain, seluruhnya dire¬interpretasikan dalam kerangka feodal. Feodalisme men¬dapatkan tempatnya kembali ketika di bawah monarki dan otokrasi hubungan-hubungan sosial dan ekonomi feodal antara tuan dengan budak, bangsawan dengan hamba sahaya, raja dengan objek-objeknya menggantikan prinsip -prinsip revolusioner rasuli, yaitu keadilan dan kesetara¬an sosial. Islam yang Qur'ani adalah himpunan dari prin¬sip-prinsip revoiusioner kebenaran dan kesetaraan sosial, kejujuran, ketulusan, cinta kasih, dan persaudaraan; tetapi Islam feodal adalah sebuah instrumen politik yang diguna¬kan untuk memperbudak rakyat jelata atas nama Islam rasuli.
Demikianlah, shalat dan zakat secara berangsur-¬angsur kehilangan substansi moral kebenaran dan kese¬taraan sosialnya dan semata-mata menjadi ritual-ritual dan upacara-upacara mati yang tumbuh dan berkembang subur namun tanpa guna di bawah perbudakan dan pe-nindasan feodal. Di bawah feodalisme, Islam menjadi se¬buah ritual yang kaku, dan shalat rnenjadi sebuah upacara formal yang penampakan luarnya diharapkan membebas¬kan pelakunya dari semua tanggung jawab sosial, kebenar¬an, dan keberanian. Orang cukup bersembahyang bebe¬rapa kali, sementara menyatakan kebenaran, ketulusan, kesetaraan, keadilan, dan persaudaraan dianggap tidak penting dan tak bernilai. Moralitas - lebih tepatnya immoralitas - feodal ini melepaskan masyarakat feodal itu dari semua nilai-nilai luhur dan membuatnya menjadi sebuah hutan di mana kekerasan berkuasa dan per¬budakan serta penindasan menjadi hukumnya. Dengan demikian, Islam feodal adalah sebuah negasi dari Islam Qur'ani, Islamnya para Nabi-revolusioner, Islam yang merupakan sinonim dari kebenaran, kesetaraan sosial, ke¬tulusan, kesucian, kerendahan hati, cinta kasih, dan per-saudaraan.
Kapitalisme mengeksploiasi agama, yaitu Islam dan konsep-konsep revolusionernya yaitu shalat, zakat, jihad, dan lain-lain, telah rusak menjadi instrumen-instrumen politik yang digunakan urttuk menindas kelas-kelas pekerja miskin dan rakyat jelata, dengan memecah-belah masyarakat ke dalam kelas-kelas yang memiliki semua alat-¬alat produksi utama dan menguasai semua proses politik, sosial, dan kultural; dan kelas-kelas yang menjual tenaga mereka. Rezim ketidaksetaraan dan penindasan ini di¬tegakkan di atas sebuah agama yang telah membusuk yang telah membakukan dirinya sebagai sekumpulan ritual¬-ritual dangkal yang telah kehilangan etos moralnya yang asli.
Hasilnya adalah sebuah justifikasi menyeluruh ter¬hadap ketidaksetaraan, penindasan dan ritual-ritual penuh tahyul yang jelas-jelas bertentangan dengan ajaran¬ajaran Al-Qur'an dan para Nabi-revolusioner yang se¬sungguhnya. Sementara Islamnya para Nabi-revolusioner adalah sebuah jalan kebenaran, pencerahan, kesetaraan sosial, keadilan, dan persaudaraan; Islam feodal dan kapitalistik telah menjadi jalan kebohongan, kemunafikan, tipu daya, diskriminasi, penindasan, perbudakan, tahyul dan kegelapan.
Prinsip-prinsip utama kapitalisme adalah: profit-motif (motif mengejar keuntungan diri sendiri), kepemilikan alat-¬alat produksi dasar oleh kapitalis-kapitalis swasta, ekonomi pasar bebas yaitu menjadikan segala sesuatu sebagai komo¬ditas yang diperjualbelikan di pasar. Sistem ini memecah¬-belah masyarakat ke dalam dua kelas besar, yaitu kapitalis yang kuat dan berkuasa dan proletariat yang miskin. Kapi¬talisme membuat orang menjadi egois, haus keuntungan, dan mengejar kekuatan dan kekuasaan atas uang yang membuat orang-orang kaya menjadi arogan dan egois. Kapitalisme mengembangkan nafsu-nafsu dan keinginan-keinginan serta hasrat-hasrat yang dilarang oleh Islam Qur'ani. Islam Qur'ani menyerukan kebenaran, keadilan dan kesetaraan sosial, ketulusan, dan sifat tak kenal pamrih, tetapi kapitalisme justru memelihara kebalikan¬nya. Ini berarti bahwa kapitalisme adalah kebalikan dari prinsip-prinsip Islam Qur'ani, prinsip-prinsip dan nilai-¬nilai yang diperjuangkan oleh para Nabi-revolusioner sepanjang hidup mereka. jadi, masyarakat kapitalis adalah masyarakat modern yang terdiri dari para penindas, Qura zalima, yang menindas kelas-kelas pekerja dan rakyat jelata.
Pilar-pilar (arkan) Islam bukanlah ritual-ritual atau upacara-upacara formalistik atau external seperti shalat, puasa, sedekah, dan lain-lain, melainkan kebenaran, keadilan, kesetaraan sosial, perang abadi melawan penindasan dan eksploitasi, serta menegakkan sebuah masyarakat yang egaliter. Menurut Al-Qur'an, sebuah masyarakat egaliter yang terdiri dari orang-orang yang terpelajar, sopan, beradab, dan selalu berkata dan bertindak benar akan menjadi sebuah masyarakat yang 'Islami', sedangkan sebuah masyarakat yang berpecah¬belah dan tidak setara yang terdiri dari orang-orang yang buta huruf, senang melakukan tipu daya, bodoh, khianat, tidak tulus, munafik, dan egois akan menjadi masyarakat yang tidak Islami atau kafir.
Jika sosialisme modern dapat menciptakan sebuah masyarakat egaliter yang terdiri dari orang-orang yang terpelajar, berani, jujur, dan tulus serta sebuah tatanan sosial dan ekonomi yang berdasarkan keadilan dan ke¬setaraan sosial yang sempurna, maka masyarakat itu akan lebih dekat kepada konsepsi Al-Qur'an tentang Islam. Apalah artinya sebuah nama. Sebuah pohon dikenal karena buah yang dihasilkannya dan sebuah sistem sosial dikenal dan dinilai karena kualitas dan karakter yang diciptakannya di dalam diri anggota-anggotanya. Individu adalah. produk dari masyarakatnya. Adanya individu-individu yang tidak jujur dan mengidap penvakit moral adalah produk dari masyarakat yang tidak jujur dan berpenyakit moral.

9. Islam adalah sebuah Jalan Hidup
Menurut Al-Qur'an, Islam adalah sebuah jalan hidup, din, semua Nabi-revolusioner dan para pengikutnya:
"Agama yang sama telah disyariatkan kepadamu, seperti yang diperintahkan kepada Nuh- dan yang Kami wahyukan ke¬padamu - dan yang Kami perintahkan kepada Ibrahim, Musa, dan Isa; yakni tegakkanlah agama dan janganlah berpecah-belah di dalamnya. Sukar bagi kaum musyrik (mengikuti) apa yang kauserukan kepada mereka. Allah memilih untuk diri-Nya siapa yang la kehendaki, dan membimbing kepada-Nya siapa yang mau kembali (kepada-Nya)" (Q.S. 42:13).

'Cara hidup', din, semua Nabi-revolusioner pada hakikatnya adalah sama. Prinsip-prinsip fundamental dan cita-cita mereka adalah sama: kebenaran dan kesetaraan sosial yang mereka perjuangkan dengan memerangi penindasan dan kejahatan. Inilah prinsip-prinsip yang diperjuangkan oleh Nuh, Ibrahim, Musa, Isa, dan Muhammad Saw. Kebenaran dan kesetaraan, persaudara¬an, dan cinta kasih tidaklah konsisten dengan egoisme, kerakusan, penindasan kaum lemah, dan kepalsuan:
"...Hari ini orang kafir sudah putus asa untuk mengalahkan agamamu. Janganlah kamu takut kepada mereka; takutlah kepada-Ku. Hari ini Ku-sempurnakan agamamu bagimu dan Ku¬cukupknn karunia-Ku untukmu dan Ku-pilihkan Islam menjadi agamamu..." (Q.S. 5: 3).

Ayat ini ditujukan kepada komunitas Muslim ketika komunitas itu menjadi mapan sebagai sebuah komunitas kebenaran dan persaudaraan di Medinah. Selama Mus¬lim masih menjadi sebuah komunitas teraniaya yang ter¬diri dari pemberontak-pemberontak di kota Mekah mereka tidak dapat mengorganisir dan mempersenjatai diri mereka sendiri sebagai revolusioner-revolusioner untuk menyatakan dan mempertahankan prinsip-prinsip luhur yang mereka bela dan yang untuknya mereka telah mengorbankan segalanya.
Ketika mereka mengorganisir diri mereka sendiri sebagai sebuah komunitas bersenjata yang terdiri dari orang-orang yang setara dengan aturan-aturan bertindak milik mereka sendiri dan membebaskan diri mereka sendiri dari perbudakan yang dilakukan oligarki para pedagang, lintah-lintah darat, pemuka-pemuka agama, dan para bangsawan Mekah, mereka jadi tidak terkalahkan. Mereka adalah orang-orang yang beriman kepada kebenaran dan kesetaraan. Mereka bicara kebenaran, mereka jujur dan tulus. Apapun yang mereka yakini atau katakan, mereka lakukan. Mereka memperlakukan satu sama lain sebagai orang-orang yang setara. Mereka membentuk persaudara¬an kebenaran dan kesetaraan.
Ini tidak berarti bahwa semua konsep-konsep, lembaga-lembaga, peraturan-peraturan, dan prinsip¬prinsip sosial dan ekonomi yang diubah secara perlahan¬lahan oleh para revolusioner Muslim dalam perjuangan panjangnya selama dua puluh tiga tahun telah dimapan¬kan dan dibakukan ke dalam hubungan-hubungan sosial dan ekonomi buat selama-lamanya. Hal ini tidak mungkin karena masyarakat manusia adalah organisme yang selalu berkembang: ia tumbuh dan berubah. Yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah bahwa para revolusioner Muslim itu sekarang telah mendirikan sebuah komunitas di Medinah guna melaksanakan nilai-nilai kebenaran, kesetaraan sosial, keadilan, dan persaudaraan. Nilai-nilai moral ini harus diimplementasikan melalui hukum-hukum, peratur¬an-peraturan, petunjuk-petunjuk, dan lembaga-lembaga. Yang penting dalam hal ini adalah nilai-nilai dan prinsip-prinsip itu, dan bukannya lembaga-lembaga yang hanya mengekspresikan, mencerminkan, dan mewakili prinsip-¬prinsip yang esensial itu. Kesetaraan sosial adalah sebuah prinsip yang diimplementasikan melalui lembaga zakat.
Prinsip-prinsip kebenaran, kesetaraan sosial, dan per¬saudaraan adalah prinsip-prinsip alam yang membentuk esensi dari pesan para Nabi-revolusioner. Keselarasan alam, kosmos, dan tatanan jagat raya serta kemurnian alam dan nurani manusia yang tidak ternoda, seperti bayi yang tidak berdosa, adalah 'cara hidup' yang alami dan spontan yang dibimbing oleh kekuatan-kekuatan ilahiyah:
"Tetapi orang-orang zalim mengikuti hawa nafsu tanpa pengetahuan. Tetapi siapa yang akan memberi bimbingan or¬ang yang oleh Allah sudah dibiarkan sesat? Bagi mereka tak ada penolong. Maka hadapkanlah wajahmu benar-benar kepada agama; menurut fitrah Allah yang atas pola itu la menciptakan manusia. Tiada perubahan pada ciptaan Allah; itulah agama yang baku; tetapi kebanyakan manusia tidak tahu" (Q.S. 30: 29-30).

Konsep Al-Qur'an tentang din (agama) sebagai sebuah cara hidup yang berdasarkan kebenaran dan kesetaraan sosial adalah sebuah konsep yang progresif dan dinamis. Lembaga-lembaga sosial dan ekonomi aktual sebagai hu¬bungan-hubungan sosial bisa berubah dari satu formasi sosial ke formasi sosial yang lain, tetapi cita-cita kebenaran, keadilan, dan kesetaraan akan selalu ada. Bagi para Nabi¬revolusioner, Ibrahim dan Musa, cita-cita kesetaraan sosial diwujudkan dengan mengangkat martabat (emansipasi) dan membebaskan mereka serta menyetarakan mereka satu sama lain, tetapi dalam masyarakat kapitalis, karena se¬karang tidak ada lagi perbudakan, emansipasi bagi kelas-¬kelas pekerja dari ketergantungan ekonomi terhadap modal akan menjadi sebuah tindakan yang adil di sisi para revolu¬sioner modern.
Hal ini menunjukkan bahwa semua warisan zaman feodal dan abad tengah dalam bentuk agama (Islam) yang sudah rusak dengan segala lembaga-lembaga, ideologi-¬ideologi, kelas-kelas, dan kelompok-kelompok kepenting¬an-kepentingan sepihak yang sudah membusuk adalah sebuah anakronisme dan, jelas-jelas sebuah anatema (sesuatu yang haram, kutukan) bagi konsep Al-Qur'an tentang Islam sebagai sebuah cara hidup yang berdasarkan kebenaran dan kesetaraan sosial. Apa yang sekarang ber¬ada di bawah nama Islam tidak lain adalah sebuah cadar kemunafikan dari sebuah kepentingan politik guna me¬nutupi eksploitasi brutal terhadap rakyat jelata dalam masyarakat-masyarakat Muslim di dunia ketiga.
Islam adalah sebuah konsepsi religius/teologis yang berarti menyerahkan kehendak atau rencana manusia ke¬pada Kehendak atau Takdir Tuhan yang Iebih tinggi. Islam bukanlah sebuah sistem sosial dari suatu masyarakat ter¬tentu. Islam berarti ketundukan kepada prinsip-prinsip ke¬benaran, kesetaraan sosial, kebaikan, persaudaraan, kejujuran, ketulusan, cinta, dan lain-lain tertentu; prinsip-¬prinsip yang melandasi berdirinya sebuah kamunitas yang bebas dan setara. Prinsip-prinsip tersebut adalah cita-cita semua Nabi-revolusioner sepanjang zaman. Tetapi, lembaga-lembaga sosial yang diletakkan di dalam parameter-¬parameter prinsip-prinsip luhur ini berbeda-beda. Kan¬dungan-kandungan dan substansi-substansinya bervariasi menurut formasi-formasi dan tatanan-tatanan sosial-eka¬nomi tempat Nabi-Nabi yang bersangkutan itu hidup.
Ini berarti bahwa Islam bukanlah sebuah ide baku atau sebuah sistem ritual-ritual, upacara-upacara dan lembaga-¬lembaga yang kaku, melainkan sebuah prinsip progresif yang selalu menghapuskan tatanan-tatanan lama. Musa menghapus tatanan sosial yang dibangun oleh Ibrahim. Isa mencabut tatanan ekonomi Musa. Muhammad Saw. menghapuskan lembaga-lembaga sosial dan ekonomi yang dibangun oleh Nabi-Nabi sebelumnya. Tetapi semuanya saling menegaskan kebenaran satu sama lain. Kebenaran¬nya adalah bahwa semua manusia adalah setara. Mereka harus jujur, berkata benar, dan berjuang melawan kekuat¬an-kekuatan jahat, diskriminasi, penindasan, dan ke¬palsuam. Lembaga-lembaganya boleh berubah-ubah, adat-istiadatnya juga boleh bervariasi, tetapi kebenaran, kesetaraan, dan persaudaraan tetap tinggal sebagai prinsip-prinsip masyarakat yang bebas, adil, dan egaliter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar