1. Pengertian Ikhtilath
Ikhtilath menurut bahasa adalah bercampurnya sesuatu dengan sesuatu. (Lihat Lisānul ‘Arab 9/161-162). Adapun menurut istilah adalah bercampur baur antara laki-laki dan perempuan yang tidak ada hubungan mahram pada suatu tempat. (Lihat Al-Mufashal fī Ahkāmil Mar’ah: 3/421)
Ikthtilath adalah percampuran antara laki-laki dan wanita. Ikhtilat adalah lawan dari infishal (terpisah). Pada dasarnya, Islam telah mewajibkan pemisahan antara wanita dan laki-laki. Pemisahan ini berlaku umum dalam kondisi apapun, baik dalam kehidupan umum maupun khusus, kecuali ada dalil-dalil yang mengkhususkannya.
Sedangkan menurut pakar ilmu, ikhtilath adalah pencampuran atau berdesak-desakan yang terjadi antara pria dan wanita. Sebagaimana hal ini diutarakan oleh seorang tabiin (Hanzah bin Abu Usaid Al Anshari) yang menceritakan kisah yang bersumber dari bapaknya, “Dia mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda di saat beliau keluar dari masjid, sedangkan para lelaki dan wanita berikhtilath (bercampur baur) di jalan. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, ‘Minggirlah kamu, karena sesungguhnya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan, kamu wajib berjalan di pinggir jalan’. Maka para wanita itu merapat di tembok/ dinding sampai baju mereka terkait di tembok karena saking rapatnya.” (Riwayat Abu Daud)
Hadits tersebut mengisyaratkan bahwa bercampur-baurnya (ikhtilath) antara laki-laki dan wanita di jalan itu adalah dengan berdesak-desakan atau berjalan bersama-sama, makanya Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam memerintahkan para wanita untuk berjalan di pinggir.
2. Kondisi-Kondisi Ikhtilath
Bercampurnya antara laki-laki dan wanita ada tiga kriteria :
1. Ikhtilath antara laki-laki dan wanita yang masih mahram. Hukum dari ikhtilath ini boleh
2. Ikhtilathnya laki-laki dan perempuan asing (bukan mahram) untuk tujuan maksiat. Tentang hukumnya jelas sekali yakni haram.
3. Ikhtilathnya seorang wanita dengan laki-laki asing di tempat-tempat ramai; majelis-majelis ilmu, toko, pasar, dan lainnya. Model ikhtilath ini pun semestinya dihindari atau diminimalisir. Kecuali memang dalam keadaan yang sangat mendesak/darurat.
3. Hukum Ikhtilath
Pada hakekatnya, percampuran antara laki-laki dan wanita bukan mahram adalah sesuatu yang sangat besar pelarangannya. Namun kebanyakan manusia tidak menyadari atau bahkan meremehkannya. Padahal dalam hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam telah mengatakan kepada para wanita untuk berjalan dipinggir jalan ketika terjadi percampuran antara laki-laki dan wanita, “Minggirlah kamu, karena sesungguhya kamu tidak berhak berjalan di tengah jalan , kamu wajib berjalandi pinggir jalan.” (Riwayat Abu Daud)
Perintah beliau ditujukan kepada para wanita yang berdesakan dengan para lelaki di jalan menunjukkan terlarangnya ikhtilath. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam juga mengatakan, “Sungguh jika seorang laki-laki berdesakan dengan seekor babi yang berlumuran tanah dan lumpur lebih baik baginya daripada berdesak-desakan dengan pundak wanita yang tidak halal baginya”. (Riwayat ath-Thabrani)
Pun dengan sabdanya yang lain, “Sungguh jika kepada salah satu dari kalian ditusuk dengan besi lebih baik ketimbang menyentuh wanita yang tidak halal baginya.” (Riwayat ath-Thabrani). Dari hadits-hadits tersebut menunjukkan keharaman ikhtilath. Demikian pula dengan hal-hal yang dapat menghantarkan seseorang ke dalam perbuatan ikhtilath masuk ke dalam larangan ini.
Dalam Firman-Nya, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan,
“ Katakanlah kepada laki-laki yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannnya, dan memelihara kemaluannya’. Yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. (An Nuur: 30)
Yang terpahami dari ayat tersebut, bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala, memerintahkan untuk menahan pandangan dari yang diharamkan. Memandang lawan jenis yang bukan mahrim saja di larang, bagaimana halnya dengan menyentuh atau berdesak-desakan/ikhtilath dengan mereka ?? Tentunya sangat lebih tingkat pelarangannya.
Termasuk di dalam hal ini adalah berkhalwat (berdua-duaan dengan wanita yang bukan mahram). Rasulullah telah memperingatkannya dalam sebuah hadits, “ Tidaklah seorang pria berdua-duaan dengan seorang wanita kecuali orang ketiganya adalah setan “. (Riwayat at-Tirmidzi)
4. Kondisi-Kondisi yang diperbolehkannya adanya ikhtilath
Berikut merupakan keadaan yang membolehkan seseorang untuk ikhtilath. Namun perlu dicatat bahwa ikhtilath ini hanya bersifat boleh. Yang berarti tindakan tersebut tidak harus dilakukan atau tidak lebih disukai/tidak lebih utama untuk dikerjakan. Dan perlu diingat pula ikhtilath ini dilakukan dalam rangka kebaikan dan memperoleh manfaat.
Apabila dengan ikhtilath yang dilakukan dapat menimbulkan kerusakan dan fitnah yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala tidak menyukai kerusakan. Pun dengan sebuah kaidah ushul fiqh yang popular yang mengatakan; “Mencegah kerusakan lebih dikedepankan daripada mendatangkan kebaikan/manfaat.”
Berikut keadaaan-keadaan yang membolehkan ikhtilath ;
a. Wanita mendatangi seorang alim (ahli ilmu) untuk bertanya mengenai hukum syariat.
Hal ini sebagaimana sebuah riwayat yang mengisahkan, Ada seorang Sahabiyyah Nabi mendatangi beliau dan menanyakan tentang darah istihadhah. (Riwayat al-Bukhari)
b. Wanita yang shalat (menjadi makmum) di belakang laki-laki dengan shaf tersendiri.
Sahabat Anas mengatakan, “ Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam shalat di rumah Ummu Sulaim, maka aku dan seorang anak yatim berdiri di belakang beliau dan Ummu Sulaim di belakang kami.” (Riwayat al-Bukhari)
c. Dua pria shalih atau lebih menemui seorang wanita untuk hajat tertentu.
Di dalam sebuah riwayat disebutkan Orang-orang Bani Hasyim menemui Asma binti ‘Umais (istri Abu Bakar). Kemudian Abu Bakar masuk ke rumah, maka Abu Bakar tidak menyukai dan mengadu kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam seraya mengatakan, “Aku tidak melihat sesuatu kebaikan.” Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “Setelah hariku ini janganlah sekali-kali seorang pria menemui seorang wanita yang ditinggal pergi suaminya kecuali bersamanya ada seorang atau dua orang laki-laki.” (Riwayat Muslim)
d. Seorang pria berdiri bersama seorang wanita di jalan yang biasanya dilewati orang banyak untuk menunaikan kebutuhan wanita tersebut.
Hal ini didasarkan kepada sebuah kisah yang diungkapkan oleh Anas, “ Bahwa ada seorang wanita yang akalnya kurang genap berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam,” Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki keperluan denganmu. Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda, “ Wahai Ummu Fulan, carilah jalan mana yang kamu sukai sehingga aku dapat memenuhi keperluanmu. Maka beliau dan wanita tersebut menyendiri diri sebuah jalan hingga wanita tersebut menyelesaikan keperluannya.” (Riwayat Muslim, Abu Daud). “Perkataan ‘menyendiri’ yang terdapat di dalam hadits tersebut memiliki maksud, Rasulullah berdiri bersama wanita tersebut di jalan yang banyak dilewati orang, agar beliau dapat menunaikan keperluannya dalam keadaan sepi. Kondisi semacam ini tidaklah dikatakan sebagai bentuk ikhtilath dengan wanita asing (bukan mahram), karena hal ini terjadi di tempat yang orang-orang biasa lewat” seperti yang diungkapkan oleh Imam An Nawawi di dalam kitabnya, syarh Muslim.
e. Wanita mengucapkan Salam kepada pria.
Sebuah riwayat yang bersumber dari Abu murrah (bekas budak Ummu Hani’ binti Abu Thalib) menuturkan bahwasanya dia mendengar Ummu Hani’ berkata, “Saya pergi menemui Rsulullah Shallallahu ‘alaihi Wasallam pada tahun Fathu Makkah, maka saya mendapati beliau sedang mandi dan fathimah menutupinya dengan kain, lalu saya mengucapkan salam……..”(Riwayat Muslim, an-Nasai, Ahmad)
f. Seorang wanita yang mendatagi pria untuk suatu keperluan. (Sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits sebelumnya (point e))
g. Seorang pria mengucapkan salam kepada wanita.
Sebuah riwayat yang berasal dari Sahl mengatakan, “Maka apabila kami telah selesai shalat Jum’at, kami pulang dan mampir ke rumah seorang wanita tua kemudian kami mengucapkan salam kepadanya……” (Riwayat al-Bukhari)
Itulah kondisi-kondisi yang bisa dikategorikan bukan sebagai bentuk ikhtilath. Namun, seperti diterangkan sebelumnya apabila hal-hal tersebut dilakukan sehingga menimbulkan kerusakan dan fitnah maka tidak boleh dilakukan. Sebaliknya, apabila aman dari fitnah dan mafsadah maka boleh dilakukan.
5. Fenomena Aktual di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi.
Ikhtilath di Sekolah, Universitas, Rumah Sakit dan Instansi-Instansi sudah merupakan perkara yang biasa dan sudah membudaya, dan hasil dari semua itu dianggap luar biasa. Karena luar biasanya, maka banyak dari umat Islam terpengaruh dan bahkan sampai tergiur yang pada akhirnya timbullah angan-angan untuk meraih yang mereka angan-angankan, merekapun mulai mencoba yang pada akhirnya terasa semakin asyik sehingga melahirkan keberanian dalam menerjang larangan-larangan Rabbnya, Na’uzu billah min zalik. Sungguh telah cukup bagi kami untuk mencantumkan beberapa point dari fatwa para ulama kita, tentang betapa bahaya dan ngerinya tentang perkara ikhtilath ini:
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang mengatakan boleh ikhtilath disekolah-sekolah dan yang lainnya dengan alasan bahwa perintah berhijab hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam maka perbuatan ini jauh dari petunjuk serta menyelisihi Al-Qur’an dan As-Sunnah yang telah menunjukkan hukum hijab berlaku umum, sebagaimana firman-Nya: “Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 10).
- Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata: “Sesungguhnya tidak boleh bagi setiap orang laki-laki dan perempuan untuk belajar di sekolah-sekolah yang terjadi iktilath didalamnya, disebabkan karena bahaya yang besar yang akan mengancam kesucian dan akhlak mereka. Tidak ada keraguan bahwa orang yang bagaimana pun sucinya dan mempunyai akhlak yang tinggi, bagaimana jika disamping tempat duduknya ada perempuan, terlebih lagi bila perempuan itu cantik lalu menampakkan kecantikannya maka sangatlah sedikit yang bisa selamat dari fitnah dan kerusakan. Oleh karena itu segala yang membawa kepada kerusakan dan fitnah adalah haram.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 23).
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Adapun ikhtilath antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja atau instansi-instansi sedang mereka adalah kaum muslimin, maka hukumnya haram dan wajib bagi yang memiliki wewenang di tempat tersebut untuk memisahkan tempat (ruangan) antara laki-laki dan perempuan. Sebab ikhtilath terdapat kerusakan yang tidak samar lagi bagi seorang pun.” (Fatawa Hai’ah Kibaru Ulama: 2/613 dan Fatawa Ulama Baladi Haram, hal. 532).
- Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani rahimahullah berkata: “Perempuan yang keluar dari rumahnya merupakan perkara yang menyelisihi hukum asal. Dan masuknya mereka di rumah sakit yang di dalamnya ada campur baur antara laki-laki dan perempuan merupakan ikhtilath yang tidak diperbolehkan didalam Islam. Seandainya ada rumah sakit khusus untuk wanita, para pekerjanya juga wanita, begitu pula pasien dan para perawatnya. Seharusnya memang negeri-negeri Islam ada rumah sakit yang seperti itu, yang mana para wanita secara khusus yang mengurusinya, baik dokter, direktur, para pekerjanya dan yang semisalnya. Adapun apabila rumah sakitnya ada ikhtilath, maka kami nasehatkan agar wanita muslimah yang beriman kepada Rabbnya agar bertaqwa kepada Allah dan hendaknya ia tetap tinggal dirumahnya.” (Al-Hawi min Fatawa Asy-Syaikh Al-Albani, hal. 75).
- Samahatus Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Bekerjanya perempuan ditempat yang terdapat laki-laki di dalamnya adalah perkara yang sangat berbahaya. Dan diantara penyebab terbesar adalah munculnya kerusakan yang disebabkan karena ikhtilath yang mana hal itu merupakan jalan-jalan yang paling banyak menyebabkan terjadinya perzinahan.” (Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 44).
6. Adakah Ibadah Dilaksanakan dengan Berikhtilath?
-Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Jangan kalian melarang hamba-hamba Allah yang perempuan (untuk menghadiri) masjid-masjid Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)
- Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bolehnya perempuan untuk ke masjid menghadairi shalat berjama’ah, jika apabila memenuhi syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh syari’at. Diantaranya tidak keluar dengan menggunakan wangi-wangian, tidak berpakaian menyolok dan tidak berikhtilat.” (Syarh Shahih Muslim: 2/83).
- Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik shaf laki-laki adalah yang paling depan dan yang sejelek-jelek shaf laki-laki adalah yang paling belakang dan sebaik-baik shaf perempuan adalah yang paling belakang dan sejelek-jelek shaf perempuan adalah yang paling depan.” (HR. Muslim: 1/326 no. 440, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu).
- Al-Imam An-Nawawi berkata: “Adapun shaf laki-laki umumnya yang paling baik selama-lamanya adalah shaf yang pertama, yang paling jelek selama-lamanya adalah shaf yang terakhir. Adapun shaf perempuan yang paling baik adalah yang paling belakang. Hal ini dikarenakan agar keadaan shaf perempuan dan laki-laki saling menjauh sehingga tidak terjadi ikhtilath dan saling memandang satu sama lainnya.” (Lihat Syarh Shahih Muslim dan As-Sirājul Munīr fī Ahkāmis Shalati wal Imāmi wal Ma’mumīn, hal. 231-232).
- Al-Imam Ash-Shan’any rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini menjelaskan sebab disunnahkannya shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki supaya keadaan tempat perempuan dan laki-laki dalam shalat berjauhan, sehingga tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Lihat Subulus-Salām)
- Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Penyebab kebaikan shaf perempuan berada di belakang shaf laki-laki adalah karena supaya tidak terjadi ikhtilath diantara mereka.” (Nailul Authar: 3/189).
- Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin rahimahullah berkata: “Hal ini dikarenakan dekatnya shaf terdepan wanita dari shaf terakhir lelaki sehingga merupakan shaf terjelek, dan jauhnya shaf terakhir wanita dari shaf terdepan lelaki merupakan shaf yang terbaik. Apabila pada ibadah shalat yang disyariatkan secara berjamaah, maka bagaimana kiranya jika di luar ibadah? Kita mengetahui bersama, dalam keadaan dan suasana ibadah tentunya seseorang lebih jauh dari perkara-perkara yang berhubungan dengan syahwat. Maka bagaimana sekiranya ikhtilath itu terjadi di luar ibadah? Sedangkan setan bergerak dalam tubuh Bani Adam begitu cepatnya mengikuti peredaran darah. Bukankah sangat ditakutkan terjadinya fitnah dan kerusakan besar karenanya?” (Lihat Fatawa An-Nazhar wal Khalwah wal Ikhtilath, hal. 45).
- Ummul Mukminin Àisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat subuh pada saat masih gelap maka para perempuan kaum mukminin kembali dan mereka tidak dikenali karena masih gelap atau sebagian mereka tidak mengetahui sebagian yang lain.” (HR. Bukhari)
Hadits ini serupa dengan hadits Ummu Salamah, ia berkata: “Sesungguhnya para perempuan di zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila mereka salam dari shalat wajib, maka mereka berdiri dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta orang-orang yang shalat bersama beliau dari kalangan laki-laki tetap di tempat mereka selama waktu yang diinginkan oleh Allah, bila Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri maka para lelaki berdiri pula.” (HR. Bukhari).
- Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Dalam hadits ini terdapat penjelasan tentang dibencinya ikhtilath antara laki-laki dan perempuan dalam perjalanan dan hal ini lebih terlarang lagi ketika ikhtilath terjadi pada suatu tempat.” (Lihat Nailul Authar: 2/315).
- Al-Imam Ibnu Qudamah rahimahullah berkata: “Jika dalam shalat berjama’ah terdapat laki-laki dan perempuan maka disunnahkan bagi laki-laki untuk tidak meninggalkan tempat sampai perempuan keluar meninggalkan jama’ah sebab kalau tidak, maka hal ini akan membawa pada ikhtilath.” (Al-Mughny: 2/560).
- Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdiri pada Iedul Fitri untuk shalat, maka beliau memulai dengan shalat kemudian berkhutbah. Tatkala beliau selesai, beliau turun dan mendatangi para perempuan kemudian memberikan peringatan kepada mereka.” (HR. Bukhari)
- Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Perkataan: Kemudian beliau mendatangi para perempuan” Ini menunjukkan bahwa tempat perempuan terpisah dengan tempat laki-laki, tidak dalam keadaan ikhtilath.” (Lihat Fathul Bāry: 2/66).
- Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Hadits ini menjelaskan bahwa perempuan-perempuan apabila menghadiri shalat jama’ah yang mana jama’ah tersebut dihadiri pula oleh para laki-laki maka perempuanj terpisah dengan dari tempat laki-laki, hal ini untuk menghindari fitnah, saling memandang dan berbicara.” (Syarh Shahih Muslim: 2/535).
- Ummul Mukminin Àisyah radhiyallahu ‘anha berkata: “Saya meminta izin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berjihad, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabad: “Jihad kalian (para perempuan) adalah berhaji.” (HR. Bukhari dari Àisyah radhiyallahu ‘anha).
- Ibnu Baththal rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan bahwa jihad tidak diwajibkan bagi perempuan, hal ini disebabkan karena perempuan apabila berjihad maka tidak akan mampu menjaga dirinya dan juga akan terjadi percampur bauran antara laki-laki dan perempuan.” (Fathul Bary: 6/75-76)
7. Syubhat-Syubhat Seputar Ikhtilath
Diantara syubhat yang paling masyhur adalah:
“Syari’at tentang perintah untuk meninggalkan ikhtilath hanya cocok diterapkan di Negara Saudi Arabia adapun Negara selain Saudi Arabia tidaklah cocok karena menyelisihi adat kebiasaan, begitu pula syari’at atau suatu hukum akan mengalami perubahan seiring dengan perubahan zaman dan situasi, lagi pula di dalam Islam ada kaidah tetap yaitu: “Al-Qur’an berjalan diatas bimbingan-bimbingannya disesuaikan dengan zaman dan kondisi. Dan hukum-hukumnya disesuaikan dengan kebiasaan dan adat istiadat.”
Jawaban atas syubhat ini:
Perlu diketahui bahwa qaidah tersebut telah disebutkan oleh Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- di dalam kitabnya “Al-Qawa’idul Hisān fii Tafsiril Qur’an pada qaidah yang ke-21, kemudian beliau rahimahullah- memberikan penjelasan terhadap qaidah tersebut. Dan ternyata apa yang dijelaskan oleh beliau rahimahullah- sangat bertentangan dengan apa yang telah di nyatakan oleh shahib (pemilik) syubhat ini, beliau –rahimahullah- berkata: “Ini adalah qaidah yang besar lagi kokoh, qaidah yang agung lagi bermanfaat, maka sesungguhnya Allah memerintahkan hamba-hamba-Nya dengan kebaikan. Dan perintah (Allah) itu adalah apa-apa yang dikenal kebaikannya, menurut syari’at, akal dan menurut kebiasaan. Dan Allah telah melarang mereka dari kemungkaran dan setiap larangan adalah apa-apa yang tampak keburukannya menurut syari’at, akal maupun menurut kebiasaan. Dan Allah telah memerintahkan kepada orang-orang mukmin dengan perintah kepada kebaikan dan larangan dari kemungkaran, dan Allah wasiatkan mereka dengan yang demikian itu.” (Al-Qawa’idul Hisān fii Tafsiril Qur’an, hal. 41).
Qaidah tersebut memiliki keterkaitan dengan qaidah: “Agama dibangun diatas maslahat (kebaikan), di dalamnya mendatangkan kebaikan dan menolak mafsadah (kerusakan).”
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di –rahimahullah- berkata: “(Qaidah) Ini adalah pokok yang besar, qaidah umum, yang masuk di dalamnya agama seluruhnya. Semuanya itu dibangun untuk menghasilkan kemaslahatan dunia dan akhirat. Dan dibangun untuk menolak kemudharatan dalam agama, dunia dan akhirat. Tidaklah Allah memerintahkan sesuatu kecuali di dalamnya terdapat kemaslahatan yang tidak diliputi dengannya pensifatan. Dan tidaklah Allah melarang sesuatu kecuali di dalamnya terdapat mafsadah yang tidak di liputi dengannya pensifatan.” (Al-Qawā’idul Fiqhiyyah līfahmin Nushūs Asy Syar’iyyah, hal. 17-18).
Maka jelaslah, bahwa apa yang Allah –‘azza wa jalla- dan Rasul-Nya perintahkan baik itu perintah untuk meninggalkan ikhtilath atau pun yang selainnya, merupakan hukum yang mencocoki akal dan kebiasaan sebagaimana persaksian wanita berkebangsaan Prancis yang dia berprofesi sebagai wartawan, ia menuturkan: “Saya mendapati wanita muslimah Arab sangat dihormati dirumahnya dari pada wanita Eropa. Dan saya sangat yakin bahwa seorang isteri dan ibu dari mereka sangat bahagia melebihi kebahagian kami.” (Al-Mar’ah Baina Takrimil Islam wa Da’awi Tahrir, hal. 29).
Dan siapa yang menyatakan atau memiliki anggapan bahwa hukum Islam tidak cocok untuk diterapkan di selain negara Saudi Arabia maka dia telah menyelisihi realita dan telah membuat-buat kedustaan, dan kalaulah apabila dimaksudkan dengan pernyataan tersebut untuk menghina Negara Saudi Arabia maka di khawatirkan akan terjatuh kedalam kehinaan.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Kalau seandainya celaan itu muncul dari musuh-musuh Islam yang berusaha untuk menghancurkan negeri yang sekarang menjadi benteng Islam, maka itu dianggap ringan dan tidak aneh. Tetapi apabila muncul dari orang-orang yang mengaku muslim yang tertipu dengan kemajuan teknologi negeri-negeri kafir sehingga mereka tertipu dengan akhlak yang mengeluarkan mereka dari keutamaan menuju kehinaan, keadaan mereka ini sebagaimana dinyatakan oleh Al-Imam Ibnu Qayyim –rahimahullah- di dalam Nuniyah-nya:
Mereka lari dari kebebasan tujuan hidup mereka
Menuju kebebasan mengikuti hawa nafsu dan syaithan.
Mereka menyangka negeri-negeri kafir itu maju disebabkan kebebasan ini.
Semua itu tidak lain karena kejahilan mereka terhadap syari’at Islam dan keindahan-keindahan yang terkandung di dalamnya.
Kita memohon kepada Allah agar memberikan hidayah kepada kita dan mereka semua menuju kebaikan dunia dan akhirat.” (Fiqh Nawazil: 3/369).
Dan apabila ada lagi yang memiliki anggapan bahwa syari’at untuk menjauhi ikhtilath itu khusus hanya untuk Negara Saudi Arabia maka semakin jelas ini adalah anggapan yang benar-benar salah, karena syari’at Islam itu berlaku untuk semua umat.
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin –rahimahullah- berkata: “Al-Qur’an Karim adalah sumber syari’at Islam yang Nabi –shallallahu ‘alaihi wa sallam- diutus dengannya kepada manusia seluruhnya, Allah –‘azza wa jalla- berfirman: “Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (Al-Furqan: 1).
(“Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang benderang dengan izin Rabb mereka, (yaitu) menuju jalan Rabb Yang Maha Terpuji. Allah yang memiliki segala apa yang di langit dan di bumi. Dan celakalah bagi orang-orang yang kafir karena siksaan yang pedih.”
(Ibrāhīm: 1-2). (Ushūl fittafsīr, hal. 7).
Syari’at Islam walaupun diturunkan di Negara Saudi Arabia bukan berarti khusus untuk Negara Saudi Arab namun syari’at tersebut tujuannya mencakup pula untuk semua Negara selain Saudi Arabia, hal ini sesuai dengan qaidah tetap dalam Islam: “Letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shālih Al-Utsaimīn rahimahullah- berkata: “Jika turun ayat dengan sebab yang khusus dan lafazhnya umum, maka hukum yang mencakup sebab turunnya ayat tersebut dan mencakup pula semua perkara yang tercakup dalam makna lafazhnya. Karena Al-Quràn turun dengan syari’at yang umum mencakup semua umat, sehingga letak pelajaran adalah pada keumuman lafazh bukan pada kekhususan sebab.” (Ushūl fit Tafīr, hal. 13).
Maka siapa saja yang enggan dan tidak mau mengambil pelajaran dari syari’at Allah atau berpaling darinya maka hendaklah ia memperhatikan dan merenungi firman Allah ini:
“Dan bacakanlah kepada mereka orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami, kemudian dia berlepas diri dari ayat-ayat itu, lalu di ikuti oleh syaithan (sampai dia tergoda), maka jadilah dia termasuk orang-orang sesat. Dan kalau Kami menhendaki, sesungguhnya Kami tinggikan (derajat)nya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menurutkan hawa nafsunya yang rendah, maka perumpamaanya seperti anjing jika kamu menghalaunya diulurkan lidahnya dan jika kamu biarkan dia mengulurkan lidahnya (juga). Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami. Maka ceritakanlah (kepada mereka) kisah-kisah itu agar mereka berfikir. Amat buruklah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan kepada diri sendirilah mereka berbuat zhalim.” (Al-A’rāf: 175-176).
Semoga Allah senantiasa melimpahkan taufiq dan inayah-Nya kepada kita, sehingga kita mampu menapaki jalan kebenaran dan menjauhkan diri dari setiap larangan-Nya.
Wallahu A’lam bish Shawab.
Sumber:
- Ikhtilath, Dosa yang dianggap Biasa, Rubrik Islamika hal 25-27, Majalah Elfata volume 06 tahun 2006, url: http://one.indoskripsi.com/artikel-skripsi-tentang/ikhtilath-dosa-yang-dianggap-biasa
- Ikhtilath, Wabah yang Mengerikan Oleh Al-akh Abul Abbas Khidhr Al-Limbury, url:http://almuslimah.wordpress.com/2008/04/15/ikhtilath-wabah-yang-mengerikan/
- Syubhat Seputar ikhtilath Oleh Al-Akh Abul Abbas Khidhr Al-Limbury, url: http://www.darussalaf.or.id/stories.php?id=860
Rabu, 19 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar