Jumat, 24 Juli 2009

Kisah dari Rumi : Air Mata Awan

Pada suatu hari, serombongan orang kafir bertamu kepada Rasulullah SAW. Nabi SAW membagikan para tamu itu kepada para sahabatnya. Semuanya sudah dibawa sahabat ke rumah-rumah mereka, kecuali seorang. Ia tertinggal di mesjid. Tubuhnya luar biasa besar. Tampaknya tidak seorang pun sahabat yang mampu menjamu sang raksasa. Rasulullah SAW kemudian mengambil dia sebagai tamunya. Ia ditempatkan di sebuah rumah. Ia memakan habis makanan untuk porsi 18 orang. Ia minum habis semua susu yang diperah dari tujuh ekor kambing. Perutnya ternyata lebih besar dari tong kosong. Pelayan Nabi marah karena ia menelan semua makanan dengan rakus. Ia meninggalkan rumah itu dan mengunci pintunya dari luar.

Di tengah malam, sang raksasa terdesak untuk buang hajat. Perutnya sakit. Ia bermaksud keluar, tapi menemukan pintu terkunci. Dengan berbagai cara, ia berusaha membuka pintu. Setelah berulang-ulang gagal, ia merayap ke tempat tidurnya. Pada waktu itu, "desakan alam" tidak dapat ditahan lagi. Ia mengeluarkan kotoran di rumah. Berbagai perasaan berkecamuk di hatinya: malu, terhina, bingung, takut. Sepanjang sisa malam itu, ia memasang kupingnya, berharap mendengar pintu dibuka seseorang. Menjelang subuh, ia mendengar pintu terbuka. Ia segera meloncat ke luar. Ia ingin melarikan diri dari semua derita dan rasa malunya. Ia tidak tahu bahwa yang membuka pintu itu adalah Nabi al-Musthafa. Setelah membuka pintu, Nabi Muhammad SAWsengaja menyembunyikan dirinya, agar orang itu tidak malu dengan apa yang dilakukan di rumahnya.

Di pagi hari, seorang sahabat mengantarkan tikar yang pernah ditiduri orang kafir itu. "Lihat, ya Rasul Allah, apa yang telah diperbuat tamu itu." Nabi SAW mengambil tikar itu sambil tersenyum dengan senyuman rahmatan lil'alamin. "Ambilkan air. Biar kotoran ini aku bersihkan," ujar Nabi. Para sahabat meloncat, "Demi Allah, jangan. Biarlah tubuh dan jiwa kami menjadi tebusanmu, ya Rasul Allah. Wahai yang disapa Tuhan dengan La-Amruk (Al-Qur'an 15: 72). Kami sepatutnya berkhidmat kepadamu. Kalau engkau yang melakukan perkhidmatan, apa jadinya kami."

"Saya tahu," ujar Nabi. "Tapi ini peristiwa luar biasa. Aku punya alasan mengapa aku harus melakukannya." Beberapa saat kemudian, orang kafir itu sadar bahwa ia kehilangan azimatnya. Ia menduga azimat itu tertinggal di rumah Nabi. Meski rasa malunya besar, ketakutan kehilangan barang berharganya lebih besar lagi. Dengan jantung bergetar, ia menelusuri jalan kembali. Dan di situ, ia menyaksikan pemandangan yang meluluhlantakkan hatinya:

Tangan sang kekasih Tuhan terlihat sedang membersihkan kotoran yang dibuangnya. Ia menjerit pilu. Ia memukul kepalanya sambil berkata,

"Duhai kepala yang tidak punya pengertian." Ia memukul dadanya dan berkata,

"Duhai dada yang tidak memperoleh cahaya."

Ia mengangkat kepalanya ke langit, tapi mengalamatkan ucapannya kepada Nabi, "Wahai, yang karenanya diciptakan seluruh alam semesta. Engkau begitu rendah hati mematuhi perintah Tuhan. Aku tidak punya muka lagi untuk melihatmu, duhai kekasih Tuhan!"

Tak henti-hentinya ia meraung, menjerit, dan gemetar. Tangan agung yang tadi membersihkan kotoran itu menepuk-nepuk tubuhnya, menenteramkan hatinya, dan membukakan matanya.

Kisah yang sangat sarat lambang ini diceritakan Jalaluddin Rumi dalam Mastnawi -nya. Setelah itu Rumi menjelaskan kepada kita makna kisah ini dengan kuplet-kuplet berikutnya: Sebelum awan menangis, mana mungkin taman bisa tersenyum. Sampai bayi menangis, mana mungkin air susu mulai mengalir. Bayi satu tahun saja tahu: aku akan menangis, supaya perawat yang baik datang.

Tidakkah engkau tahu bahwa Sang Perawat dari segala perawat tidak akan memberikan susu dengan gratis, tanpa tangisan.seperti kita kehendaki .

Kitasering emosi dan marah karena jalanan macet, kereta terlambat masuk kantor, laporan pekerjaan kita terlambat atau bila pesawat yang akan membawa kita ditangguhkan jam penerbangannya. Kita sering jengkel karena anak kita tidak Juara 1 di sekolahnya, mitra kerja kita ternyata tidak setia, anak buah kita tidak bekerja dengan baik, orang yang kita percayai berkhianat, orang yang kita andalkan ternyata tidak memenuhi janjinya.

Derita seperti ini tidak pernah memberikan waktu istirahat untuk jiwa kita. Kita disibukkan terus-menerus untuk mengatasinya. Tenaga kita dikuras habis. Tubuh kita penuh peluh, pakaian kita kotor. Tapi kita tidak punya waktu membersihkan diri. Kita menjadi budak-budak tidak berdaya dari keinginan-keinginan kita. Perut kita menjadi tong besar, yang melalap habis makanan belasan orang. Seperti sang raksasa dalam cerita Rumi, kita tidak menemui jalan keluar dari penderitaan itu.

Kita berharap ada tangan Rasul yang membukakan jalan keluar dari masalah kita. Nabi Muhammad SAW diutus untuk memberikan jalan keluar itu. Setelah mengambil jalan keluar yang dibukakan Nabi, kita akan segera diantarkan pada penderitaan yang kedua. Para sufi menyebutnya penderitaan karena perpisahan kita dengan kehidupan lama. Anda harus melepaskan kehidupan Anda yang lama dan menggantinya dengan kehidupan yang baru. Buanglah segala keinginan agar semuanya terjadi seperti yang Anda kehendaki.

Anda harus membenturkan kepala Anda yang tidak punya pengertian. Anda harus memukul-mukul dada Anda yang tidak punya kesadaran dan perasaan yang tidak peka. Tapi, derita Anda kali akan dapat mengantarkan Anda ke dalam pelukan kasih Allah SWT. Dalam derita ini, Anda akan merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Seperti seorang ibu yang baru melahirkan anak yang diinginkannya, Anda juga merasakan sakit tapi juga kebahagiaan karena melahirkan kehidupan yang baru. Inilah tangisan awan yang membuat taman-taman tersenyum. Inilah tangisan keras sang bayi yang mengundang air susu ibu yang diinginkannya.

Allah SWT berfirman:"Maka sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan dan sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (Al-Insyirah 5-6).

Dalam kisah di atas dapat dianalogikan bahwa sesungguhnya bersama kepedihan itu ada kebahagiaan. Dan sesungguhnya bersama kepedihan itu ada kebahagiaan. Wallahualam bissawab.

Fikri Yathir

Tidak ada komentar:

Posting Komentar