Jumat, 24 Juli 2009

AL-QURAN & MODERNISASI

Titik simpul pertautan Alquran dengan modernisasi terletak pada penggunaan akal pikiran manusia. Baik Alquran maupun modernisasi sangat mengagungkan akal pemikiran atau dimensi rasionalitas.

Perbedaannya, kalau modernisasi mengagungkan akal pikiran secara absolut sedangkan dalam Alquran akal pikiran itu memperoleh bimbingan wahyu.

Modernisasi adalah sebuah era tercapainya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang sangat penting untuk diapresiasi oleh seluaruh umat manusia, khususnya umat Islam. Dalam modernisasi, yang sangat penting adalah bagaimana melakukan transformasi ilmu pengetahuan modern guna menalar Alquran secara historis. Dengan lain perkataan, memahami Alquran secara historis, korelasinya dengan perubahan sosial kehidupan yang sangat cepat di era globalisasi dan modernitas dewasa ini memiliki signifikansi yang sangat penting.

Dimensi historis ini tidak bisa diabaikan. Tujuannya agar manusia, khususnya umat Islam, tidak terjebak pada kongklusi-kongklusi parsial dan apologi-apologi. Alquaran memiliki karakteristik yang sangat khas dan berbeda dibandingkan dengan dokumen lain yang merupakan hasil kreasi umat manusia. Pendek kata, Alquran memiliki dimensi historis, ruang, dan waktu yang berbeda. Oleh karena itu, bacaan kita terhadap Alquran membutuhkan pengetahuan yang bersifat interdispliner. Apalagi, kalau kita berupaya untuk menghubungkan atau mencari korelasi antara Alquran dan modernisasi. Tidaklah mudah mencari pertautan antara keduanya.

Secara epistemologis, Alquran merupakan kalam Ilahi yang diturunkan kepada Nabi Muhammad melalui Malaikat Jibril. Salah satu fungsinya sebagai petunjuk bagi umat manusia, hudan li al-Nas dan orang-orang yang bertakwa (QS Al-Baqarah/2: 1-2, 185), terutama untuk mengetahui dan membedakan antara yang baik dan yang buruk. Oleh karena itu, sebagai petunjuk dan secara ontologis Alquran hanya bersifat global. Konsekuensi logisnya, jika ada persoalan kehidupan yang penjelasannya tidak ditemukan di dalam Alquran maka tugas manusia itu sendiri untuk mencari jawabannya. Dengan lain perkataan, Alquran hanya memberi landasan-landasan moral atau petunjuk yang bersifat global.

Secara historis Alquran turun untuk merespons berbagai problematika sosial kehidupan yang terjadi di dalam masyarakat Arab saat itu, memberi jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau memberi ketetapan hukum sebagai doktrin teologis yang harus ditaati. Sementara proses turunnya, sebagaimana dalam riwayat Ibnu Abbas yang dikutip Al-Sayuti dalam Al-Itqan fi Ulum Al-Quran, melalui dua tahapan: turun secara serentak di lauh al-mahfudz menuju langit bumi dan secara bertahap selama kurang lebih 23 tahun.

Di antara hikmah turunnya Alquran secara bertahap ini agar materi hukum Tuhan itu dapat diterapkan secara evolutif sesuai dengan kondisi objektif sosio-kultural masyarakat. Pada sisi yang lain, secara teknis materi Alquran akan lebih mudah dipahami, dihafalkan, maupun proses penerapan hukum-hukumnya akan lebih mudah untuk diterima. Inilah argumen logis bahwa Tuhan, dalam konsep Islam, tidak menghendaki sesuatu yang menyulitkan kehidupan umat manusia (QS Al-Baqarah/2: 185).

Perlu dicatat bahwa mengubah perilaku atau tradisi sosial yang sudah mapan itu tidak mudah. Seperti untuk menghapus sistem perekonomian yang eksploitatif dengan sistem riba misalnya paling tidak dibutuhkan tiga ayat untuk menjelaskan, yaitu: QS Al-Nisa/4:160-161, QS Al-Imran/3: 130 dan QS Al-Rum/30:39). Demikian halnya dengan tradisi minuman keras. Untuk menghapus tradisi ini, Alquran melibatkan empat ayat, yaitu: QS Al-Nahl/16:67, QS Al-Nisa/4:43, QS Al-Baqarah/2:219 dan QS Al-Maidah/5:90-91). Artinya, meskipun Alquran tidak menjelaskan secara detail tentang sistem-sistem sosial kehidupan, seperti mekanisme politik, ekonomi, sosial budaya, dan lain sebagainya, tidak secara otomatis sistem-sistem sosial kemasyarakatan itu tidak ada di dalam Alquran. Justru inilah satu entry point penting Alquran yang memberi rangsangan berkembangnya kecerdasan intelektualitas atau terciptanya dinamika sosial kehidupan. Dengan terbatasnya ayat-ayat yang mengatur mekanisme sosial berarti Tuhan memberi peluang kepada akal pikiran manusia untuk mengatur dan menentukan model-model relasi sosial kehidupannya yang lebih luas sesuai dengan perkembangan sosio-kultural dan peradabannya.

Pendek kata, Alquran bukanlah dokumen yang sarat dengan detail-detail hukum sosial melainkan sebuah buku yang mengandung prinsip-prinsip dasar dan moralitas kemanusiaan universal. Penting penulis tegaskan bahwa semakin banyak hukum absolut yang mengatur pola kehidupan, maka ritme peradaban manusia akan menjadi sangat kaku dan statis. Stagnanasi peradaban ini sangat dimungkinkan apabila doktrin teologis menjadi sangat taken for granted.

Dalam perspektif ini, siapapun, sesungguhnya tidak bisa mengklaim bahwa Alquran merupakan sumber segalanya, apalagi mengatakan sarat dengan teori-teori sains (science theory). Menurut penelitian para ahli, ayat Alquran yang berbicara tentang sains hanya sekitar 150 ayat. Menurut pandangan ini, ayat-ayat tersebut secara paradigmatik tidak cukup untuk dijadikan dasar pemikiran bahwa Alquran merupakan kitab yang sarat dengan teori sains, apalagi teknologi modern yang di dalamnya sarat dengan detail-detail. Lebih tepat, jika dikatakan bahwa Alquran itu mengandung motivasi atau prinsip-prinsip moral yang bersifat normatif untuk melakukan aktivitas sains dan teknologi.

Pertautan Alquran dengan modernisasi
Titik simpul pertautan Alquran dengan modernisasi terletak pada penggunaan akal pikiran manusia. Baik Alquran maupun modernisasi sangat mengagungkan akal pemikiran atau dimensi rasionalitas. Perbedaannya, kalau modernisasi mengagungkan akal pikiran secara absolut sedangkan dalam Alquran akal pikiran itu memperoleh bimbingan wahyu.

Menurut Alex Inkeles (1986:90-93), manusia dapat dikategorikan sebagai modern, jika bersedia menerima dan terbuka terhadap pembaharuan atau perubahan, mampu bersikap demokratis dan bersedia menerima bentuk keragaman realitas sosial yang niscaya. Pandangan hidup masyarakat modern senantiasa difokuskan pada masa kini dan masa depan, memiliki perencanaan hidup, menjunjung tinggi kemampuan manusia, dapat memperhitungkan waktu bahwa proses kehidupan ini ditentukan bukan karena nasib.

Di samping itu, orang atau masyarakat modern memiliki harga diri dan bersedia untuk menghargai orang lain, percaya terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi, serta memiliki prinsip keadilan. Kategorisasi manusia modern dalam pandangan Alex ini tanpa menafikan pandangan yang lain sejatinya memiliki kesesuaian dengan prinsip-prinsip kehidupan yang terkandung di dalam Alquran.

Akan tetapi, umat Islam sendiri terkesan sangat lamban dalam merespons permasalahan-permasalahan kontemporer dan tidak jarang terjebak pada pemikiran-pemikiran simplistis yang bersifat apologi. Memang, persoalan umum yang terus dirasakan umat Islam, paling tidak di kalangan kaum intelektualnya adalah fenomena tidak singkronnya antara Islam sebagai doktrin dan prilaku umat dalam realitas sosialnya. Fenomena inilah yang melahirkan modernisme di dalam dunia Islam.

Islam modernis mencoba melihat kembali persoalan-persoalan yang dihadapi umat dan bersikap apresiatif terhadap kamajuan yang dicapai dunia Barat, seperti semangat untuk mengembangkan rasionalitas, kerja keras, cinta terhadap sains dan ilmu pengetahuan, dan lain sebagainya yang merupakan kata kunci kemajuan masyarakat Barat selama ini. Fazlur Rahman dalam Islam: Past Influence and Present Challenge (1979:315-125) mengkategorikan gerakan pemikiran Islam menjadi revivalisme awal, neo-revivalisme, modernisme klasik, dan neo-modernisme.

Pertanyaannya, mengapa umat Islam terkesan tidak akomodatif dan bahkan antipati terhadap pola hidup dan pemikiran-pemikiran Barat, tentu saja pemikiran positif yang tidak bertentangan dengan prinsip dasar Islam? Padahal, semangat inilah yang pernah mengantarkan kemajuan dunia Islam pada abad pertengahan, ketika masyarakat Barat masih terbelakang.

Namun demikian, kita harus tetap optimistis untuk masa yang akan datang karena kaum Islam modernis tampak semakin apresiatif terhadap perkembangan modernisasi dan masyarakat secara umum mulai banyak yang berpendidikan. Meminjam penjelasan Alex Inkeles (1986:91), semakin tinggi pendidikan seseorang, maka akan semakin terbuka lebar kemungkinan negaranya menjadi maju di masa depan. Pendidikan merupakan salah satu elemen faktor yang memberi angin segar bagi proses perubahan dan perkembangan menuju terciptanya masyarakat yang civilized.

Sumber : Prof. Dr. Nasaruddin Umar, MA, Guru Besar Ulumul Quran Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar