Dalam Al Qur’an, Allah SWT berfirman :”Dan diantara mereka ada orang yang telah berjanji kepada Allah: "Sesungguhnya jika Allah memberikan sebahagian karunia-Nya kepada kami, pastilah kami akan bersedekah dan pastilah kami termasuk orang-orang yang saleh. Maka setelah Allah memberikan kepada mereka sebahagian dari karunia-Nya, mereka kikir dengan karunia itu, dan berpaling, dan mereka memanglah orang-orang yang selalu membelakangi (kebenaran). Maka Allah menimbulkan kemunafikan pada hati mereka sampai kepada waktu mereka menemui Allah, karena mereka telah memungkiri terhadap Allah apa yang telah mereka ikrarkan kepada-Nya dan juga karena mereka selalu berdusta” (Q.S 9 -At Taubah 75-77)
Ketika Nabi Muhammad SAW membangun masjid di Madinah, beliau menyediakan tempat terbuka di ujungnya. Tempat itu diberi naungan dan disebut ‘Shuffah’. Di situlah tinggal para sahabat Nabi yang miskin atau pendatang jauh yang tak punya sanak saudara. Mereka hidup sangat sederhana dan seringkali menderita lapar. Malam-malam terkadang Nabi mengundang sebagian mereka untuk makan malam bersama Beliau dan sebagian yang lain dijamu bersama sahabat Nabi yang lain.
Ketika Husein lahir, Nabi SAW menyuruh Fatimah r a bersedekah senilai perak yang beratnya seberat rambutnya. Sedekah itu diminta Nabi untuk diserahkan kepara Ahli Shuffah dan orang miskin. Sekali-sekali Nabi SAW menyuruh sahabatnya yang lain mengirimkan makanan kepada penghuni Shuffah. Dengan segala kemiskinannya, Ahli Shuffah terbukti menjadi sahabat-sahabat pilihan Nabi Muhammad SAW. Merekalah yang paling rajin menghadiri majelis-majelis Nabi SAW. Siang hari mereka berpuasa, malam hari mereka rukuk dan sujud. Waktu-waktu luangnya mereka gunakan untuk berdzikir. Ketika perang berkecamuk, merekalah yang paling dahulu dibawa Nabi ke medan pertempuran.
Di “pesantren” Shuffah inilah keluar Hanzhalah bin Abi ‘Amir yang jasadnya dimandikan para malaikat; Salman Al Farisi, pengembara pencari kebenaran yang dianugrahi ilmu awwalin dan akhirin; Abdullah bin Mas’ud yang mendapat gelar pembaca Al-Qur’an pertama kepada orang kafir setelah Nabi; Al Bara bin Malik yang rambutnya tertutup debu karena lamanya beribadat di dalam masjid; Haritsah bin Nu’man yang suara bacaan Al Qur’annya di surga kedengaran oleh Nabi dalam mimpinya; dll sahabat Nabi SAW.
Kepada merekalah pada suatu hari Nabi Muhammad SAW datang berkunjung. Setelah mengucapkan salam, dengan ramah Nabi SAW menyapa mereka, “Apa kabar kalian pagi ini?”
Serentak mereka menjawab,”Baik ya Rasulullah”.
“Hari ini kalian ada dalam keadaan baik. Bayangkan apa yang terjadi pada kalian jika pada pagi hari kalian makan dalam satu wadah dan sore harinya pada wadah yang lain. Kalian menutup rumah kalian seperti mentutup Ka’bah?”
“Ya Rasulullah, apakah dalam keadaan yang demikian kami masih tetap dalam agama kami?”
“Benar.”
“Kalau begitu, hari itu kami lebih baik dari hari ini. Kami dapat bersedekah dan membebaskan budak.”
“Tidak, hari ini lebih baik bagi kalian dari hari itu. Nanti kalian akan saling mendengki, saling menjauhi, dan saling membenci.”
Para ahli tafsir mengatakan bahwa berkenaan dengan Ahli Shuffah ini turunlah ayat: “Dan jikalau Allah melapangkan rezki kepada hamba-hamba-Nya tentulah mereka akan melampaui batas di muka bumi, tetapi Allah menurunkan apa yang dikehendaki-Nya dengan ukuran. Sesungguhnya Dia Maha Mengetahui (keadaan) hamba-hamba-Nya lagi Maha Melihat.” (Q.S. 42- Asy-Syuura ayat 27)
Dari zaman ke zaman selalu ada di antara manusia orang-orang seperti Ahli Shuffah. Allah SWT menyempitkan rezeki-Nya, tetapi memberinya peluang yang banyak untuk berkhidmat kepada Islam dan kaum muslimin. Dalam keadaan miskin mereka menjadi hamba-hamba Allah SWT yang taat.
Termasuk kebijaksanaan Allah SWT untuk membuat mereka kekurangan. Sebagaimana badai utara telah memperkuat bangsa Viking, seperti itulah penderitaan mengasah rohani hamba-hamba Allah. Dengan ayat itu Allah SWT dan Rasul-Nya menghibur Ahli Shuffah untuk mensyukuri kekurangan mereka. Justru kalau mereka kaya, mereka mengalami degradasi secara spiritual.
Walaupun turun berkenaan dengan Ahli Shuffah, ayat tersebut di atas pastilah menyentuh hati kita semua. Bukankah ketika kita miskin, kita lebih rajin shalat berjamaah di masjid?
Bukankah ketika jabatan kita tidak setinggi sekarang, kita memiliki banyak waktu untuk berkencan dengan keluarga dan berkhidmat dengan umat?
Bukankah ketika bisnis kita belum semaju sekarang, kita sering bersilaturahmi dengan sanak keluarga dan tetangga?
Bukankah setelah Perusahaan kita memperoleh untung besar atau organisasi dan yayasan kita memperoleh dana besar, kita bertengkar, jadi saling menjegal dan memfitnah?
Di sekitar kita, sering kita melihat orang-orang yang “korup” karena motivasi kekayaan. Banyak orang shaleh pada masa kesempitan berubah menjadi orang salah pada masa punya kesempatan.
Ketika rezekinya banyak mereka tidak punya waktu untuk beribadat, tidak jarang bahkan mereka melakukan maksiat. Ketika menjadi aktivis kampus, ia tidur di masjid Kampus karena tidak sanggup menyewa rumah atau indekost. Di masjid itulah sebagian besar malamnya dihabiskan dalam dzikir dan shalat Tahajjud. Setelah menjadi Direktur perusahaan BUMN atau Pejabat Tinggi, ia malah lebih sering berkunjung ke tempat-tempat hiburan dan menghabiskan sebagian malamnya di situ dengan orang yang bukan muhrimnya..
Ketika menjadi aktivis kampus yang selalu kekurangan uang, ia terkenal “vokal” mengkritik kebijaksanaan pemerintah yang menindas rakyat. Beberapa waktu kemudian setelah ia menduduki Posisi yang basah di Pemerintahan, ia bungkam seribu bahasa.
Atau sebagian dari kita barangkali, yang ketika dalam kekurangan dan dikejar-kejar oleh para penagih utang, senantiasa rajin shalat malam, rajin puasa sunnah dan rajin berzikir, tapi setelah mendapat proyek atau kelebihan rezeki justru meninggalkan puasa sunnah, tahajjud, sedekah atau zikir. Lebih sial lagi meninggalkan Allah dan bermaksiat kepada-Nya.
Pepatah Belanda mengatakan “Gelt dat storm is maakt recht wat krom is”. Artinya kurang lebih “Uang yang bisu dapat meluruskan yang bengkok. Uang yang bengkok juga telah membuat orang lurus menjadi bisu.”
Ketika sahabat Nabi yang terkenal dan sweing dikisahkan kemudian, yaitu Tsalabah, yang dikala miskin selalu shalat tepat waktu dan berjama’ah di masjid, serta selalu hadir dalam majelis Nabi . Karena ingin kaya, ia memohon do’a kepada Nabi SAW agar dikaruniai rezeki yang banyak, Nabi SAW bersabda, “Harta sedikit yang dapat engkau syukuri lebih baik dari harta banyak yang tidak sanggup engkau syukuri.”
Tsalabah mendesak dan akhirnya Nabi Muhammad SAW mendo’akannya. Allah SWT mengabulkan do’a Nabi. Singkat cerita Tsalabah menjadi orang yang kaya raya. Makin bertambah kekayaannya, makin jauh ia dari masjid, makin jarang shalat berjama’ah atau hadir di majelis Nabi SAW, makin bakhil (pelit) dan makin jarang bersilaturahmi dengan saudara-saudaranya kaum mukmin.
Tiga ayat dalam Surat At Taubah ayat 75-77 sebagaimana disebutkan di atas, turun memberikan peringatan kepadanya. Keluarganya menangis karena tahu ayat itu diturunkan kepadanya. Tsalabah tidak menghiraukan peringatan Allah SWT dan RasulNYA. Akhirnya seperti banyak dikisahkan, ia mati tragis dalam kemunafikan dan kebakhilan.
Sahabat, apabila hari ini anda dalam kondisi serba kekurangan, berdo’alah kepada Allah SWT supaya digabungkan dengan ‘Ahli Shuffah’. Sebaliknya apabila anda kaya raya, maka berhati-hatilah dengan “sindrom Tsalabah.”, yaitu sindrom bagi orang-orang yang makin bertambah kekayaannya, makin tinggi pangkat dan jabatannya malah semakin jauh dari masjid, makin jarang shalat berjama’ah atau hadir di majelis Nabi SAW, makin bakhil dan tidak mau bersedekah serta makin jarang bersilaturahmidengan saudara-saudaranya kaum mukmin.
Naudzubillah, jangan sampai kita terkena sindrom Tsalabah tersebut. Bagaimana menghindarinya?, Senantiasa berbuat baiklah kepada Allah dan kepada manusia. Sebagaimana firman Allah SWT dalam surat an Nisaa’ ayat 36 – 37 :” Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada dua orang ibu-bapa, karib-kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, dan teman sejawat, ibnu sabil dan hamba sahayamu. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong dan membangga-banggakan diri, (yaitu) orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir, dan menyembunyikan karunia Allah yang telah diberikan-Nya kepada mereka. Dan Kami telah menyediakan untuk orang-orang kafirsiksa yang menghinakan.”
Al Qur’an juga memperingatkan agar kita senantiasa berbuat baik, sebagaimana Firman Allah SWT berikut :”……. dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi.”. (Q,S, 28. Al Qashash
: 77)
Juga senantiasa berprasangka baiklah anda kepada Allah dan perbanyak zikir dan mengingat Allah dalam situasi dan kondisi apapun, baik di kala kita senang maupun susah, sebagaimana dalam hadis kudsi Allah SWT berfirman: “Aku sesuai prasangka hambaKu terhadapKu. Aku bersamanya manakala ia mengingatKu. Jika ia mengingatKu dalam dirinya, Aku pun mengingatnya dalam diriKu. Jika ia mengingatKu dalam suatu kumpulan, Aku pun mengingatnya dalam kumpulan yang lebih mulia. Jika ia mendekat kepadaKu sejengkal, Aku mendekat kepadanya sehasta. Jika ia mendekat kepadaKu sehasta, Aku mendekat kepadanya sedepa. Jika ia mendatangiKu dengan berjalan, Aku mendatanginya dengan berjalan cepat.” (HR. Bukhari Muslim).
Rasulullah SAW telah banyak mengajarkan kepada kita agar kita terhindar dan tidak terkena sindrom Tsalabah.
Allahumma shali ala Muhammad wa ala ali Muhammad.
Dikutip tanpa izin dari tulisan Fikri Yathir dengan sedikit tambahan
Lebak Bulus, 12 Juli 2009, jam 22.00
Semoga bermanfaat.
Wassalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono (IPH)
Jumat, 24 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar