Dikisahkan pada suatu hari, Hasan Al-Basri pergi mengunjungi Habib Ajmi, seorang sufi besar lain yang terkenal waktu itu. Pada saat tiba waktu Shalat, Imam Hasan Al Basri meminta agar Habib Ajmi menjadi Imam Shalat dan ia menjadi makmumnya. Imam Hasan Basri terkejut dan tidak menyangka mendengar Haib Ajmi banyak melafalkan bacaan shalatnya dengan keliru. Ia tidak habis pikir, bagaimana mungkin sufi besar seperti Habib Ajmi membaca ayat-ayat Al Qur'annya banyak yang keliru tajwidnya. Oleh karena itu, Hasan Basri memutuskan untuk tidak lagi shalat berjamaah dengannya. Ia menganggap kurang pantaslah bagi dirinya untuk salat bersama orang yang tidak mengucapkan bacaan shalat dengan benar. Selanjutnya ia memutuskan untuk shalat munfarid (sendirian)
Di malam harinya, Hasan Al-Basri bermimpi. Ia mendengar Tuhan berbicara kepadanya, “Hasan, jika saja engkau berdiri di belakang Habib Ajmi dan menunaikan salatmu, niscaya kamu akan memperoleh keridaan-Ku, dan shalat kamu itu akan memberimu manfaat yang jauh lebih besar daripada seluruh salat dalam hidupmu. Kamu mencoba mencari kesalahan dalam bacaan shalatnya, tapi kamu tidak melihat keikhlasan, kemurnian dan kesucian hatinya. Ketahuilah, Aku lebih menyukai hati yang tulus daripada pengucapan tajwid yang sempurna".
Sahabat, dari kisah pendek tersebut banyak hikmah yang kita dapatkan. Selama ini kita sering melihat orang dari apa yang terlihat secara fisik, karena memang urusan hati kita tidak tahu. Memberikan hati yang bersih, tidak menyimpan prasangka yang jelek terhadap kaum Muslim kelihatannya sederhana tetapi justru amal itulah yang seringkali sulit kita lakukan. Mungkin kita mampu berdiri di malam hari, sujud dan rukuk di hadapan Allah SWT, akan tetapi amat sulit bagi kita menghilangkan kedengkian kepada sesama kaum Muslim, hanya karena kita duga pahamnya berbeda dengan kita. Hanya karena kita pikir bahwa dia berasal dari golongan yang berbeda dengan kita. Atau hanya karena dia memperoleh kelebihan yang diberikan Allah, dan kelebihan itu tidak kita miliki. "Inilah justru yang tidak mampu kita lakukan, " kata Abdullah bin Amr (Hayat Al-Shahabah, II, 520-521).
Pada halaman yang sama, Al-Kandahlawi menceritakan suatu hadis tentang sahabat Nabi yang bernama Abu Dujanah. Ketika Abu Dujanah sakit keras, sahabat yang lain berkunjung kepadanya.
Tetapi menakjubkan, walaupun wajahnya pucat pasi, Abu Dujanah tetap memancarkan cahayanya, bahkan pada akhir hayatnya. Kemudian sahabatnya bertanya kepadanya, "Apa yang menyebabkan wajah Anda bersinar?" Abu Dujanah menjawab, "Ada amal yang tidak pernah kutinggalkan dalam hidup ini. Pertama, aku tidak pernah berbicara tentang sesuatu yang tidak ada manfaatnya. Kedua, aku selalu mengahadapi sesama kaum Muslim dengan hati yang bersih, yang oleh Al-Quran disebut qalbun salim".
Al-Quran menyebut kata qalbun salim ini ketika Allah SWT. berfirman tentang suatu hari di hari kiamat, ketika tidak ada orang yang selamat dengan harta dan kekayaannya kecuali yang membawa hati yang bersih. Pada hari itu tidak ada manfaatnya di hadapan Allah SWT, harta dan anak-anak kecuali orang yang datang dengan hati yang bersih (QS 26:88-89).
Dari kisah di atas kita juga belajar bahwa untuk dapat mendekati Allah SWT, tidak diperlukan kecerdasan yang tinggi atau ilmu yang sangat mendalam, bacaan tajwid dan makhraj yang bagus. Salah satu cara utama untuk mendekati Tuhan adalah hati yang bersih dan tulus. Tidak jarang pengetahuan kita tentang syariat membutakan hati kita dari Tuhan. Tidak jarang ilmu yang tinggi menjadi hijab yang menghalangi kita dengan Allah SWT.
Kita akhiri kisah ini dengan sabda Nabi SAW, "Innallâha lâ yanzhuru illâ shuwarikum walakinallâha yanzhuru illâ qulûbikum. Ketahuilah, sesungguhnya Tuhan tidak memperhatikan bentuk-bentuk luar kamu. Yang Tuhan perhatikan adalah hati kamu." Wallahualam bissawab
Lebak Bulus, 20 Juli 2009 pk.19.35 WIB
Mahabenar Allah, yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana - Semoga bermanfaat
Billahit taufiq wal hidayah
Wassalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono (IPH)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar