"The Losers make promises they often break, and The Winners make commitmens they always kept" (Dennis Waitles / American Author)
Pemerintah sebelum Revolusi Perancis 1789 disebut sebagai Ancien Regime atau Orde Lama. Rakyat menumbangkan kekuasaan mutlak raja dan menghilangkan hak istimewa kaum bangsawan. Empat puluh tahun kemudian, kekuasaan dipegang lagi oleh kaum feodal, keluarga Bourbon. Ketika pemerintah mengabaikan konstitusi sama sekali, kaum liberal dan demokrat, didukung oleh anak-anak muda dan kelas menengah turun ke jalan. Kaum buruh, yang tak mengerti apa-apa tentang politik, juga ikut hanya untuk mencari nasib yang lebih baik. Dinasti Bourbon tumbang. Anehnya, kelompok baru yang memerintah menjadi "bangsawan baru". Mereka terdiri dari bankir, profesor, ahli hukum, kaum profesional. Mereka tak punya darah biru, tapi punya uang dengan macam-macam warna.
Ada seorang anak muda cerdas, mahasiswa hukum dan kedokteran. Ia ikut-serta dalam perjuanga kaum demokrat. Begitu pemerintahan berganti, ia kecewa. Ia melihat pemerintahan baru hanyalah mengganti jubah. Di dalam jubah masih juga bercokol Sang Penindas. Ia menggalang kesatuan di antara anak musa radikal. Ia masuk organisasi Amis du Peuple (Sahabat Rakyat). Bersama 14 orang kawannya, ia ditangkap. Ketika ditanya apa profesinya, ia menjawab, "Kaum proletar!" Ia berkata, "Proletar adalah pekerjaan 30 juta rakyat Perancis, yang hidup dari hasil kerjanya tapi tidak memiliki hak-hak politik." Semua perusuh itu dibebaskan, kecuali anak muda itu. Ia dianggap aktor intelektual di balik berbagai kerusuhan. Ia dituduh mengganggu ketertiban dan menghasut orang miskin untuk memerangi orang kaya.
Ia masuk penjara--profesi yang ditekuninya sampai akhir hayatnya. Ia pernah dibebaskan, tetapi ia mengkritik sistem pemilu yang menghasilkan mayoritas hasil rekayasa. Ia berkata, "Mayoritas yang diperoleh dengan teror dan membungkam mulut bukanlah mayoritas warga negara, tetapi kawanan budak semata." Kembali ia masuk penjara.
Berulangkali ia dipenjara, dibebaskan, dan dipenjara lagi. Ketika ia berusia tujuh puluh tahun, dari balik terali penjara ia melihat perubahan pemerintahan ke arah yang lebih baik. Sungguh ajaib, ketika menjadi caleg dalam status sebagai napi, ia memenangkan pemilu. Lewat prosedur yang berbelit-belit, ia mendapat amnesti. Tapi, tak lama setelah menghirup kebebasan, ia menghembuskan napas terakhir karena serangan jantung.
Orang yang luar biasa ini adalah tokoh penting kaum republik di balik berbagai kerusuhan antara 1827-1870. Ia mendahului Marx dan Lenin dalam petualangan politik yang utopis. Bagi kaum radikal, ia contoh utama seorang pejuang yang meninggalkan kepentingan pribadi dan kariernya untuk membela orang-orang tertindas. Bagi psikolog sosial, inilah prototipe calon diktator masa kini: kepala batu, tak toleran, licik dan kejam.
Dengan segala keluar-biasaannya, ia tidak dikenal dalam sejarah. Nama August Blanqui ditulis sebagai nama jalan di daerah miskin di Paris. Sebuah kota kecil, Puget Thenier, mendirikan monumen yang kecil buat mengenangnya. Tapi orang-orang di sekitarnya tak pernah tahu siapa dia.Orang menduganya sebagai tokoh politik lama yang sudah dilupakan.
Max Nomad, penulis The Apostles of Revolution, memulai kisah Blanqui dalam irama melankolis. "Kemasyhuran tak pernah memihak orang yang kalah. Kecupannya yang cepat tidak mengabadikan korban kegagalan. Kemasyhuran memihak pemenang dan tak peduli dengan kualitas moral dan intelektual para pendukungnya. Thomas Muenzer jauh melebihi kawan sezamannya, Martin Luther, dalam karakter dan keberanian. Tapi ia mati di tiang gantungan setelah siksaan yang tak ada bandingannya. Ia tak dikenal oleh para petani Jerman, yang untuk mereka ia persembahkan darahnya. Penghormatan mereka diberikan kepada Sang Pembaharu itu, yang menggelepar di depan para pangeran, serta atas nama Tuhan memfatwakan kepada mereka keharusan untuk membunuh dan menyiksa rakyat kecil yang bangkit menentang tuan-tuannya."
Orang-orang seperti August Blanqui dan Thomas Muenzer selalu muncul dalam perubahan sosial di bangsa mana pun. Tapi nama-nama mereka umumnya hilang dari ingatan umat manusia. Yang menentukan apakah seorang masuk sejarah atau tidak bukanlah karakter, keberanian, atau kebenaran misinya. Yang menentukan adalah kemenangan. Karena itu, sejarah berubah-ubah, bergantung kepada siapa yang menang ketika sejarah itu dikisahkan. Sejarah adalah kisah umat manusia yang sering lebih aneh dari dongeng.
Konon, seorang India menonton film. Ia melihat kisah sejarah pertempuran antara orang Indian dan orang kulit putih. Setelah film itu usai, ia meloncat ke depan, merusak layar. Ia berteriak bahwa film itu sama sekali tidak benar. Dengan susah payah ia menceritakan versinya sendiri. Orang-orang berkata, "Kita tidak tahu pasti siapa yang benar, tapi kami tahu pasti siapa yang menang dan siapa yang bikin film."
Hari ini, ketika berbagai isu menghantam telinga kita, ketika kita bingung siapa dan apa yang benar, ketahuilah bahwa ada satu yang bisa kita pastikan. Suara yang akan dipandang benar tentu saja suara pemenang. Cerita yang beredar luas pasti cerita dari orang-orang yang didukung dan tidak dihambat untuk membuat cerita itu. Yang kalah tidak dapat bercerita dan tidak bisa membuat film.
Orang-orang awam akan mengikuti cerita para pemenang dan mempercayainya. Segelintir orang akan melihat cerita itu dengan kritis dan mengembangkan versi yang menurut mereka paling baik. Kelompok kecil itu disebut oleh Al-Qur'an sebagai Ulul Albab: "
Gembirakan hamba-hambaku, ang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal 'ulul albab," (Al-Qur'an 39: 17-18).
Siapa itu 'ulul albab", dijelaskan dalam surat Ali Imran ayat 191 yang merupakan penafsiran (tafsirul ayat bil ayat) kata ulul albab yang tertera pada ayat sebelumnya. Menurut ayat ini ulul albab yaitu "orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi."
Wallahualm bissawab
oleh : Fikri Yathir, Tulisan ini diambil dari Majalah Ummat, No. 19
Jumat, 24 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar