Sabtu, 25 Juli 2009

Meninggalkan Hawa Nafsu Menuju Allah SWT

oleh : Fikri Yatir

Abu Imran Al-Wasithi, salah seorang sufi besar pada abad 12 H, bercerita: Pada suatu hari, aku berada pada sebuah kapal di lautan. Tanpa diduga, kapal itu bocor. Tinggallah aku dengan istriku yang sedang hamil. Tiba-tiba ia melahirkan anak. Ia menginginkan air. Aku angkat kepalaku ke langit memohon kepada Allah agar diberikan air minum untuk istriku.

Lalu aku lihat ke langit ada seorang lelaki yang duduk di atas udara. Pada tangannya ada cawan air yang kemerah-merahan seperti disepuh emas. Ia berkata, 'Ambillah cawan air ini.' Aku keheranan. Bagaimana mungkin ia bisa berada di atas awan. (Dalam bahasa Arab, awan disebut hawa. Dan hawa mempunyai arti yang lain yaitu hawa nafsu.)

Aku bertanya kepadanya, 'Bagaimana kau bisa berada di atas hawa?' Ia menjawab, 'Taraktu hawaya fa ajlasani fil hawa. Aku sudah meninggalkan hawa nafsuku karena itu Tuhan memberikanku kedudukan di atas hawa.'

Seperti biasa, kisah-kisah sufi tidak bisa dicerna begitu saja. Kita harus merenung agak dalam. Di dalam perjalanan seorang sufi, dalam rangka mendekati Allah swt, tidak ada penghalang yang paling besar yang menutupi jalan menuju Tuhan, selain hawa nafsu.

Hawa nafsu artinya keinginan-keinginan diri. Nafsu diterjemahkan sebagai egoisme; kecenderungan kita untuk mencapai keinginan-keinginan diri. Keinginan untuk mencapai kenikmatan sensual, kesenangan jasmaniah, keinginan untuk makan dan minum, bersenang-senang, keinginan untuk diperhatikan, diistimewakan, dan dianggap sebagai orang yang paling penting, yang biasanya lazim kita sebut sebagai kepongahan atau arogansi itu, semuanya termasuk ke dalam hawa nafsu. Tuhan tidak bisa didekati apabila hawa kita masih berdiri sebagai gunung yang tegak. Seorang sufi hanya bisa mendekati Allah swt dengan menaklukkan hawa nafsu atau egoismenya itu.

Ketika Al-Quran AI-Karim bercerita tentang orang-orang yang meninggalkan rumahnya untuk berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, para sufi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan rumah itu adalah hawa nafsunya.

Para sufi menjelaskan apa yang disebut dengan hawa nafsu dengan menerangkan struktur kepribadian kita. Dalam setiap diri kita, kita selalu menemukan beberapa kekuatan yang mendorong kita untuk melakukan sesuatu. Psikologi Barat menyebutnya sebagai drive atau motive. Para sufi menyebutnya sebagai kekuatan-kekuatan hawa nafsu.

Paling tidak ada tiga kekuatan hawa nafsu di dalam diri kita. Pertama, disebut sebagai Quwwatun Bahimiyyah atau kekuatan kebinatangan. Dalam diri kita, terkandung unsur-unsur kebinatangan. Unsur inilah yang mendorong kita untuk mencari kepuasan lahiriah atau kenikmatan sensual.

Kekuatan yang kedua, disebut oleh para sufi sebagai Quwwatun Sab'iyyah atau kekuatan binatang buas. Jauh dalam diri kita, kita memiliki kekuatan binatang buas. Kita senang menyerang orang lain. kita suka memakan hak orang lain. kita ingin membenci, menyerang, menghancurkan, atau mendengki orang lain. Kita seperti tokoh di dalam cerita Dr. Jekyll and Mr. Hyde. Dalam diri kita ada satu kekuatan jahat untuk menyerang orang lain.

Kita juga mempunyai satu kekuatan lain dalam diri kita yang disebut para sufi sebagai Quwwatun Syaithaniyyah. Inilah kekuatan yang mendorong kita untuk membenarkan segala kejahatan yang kita lakukan. Kalau kita mengambil hak orang lain, setan membisikkan dalam hati kita agar kita tidak usah merasa bersalah sebab kita mengambil hak orang lain untuk dipergunakan membantu saudara-saudara kita. Kita boleh jadi korupsi sejumlah satu milyar rupiah dan kemudian kita redakan perasaan bersalah kita dengan memberikan infak satu juta rupiah. Setan akan berkata bahwa perbuatan korupsi yang kita lakukan tidak lain adalah untuk membantu kepentingan orang lain juga.

Ketiga kekuatan ini berasal dari hawa nafsu. Tetapi Tuhan juga menyimpan dalam diri kita, sebagai satu bagian penting dari kepribadian kita, satu kekuatan yang berasal dari percikan cahaya Tuhan. Inilah yang dinamakan dengan Quwwatun Rabbaniyah, kekuatan Tuhan. Kekuatan ini terletak pada akal sehat kita. Apabila keinginan untuk mengejar hawa nafsu itu yang menguasai diri kita, maka kita sebenarnya adalah binatang-binatang secara ruhaniah. Walaupun secara jasmaniah, kita menampakkan penampilan yang seperti manusia.

Apabila kita senang memelihara dendam, perasaan iri hati, kejengkelan, dan kemarahan dalam hati kita, kita adalah serigala-serigala yang buas. Apabila di dalam diri kita, yang berkuasa adalah kepandaian mencari dalih dan alasan untuk membenarkan kekeliruan-kekeliruan kita, secara hakikat kita sebetulnya adalah setan yang mempunyai penampilan sebagai manusia. Tetapi bila akal yang menundukkan ketiga-tiganya, kita akan dibimbing akal untuk menempuh perjalanan ruhani menempuh Allah swt. Tugas akal adalah mengendalikan seluruh hawa nafsu itu. dengan cara itulah, kita dapat mendekati Allah swt.

Marilah kita berusaha menaklukkan hawa nafsu kita dan meletakkan akal sehat di atas ketiga kekuatan yang berasal dari hawa nafsu itu. Hanya dengan itu kita akan berlayar menuju Allah swt, menghampiri-Nya, dan melepaskan kerinduan kita kepada-Nya.

Jakarta, 24 Juli 2009

Semoga Bermanfaat

Wassalamualikum wr.wb
Imam Puji Hartono (IPH)

1 komentar:

  1. syukron Katsir ya akhi . . .
    Smoga kita slalu di beri kekuatan untuk melawan hawa nafsu kita, dan dapat mendudukinya untuk menjadi sufi yang sejati . . .
    aminnn . . . .

    BalasHapus