Rabu, 19 Agustus 2009

DIBALIK RANGKAIAN AYAT PUASA

Prof.DR.KH.M.Quraish Shihab

Dengan mencampurbaurkan uraian yang berbeda-beda dalam rangkaian ayat puasa, sesungguhnya Allah bermaksud untuk mengingatkan kaum muslimin bahwa ajaran Islam walaupun berbeda-beda tetapi satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jangan anggap satu masalah yang diangkat lebih utama daripada masalah lainnya.

Di dalam al-Quran, terdapat beberapa hal yang perlu kita perhatikan berkaitan dengan bulan Ramadhan. Kita sudah sering mendengar ayat al-Quran yang mewajibkan puasa, yaitu firman Allah:

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa” (QS. al-Baqarah/2: 183).

Di sini saya tidak akan berbicara tentang ayat itu, tetapi saya hanya ingin agar kita semua memperhatikan pesan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya, untuk kita tarik pelajaran dari rangkaian ayat-ayat itu. Kalau kita buka al-Quran, sebelum ayat 183 yang memerintahkan puasa, ayat 180-182 adalah perintah berwasiat.

Sebelum perintah berwasiat, terdapat ayat yang memerintahkan untuk melakukan qishâsh (ayat 178-179), Sedangkan ayat sebelumnya berbicara tentang hakikat kebajikan (ayat 177). Dengan demikian, urutan ayat-ayat ini merupakan penegasan tentang makna kebajikan, disusul oleh kewajiban melaksanakan qishâsh, kemudian perintah untuk melaksanakan wasiat, dan setelah itu baru ditegaskan perintah berpuasa.

Setelah berbicara tentang puasa (ayat 183-185), al-Quran mengalihkan pembicaraan kepada permasalahan doa (ayat 186), lalu kembali menyinggung masalah puasa (ayat 187), dengan menyebutkan beberapa ketentuan-ketentuannya. Sesudah itu (ayat 188) disebutkan larangan menyogok. Apa maknanya semua ini? Apa hikmah bercampurnya perintah-perintah tersebut?

Dengan mencampurbaurkan uraian-uraian ini, sesungguhnya Allah bermaksud untuk mengingatkan kaum muslimin bahwa ajaran Islam walaupun berbeda-beda dia adalah satu kesatuan yang tak terpisahkan. Jangan Anda anggap kewajiban berpuasa itu lebih penting daripada berwasiat, larangan memakan babi lebih penting dari larangan membuka aurat. Jangan Anda kira bahwa tuntutan untuk menegakkan keadilan itu lebih utama daripada tuntutan untuk menegakkan kejujuran. Jangan pula Anda menganggap bahwa yang mendustakan agama hanya orang yang tidak shalat, sebab orang yang tidak memperhatikan anak yatim pun dianggap orang yang tidak memperhatikan agama.

Dengan demikian, Allah Swt. ingin mengingatkan kepada kita bahwa ajaran-Nya tidak dapat dipilah-pilah. Tidak boleh ada yang beranggapan bahwa yang penting adalah hubungan dengan Allah, sementara hubungan dengan masyarakat tidak penting. Kita katakan, seluruh ajaran-Nya penting dan semuanya harus dilaksanakan secara kâffah (utuh). Orang-orang Bani Israil (Yahudi) dikecam oleh Al-Quran karena mereka memilah-milah ajaran-Nya. Kecaman ini bisa juga akhirnya tertuju kepada kita kaum muslimin. Allah swt. berfirman:

“Kemudian kamu adalah mereka yang membunuh diri kamu dan mengusir segolongan kamu dari kampung halaman mereka, kamu bantu-membantu terhadap mereka dengan membuat dosa dan permusuhan. Tetapi jika mereka datang kepada kamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal mengusir mereka itu (juga) terlarang bagi kamu. Apakah kamu beriman kepada sebagian al-Kitâb dan ingkar terhadap sebagian yang lain? Tiadalah balasan bagi orang yang berbuat demikian, melainkan kenistaan dalam kehidupan dunia. Dan pada hari Kiamat mereka dikembalikan kepada siksa yang sangat berat. Allah tidak lengah dari apa yang kamu perbuat”. (QS. al-Baqarah/2: 85)

Ada orang yang mau mengerjakan perintah ini dan tidak mau mengerjakan perintah itu, atau ini lebih penting daripada itu, maka balasan bagi orang semacam ini adalah nista dan kehinaan dalam kehidupan ini, kemudian nanti di akhirat disiksa lebih berat lagi. Boleh jadi apa yang kita alami oleh bangsa kita dan citra buruk tentang Islam di mata dunia sekarang ini, adalah disebabkan karena kita memilah-milah ajaran-ajaran Allah.

Kita dapat melihat tidak sedikit orang yang pergi menunaikan ibadah haji, tetapi di sisi lain banyak juga yang korupsi. Banyak yang berpuasa, tetapi banyak juga yang tidak menegakkan keadilan Allah. Pada ayat 188 dari surah al-Baqarah, setelah memaparkan uraiannya tentang puasa, al-Quran sengaja menegaskan larangan lâ ta’kulû amwâlakum baynakum bi al-bâthil (jangan kamu memakan, menggunakan, dan memperoleh harta dengan cara yang batil), wa tudlû bihâ ilâ al-hukkâm (kamu menyogok orang-orang yang bisa mengambil keputusan, dengan tujuan melanggar ketentuan-ketentuan Allah).

Banyak pula di bulan Ramadhan ini orang berdoa, karenanya setelah menyatakan kewajiban puasa, Allah juga mengingatkan bahwa:

“Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka memenuhi (segala perintah)-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran”. (QS. al-Baqarah [2]: 186)

Ada yang perlu yang kita garisbawahi di sini, mari kita lihat terjemahan ayat itu: “(Hai Nabi Muhammad) apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah) bahwa Aku dekat.” Saat itu sahabat-sahabat Nabi bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah Tuhan kita jauh atau dekat dengan kita. Kalau Dia jauh, kami mau berdoa dengan suara keras. Tetapi kalau Dia dekat, maka kami berdoa dengan berbisik-bisik saja. Allah menjawab, fa innî qarîb (sesungguhnya Aku dekat). Setelah itu, dinyatakan-Nya, ujîbu da‘wata ad-dâ‘i idzâ da‘ân (akan Ku-perkenankan permohonan orang yang berdoa kalau dia berdoa).

Mengapa Allah menegaskan idzâ da‘âni (kalau dia berdoa)? Karena, ada orang berdoa yang tidak dinilai-Nya berdoa. Ada orang yang berkata, “saya sudah berdoa dan beristighâtsah ramai-ramai, mengapa doa saya tidak dikabulkan Allah?” Jangan sampai kita hanya mengangkat tangan pada saat berdoa. Allah baru menjanjikan akan mengabulkan orang yang berdoa kalau dia berdoa. Rasulullah Saw. menyebutkan bahwa ada orang yang berdoa kepada Allah hingga bercucuran keringat dan kusut rambutnya sambil mengangkat tangannya tinggi-tinggi dan mengucapkan, “yâ rabbi yâ rabbi (ya Tuhanku, kabulkan doaku)”. Rasulullah bersabda: “Annâ yustajâbu lahu (bagaimana dapat dikabulkan doanya), wa malbasuhu harâm (pakaiannya haram), wa masyrabuhu harâm (minumannya haram), dan perilakunya juga haram.” Orang seperti ini tidak dinilai berdoa oleh Allah Swt. Firman-Nya di atas berbicara dalam konteks itu.

Ayat ini mengajak kita untuk selalu mengintrospeksi diri setiap kali kita berdoa. Mari kita memastikan apakah pakaian yang melekat di badan kita sudah benar-benar halal, apakah makanan yang kita makan halal atau tidak. Di samping itu, janganlah Anda tergesa-gesa ingin segera doa Anda dikabulkan. Nabi Ibrahim bermohon kepada Allah, “Ya Allah, utuslah dari kota Makkah ini seorang Rasul dari kalangan mereka”. Nabi Ibrahim hidup sekitar 2.500 tahun sebelum Masehi dan doanya baru dikabulkan dengan kehadiran Nabi Muhammad Saw. yang diutus pada tahun 571 M. Setelah 3.071 tahun lamanya baru Allah Swt. mengabulkan doanya yang satu ini. Oleh karena itu, jangan tergesa-gesa mengatakan doa saya tidak diterima. Selama Anda berdoa dengan tulus pasti Allah menerima doa Anda. Allah menegaskan bahwa kalau hamba-hamba-Nya ingin diterima doanya, fal yastajībū lī (maka hendaklah mereka memperkenankan tuntunan-tuntunan-Ku), wal yu’minū bī la‘allahum yarsyudūn (hendaklah mereka percaya kepada-Ku). Bukan saja percaya bahwa Dia Maha Esa, tetapi juga percaya bahwa Dia pasti mengabulkan doa itu.

Ada hal yang menarik pada ayat-ayat ini. Setelah berbicara tentang perihal doa, ayat itu kemudian bicara, uhilla lakum laylata ash-shiyām ar-rafatsu ilā nisā’ikum (kamu boleh melakukan hubungan biologis dengan pasangan-pasangan kamu di malam-malam Ramadhan). Setelah menyebutkan puasa di siang hari, saat di mana kita mendekatkan jiwa kepada Allah, dan setelah berbicara mengenai anjuran berdoa, tiba-tiba al-Quran mengalihkan pembahasannya dengan berbicara mengenai seks. apa maknanya itu? Allah Swt. tidak mau kita terlalu berlebih-lebihan dalam segala hal. Dia tidak mau kita melupakan sisi-sisi kehidupan biologis kita. Allah Swt. tidak mau kalau kita menjadi malaikat sebagaimana Allah tidak mau kita menjadi binatang. Kita adalah gabungan dari ruh dan jasad, maka kita harus memperhatikan sisi-sisi rohani kita tanpa melupakan sisi-sisi jasmani kita.

Manusia itu diibaratkan seperti air, yang merupakan gabungan dari oksigen dan hidrogen. Apabila kedua unsur ini tidak bergabung maka ia bukan air. Apabila manusia itu hanya makan, minum, dan melakukan hubungan seks saja, maka dia adalah binatang, bukan manusia. Kalau dia semata-mata hanya mengembangkan sisi-sisi rohaniahnya saja seperti melakukan shalat dan berdzikir saja, yaitu dalam bentuk mengucapkan kalimat lā ilāha illā Allāh saja, dan tidak memperhatikan kebutuhan biolgisnya, tidak memperhatikan kebutuhan jasmaniahnya, serta tidak memperhatikan dunianya, maka dia berarti malaikat. Allah tidak mengharapkan kita menjadi Malaikat dan dalam saat yang sama tidak menghendaki kita menjadi binatang. Dia ingin kita menjadi manusia, maka begitu selesai perintah puasa, langsung disinggung persoalan doa yang kesemuanya itu merupakan hal-hal yang bersifat spiritual. Setelah itu, diingatkan-Nya, “dihalalkan buat kamu pada malam bulan puasa itu melakukan apa yang kamu butuhkan untuk memenuhi kebutuhan biologismu”. Di sini kombinasi antara sisi material dan spiritual, bergabung hasanah di dunia dan hasanah di akhirat. Itu semua menyatu dan merupakan ajaran al-Quran.

Itulah yang kita lihat sepintas mengenai tuntunan Allah menyangkut puasa. Karena itu, hendaknya kita kembali memperhatikan tuntunan-tuntunan agama kita, kita kembali memperhatikan apa yang diperintahkan Allah kepada kita, kita kembali untuk merenungkan siapa kita dan betapa besar kebutuhan kita kepada-Nya. Wa Allāhu A‘lam bi Ash-Shawāb.


Sumber :
Disunting dari Ceramah Keliling Ramadhan Ustadz Quraish Shihab di Masjid Islamic Village Karawaci, Tangerang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar