...Setelah beberapa tahun, salah satu tarekat sufi kian menyusut. Yang tersisa hanyalah seorang syekh dan tiga orang darwisnya. Mereka tinggal di pondokan tarekat tersebut, menghabiskan waktu mereka untuk berdoa, merenung dan mengelola tanah perkebunan mereka. Keempat pria tersebut beranjak tua, mereka menjadi cemas bahwa tradisi mereka yang berharga ini akan lenyap bersama mereka.
Salah seorang darwis menyarankan agar sang syekh mengunjungi seorang rahib Yahudi setempat yang juga dikenal sebagai sosok yang amat bijaksana. “Ia juga seorang guru spiritual,” jelas sang darwis, “dan saya yakin, ia juga pernah dihadapkan kepada persoalan yang serupa.” Sang Syekh kemudian mengunjungi rahib tersebut. Sambil minum teh bersama, ia menceritakan persoalannya kepada sang rahib. Sang Rahib tersenyum dan berkata, “Aku pun memiliki permasalahan serupa. Saya sungguh tidak tahu bagaimana menarik generasi muda dari komunitas saya sendiri. Namun aku dapat memberitahu anda satu hal: Dalam suatu perenunganku, ditampakkan padaku bahwa salah satu dari kalian adalah quthb zaman.”
Dalam tasawuf, quthb yang secara literal berarti “tiang”, adalah pemimpin spiritual manusia yang tersembunyi. Akan selalu ada seorang quthb pada setiap zaman. Identitasnya hanya diketahui oleh segelintir orang suci saja. Sang Quthb menyalurkan cahaya dan kearifan dari surga ke dunia. Tanpa seorang quthb, dunia akan secara perlahan menjadi gelap dan akan hampa secara spiritual.
Sang Syekh kembali kepada darwisnya dan menceritakan kepada mereka apa yang disampaikan oleh rahib itu. Ketiganya langsung menyimpulkan bahwa pastilah sang syekhlah quthb itu. Namun kemudian mereka merenungkan, membayangkan jika sang quthb itu adalah Mehmet. Ia menjadi imam dalam sholat mereka setiap hari, dan telah hafal keseluruhan Al Quran. Atau, bisa saja quthb tersebut adalah Ahmad. Ia muadzin, dan memiliki suara yang merdu, yang selalu menjadi inspirasi bagi setiap pendengarnya. Atau, quthb tersebut mungkin juga Dawud. Ia pendiam dan bersahaja, ia selalu ada ketika orang membutuhkan pertolongan.
Kelompok kecil syekh dan darwis tersebut kemudian mulai memperlakukan satu sama lain seolah-olah tiap-tiap mereka adalah sang quthb. Cinta dan penghormatan di antara mereka menjadi semakin mendalam. Kenikmatan yang mereka rasakan sebagai sebuah kelompok kian meningkat.
Pondokan sufi tersebut terletak di atas lahan yang indah. Orang-orang banyak yang berdatangan kesana untuk sekedar berpiknik. Tak lama, suasana baru dari kelompok tersebut mulai menarik perhatian para pengunjung.
Sebagian dari mereka kemudian tinggal untuk ikut serta dalam sholat, atau dalam dzikir. Akhirnya beberapa anak muda mulai bertanya mengenai kemungkinan mereka untuk bergabung menjadi darwis.
Sumber: Psikologi Sufi untuk transformasi: Hati, Diri & Jiwa oleh Robert Frager PhD.,
Rabu, 05 Agustus 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar