by : KH. Jalaluddin Rakhmat
Suatu malam, menjelang waktu subuh, Rasulullah saw bermaksud untuk wudhu. "Apakah ada air untuk wudhu?" beliau bertanya kepada para sahabatnya. Ternyata tak ada seorang pun yang memiliki air. Yang ada hanyalah kantong kulit yang dibawahnya masih tersisa tetesan-tetesan air. Kantong itu pun dibawa ke hadapan Rasulullah. Beliau lalu memasukkan jari jemarinya yang mulia ke dalam kantong itu. Ketika Rasulullah mengeluarkan tangannya, terpancarlah dengan deras air dari sela-sela jarinya. Para sahabat lalu segera berwudhu dengan air suci itu. Abdullah bin Mas'ud bahkan meminum air itu.
Usai salat subuh, Rasulullah duduk menghadapi para sahabatnya. Beliau bertanya, "Tahukah kalian, siapa yang paling menakjubkan imannya?"
Para sahabat menjawab, "Para malaikat."
"Bagaimana para malaikat tidak beriman," ucap Rasulullah, "mereka adalah pelaksana-pelaksana perintah Allah. Pekerjaan mereka adalah melaksanakan amanah-Nya." "Kalau begitu, para Nabi, ya Rasulallah," berkata para sahabat. "Bagaimana para nabi tidak beriman; mereka menerima wahyu dari Allah," jawab Rasulullah. "Kalau begitu, kami; para sahabatmu," kata para sahabat. "Bagaimana kalian tidak beriman; kalian baru saja menyaksikan apa yang kalian saksikan," Rasulullah merujuk kepada mukjizat yang baru saja terjadi.
"Lalu, siapa yang paling menakjubkan imannya itu, ya Rasulallah?" para sahabat bertanya. Rasulullah menjawab, "Mereka adalah kaum yang datang sesudahku. Mereka tidak pernah berjumpa denganku; tidak pernah melihatku. Tapi ketika mereka menemukan Al-Kitab terbuka di hadapan, mereka lalu mencintaiku dengan kecintaan yang luar biasa; sehingga sekiranya mereka harus mengorbankan seluruh hartanya agar bisa berjumpa denganku, mereka akan menjual seluruh hartanya."
Hadis di atas dimuat dalam Tafsir Al-Dûr Al-Mantsûr, karya mufasir Jalaluddin Al-Syuyuti. Mudah-mudahan kita semua termasuk dalam kelompok ini; mereka yang tidak pernah bertemu dengan Rasulullah tetapi mencintainya dengan sepenuh hati. Masih dalam kitab ini, diriwayatkan bahwa suatu saat Rasulullah saw bersabda, "Berbahagialah mereka, para saudaraku(ikhwâni)." Para sahabat bertanya, "Apakah yang kau maksud dengan ikhwâni itu adalah kami, ya Rasulallah?" "Tidak," jawab Rasulullah, "kalian adalah para sahabatku. Yang aku maksud dengan ikhwâni adalah mereka yang datang sesudahku."
Bayangkan, Rasulullah menyebut orang yang sezaman dengannya sebagai para sahabat tapi menyebut orang yang datang sepeninggalnya dengan panggilan yang sangat mesra, ikhwâni, para saudaraku. Merekalah kaum yang datang sesudah beliau dan tidak pernah berjumpa dengannya tetapi mencintai Rasulullah dengan segenap jiwa dan raga.
Kecintaan terhadap Rasulullah tidak saja merupakan kewajiban -sebagaimana sering disebut dalam banyak hadis- tapi juga merupakan syarat mutlak atau conditio sine quanon; syarat yang, tidak boleh tidak, mesti ada apabila kita ingin menjalankan syariat Islam. Tidak mungkin orang bisa menjalankan sunnah Rasulullah dengan seluruh hatinya apabila ia tidak mencintainya. Dasar agama adalah cinta; salah satunya adalah cinta kepada Rasulullah saw.
Dalam sebuah hadis yang teramat populer, yang diriwayatkan dalam Shahih Muslim, Rasulullah bersabda, "Al-Dînu nashîhah." Ucapan Nabi ini seringkali diterjemahkan secara keliru ke dalam Bahasa Indonesa menjadi: Agama itu nasihat. Saya anggap keliru karena dalam hadis itu diceritakan setelah Rasulullah bersabda itu, para sahabat bertanya, "Kepada siapa nashîhah itu, ya Rasulallah?" Rasulullah menjawab, "Kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para imam kaum muslimin, dan kepada seluruh kaum muslimin." Di situlah letak kekeliruan terjemahan itu. Bagaimana mungkin kita harus memberikan nasihat kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para imam?
Dalam bahasa Arab, kata nashîhah selain berarti nasihat, juga berarti mengikhlaskan, memurnikan, atau membersihkan kecintaan seseorang. Orang yang memiliki kecintaan yang tulus disebut sebagai nâshih. Taubat yang keluar dari hati yang tulus disebut sebagai taubatan nashûha. Orang Arab menyebut madu yang murni sebagai 'asalun nâsh. Jadi, kata nashîhah berarti kecintaan yang tulus. Oleh karena itu, hadis di atas sebenarnya berarti, "Dasar agama itu adalah kecintaan yang tulus." Dasar yang pertama tentu saja adalah kecintaan yang tulus kepada Allah swt.
Dalam hadis yang lain, Rasulullah membagi kaum muslimin ke dalam dua golongan. Satu golongan ia sebut dengan kaum nashâhah dan satu golongan lagi ia sebut dengan kaum ghasâsah. Nashâhah (bentuk jamak dari nâshih, red.) adalah golongan orang yang selalu menampakkan kecintaan yang tulus kepada Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, para Imam, dan seluruh kaum muslimin. Adapun ghasâsah, menurut Rasulullah, adalah para pengkhianat yang tidak memiliki hati yang bersih. (lihat Al-Targhîb, II: 575)
Masih dalam kitab yang sama diriwayatkan sabda Rasulullah saw yang menjelaskan hadis di atas: "Kaum mukmin itu satu sama lain saling mencintai walaupun tempat tinggal mereka berjauhan. Tetapi kaum yang durhaka itu satu sama lain ghasâsah (saling mengkhianati) sesama mereka walaupun tempat tinggal mereka berdekatan."
Kecintaan kepada Rasulullah saw dan keluarganya adalah ikatan yang dapat mempersatukan seluruh mazhab. Al-Zamakhsyari, penulis kitab Tafsir Al-Kasyaf, yang menurut beberapa orang bermazhab muktazilah, menulis sebuah syair tentang ikhtilaf di kalangan kaum muslimin dan jalan keluar dari perpecahan itu:
Banyak sekali keraguan dan pertentangan
Masing-masing merasa di jalan yang benar
Aku berpegang pada kalimat lâ ilâha ilallah
Dan kecintaanku kepada Ahmad dan Ali
Berbahagia anjing karena mencintai Ashabul Kahfi
Bagaimana mungkin aku celaka karena mencintai keluarga Nabi
Al-Quran menceritakan seekor anjing yang memiliki karamah mampu tidur selama tiga ratus tahun. Keberuntungannya itu disebabkan karena kecintaan anjing itu kepada Ashabul Kahfi. Maka, bagaimana kita bisa celaka karena kecintaan kepada keluarga Nabi?
Kecintaan terhadap keluarga Nabi disepakati oleh semua mazhab. Imam Syafii pun dikenal sebagai orang yang mencintai ahli bait Nabi. Imam Syafii pernah berkata, "Aku sangat heran bila aku sebut nama Ali Al-Murtadha dan Fathimah Al-Zahra, orang segera berdiri dan berteriak: Ini Rafidi!" Imam Syafii lalu bersyair:
Kalau yang disebut Rafidi itu adalah mencintai keluarga Nabi
Hendaknya menyaksikan seluruh jin dan manusia, bahwa aku ini Rafidi
Mencintai keluarga Nabi adalah bagian dari ajaran Islam. Al-Quran menyatakan: Katakan olehmu Muhammad: Aku tidak minta upah dalam mengajarkan ini kecuali kecintaan kepada keluargaku. (QS. Al-Syura: 23). Mendengar ayat ini, para sahabat bertanya, "Lalu siapa keluarga yang wajib kami cintai itu?" Rasulullah saw menjawab, "Ali, Fathimah, dan kedua putranya." Hadis itu disebutkan dalam seluruh kitab tafsir dan disepakati oleh semua mazhab.
Akan tetapi mengapa dalam perkembangannya orang dijauhkan dari ahlul bait? Salah satunya adalah alasan politis. Sepanjang sejarah Islam, kelompok ahlul bait adalah mereka yang tertindas secara politik. Kekuasaan dipegang oleh orang-orang yang memusuhi keluarga Nabi. Secara perlahan, ahlul bait disingkirkan dari pentas kehidupan umat. Bahkan ahlul bait dihapuskan dari salawat kaum muslimin.
Menurut saya, kecintaan kepada keluarga Nabi adalah titik temu dari semua mazhab. Karena itu bila kita ingin mempersatukan kaum muslimin, persatukanlah mereka dari titik pertemuan ini; yaitu kecintaan kepada keluarga Nabi.
Dalam penjelasan hadis "Agama itu nashîhah", selanjutnya disebutkan tentang kecintaan yang tulus atau nashîhah kita terhadap sesama kaum muslimin. Kecintaan kita kepada kaum muslimin dapat ditampakkan dalam usaha untuk menjaga kesatuan kaum muslimin. Lawan dari nashîhah adalah ghasâsah; mengkhianati kaum muslimin, berlaku tidak jujur, memfitnah mereka, dan bahkan mengkafirkan saudara-saudaranya. Hal ini termasuk kepada dosa besar. Oleh sebab itu kelompok ini dipisahkan oleh Rasulullah dari kaum mukmin dan disebut sebagai kelompok pengkhianat.
Dalam hadis yang dapat kita baca dalam Hayâtush Shahâbah, terdapat riwayat sebagai berikut:
Pada suatu saat, ketika Rasulullah saw berkumpul dengan para sahabatnya di Masjid, beliau berkata, "Sebentar lagi akan muncul seorang penghuni surga...." Tak lama kemudian masuk ke dalam masjid seorang lelaki dengan mengepit sandal di tangan kanannya. Dengan janggut yang masih basah oleh air wudhu, ia lalu salat. Keesokan harinya, Rasulullah menyebutkan hal yang sama dan lelaki yang sama kemudian masuk ke dalam masjid dan salat. Begitu pula keesokan harinya lagi. Tiga kali Rasulullah mengucapkan hal itu dan selalu lelaki yang itu pula muncul di masjid.
Abdullah bin Amr bin Ash merasa penasaran. Ia ingin tahu apa yang dilakukan oleh lelaki itu sehingga Nabi yang mulia menyebutnya sebagai penghuni surga. Abdullah lalu mengunjungi rumah lelaki itu dan berkata, "Aku bertengkar dengan ayahku. Aku tak bisa tinggal serumah dengannya sementara ini. Bolehkah aku tinggal di tempatmu untuk beberapa malam?" pinta Abdullah. "Silahkan," lelaki itu membolehkan.
Tinggallah Abdullah di rumahnya. Setiap malam ia mengawasi ibadah orang itu. "Tentulah ibadahnya sangat menakjubkan sampai Nabi menyebutnya penghuni surga," pikir Abdullah. Tapi ternyata tak ada yang istimewa dalam ibadahnya. Lelaki itu tak salat malam; ia baru bangun menjelang waktu subuh. Terkadang ia bangun di tengah malam, tapi itu hanya untuk menggeserkan tempat tidurnya, berzikir sebentar, lalu tidur lagi. Selama tiga malam, Abdullah tidak melihat sesuatu yang khusus yang dilakukan orang itu. Akhirnya Abdullah pamit.
Sebelum pergi, Abdullah berkata terus terang, "Sebetulnya aku tak bertengkar dengan ayahku. Aku hanya ingin tahu apa yang menjadikanmu sangat istimewa sehingga Nabi menyebutmu penghuni surga?" Orang itu menjawab, "Aku adalah seperti yang engkau lihat. Memang itulah diriku." Abdullah pun akhirnya pergi. Tapi setelah agak jauh, lelaki itu memanggil kembali Abdullah. Ia menjelaskan, "Aku memang seperti yang engkau lihat. Hanya saja aku tak pernah tidur dengan menyimpan niat jelek terhadap sesama kaum muslimin." Abdullah berkata, "Justru itulah yang tidak mampu aku lakukan; tidak menyimpan rasa dendam, benci, dan dengki terhadap sesama kaum muslimin...."
Mungkin kita semua seperti Abdullah bin Amr bin Ash, kita tak bisa membuang niat jelek kita terhadap sesama kaum muslimin. Boleh jadi kita mampu berlama-lama salat, mampu mengisi malam dengan zikir, tapi seringkali kita tidak mampu untuk menyingkirkan dendam di hati kita terhadap sesama kaum muslimin.
Salah satu bentuk kecintaan kita terhadap kaum muslimin adalah dengan menghilangkan rasa benci kita terhadap mereka. Apa pun mazhab mereka, bagaimana pun mazhab mereka, seperti apa pun golongan mereka, mereka adalah saudara kita dalam Islam. Bila ada sebesar debu saja kedengkian kita terhadap kaum muslimin, berarti kita sudah melanggar ajaran al-dînu nashîhah. Agama itu kecintaan yang tulus.
( KH. Jalaluddin Rakhmat )
Semoga bermanfaat
Wassalamualaikum.wr.wb
Imam Puji Hartono (IPH)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar