oleh : Fikri Yathir
Dua orang sahabat Rasulullah SAW, penakluk Qadisiyah sedang duduk berbincang, tiba-tiba lewatlah iring-iringan jenazah di hadapan mereka. Keduanya lalu segera berdiri memberikan penghormatan, namun beberapa sahabat lain berkata bahwa jenazah tersebut adalah orang kafir. Menurut mereka, tidak selayaknya sahabat Nabi SAW memberikan penghormatan kepada jenazah orang kafir. Sahal dan Qays, sahabat-sahabat Nabi SAW tersebut menolak pendapat tersebut. ‘Dahulu,’ kata Sahal, ‘kami berkumpul bersama Rasulullah SAW, lalu lewatlah rombongan jenazah. Rasulullah segera berdiri, kami-pun ikutan berdiri. Salah seorang diantara kami berkata :’ Itu jenazah orang Yahudi’, Nabi SAW bersabda :’Bukankah dia manusia?” (Shahih Al Bukhari).
Betapa indahnya ucapan Nabi SAW :’Bukankah dia manusia?’ tertanam pada diri sahabatnya. Di Qadisiyah, ketika tentara Islam berhasil merebut kekuasaan, mereka tanpa risih berdiri, menghormati bangsa yang ditaklukannya. Ketika Panglima tentara Islam dalam Perang Salib, Salahuddin Ayyubi atau Saladin atau Salah ad-Din (1138 - 4 Maret 1193) merebut kota Yerusalem dari tentara Salib, pada waktu itu, ‘tidak setetes darahpun ditumpahkan’. ‘There is not a drop of blood was shed’, kata Toynbee.
Selama berabad-abad, ketika Bangsa Yahudi mengalami ‘diaspora’ (yakni: tersebarnya bangsa Yahudi ke luar dari Palestina sesudah mengalami perbudakan selama berabad-abad oleh Bangsa Babylonia), mereka berlindung dengan aman di bawah kekuasaan Islam saat itu.
‘Bukankah dia manusia?’ adalah pertanyaan Nabi SAW yang mengetuk hati nurani ummat manusia.
‘Bukankah dia manusia?’ adalah pertanyaan Nabi SAW yang harus diteriakkan kapan-pun, dimanapun dan kepada siapa-pun, ketika percikan api fanatisme membakar dada, diteriakkan kapan saja ketika keyakinan beragama menjadi berubah menjadi kepongahan, kesombongan dan kapan saja kesalehan menampakkan diri dalam bentuk agresi terhadap keyakinan orang lain. Kita harus teriakan ketika kelompok tertentu menghancurkan “rumah ibadah” kelompok lain ataupun ‘rumah ibadah” agama lain.
‘Bukankah dia manusia?’ adalah pertanyaan Nabi SAW yang harus diteriakkan ketika keyakinan beragama diberi nama (julukan), apalagi nama buruk, ketika kita melupakan rasa ‘kemanusiaan’ bagi para pengikutnya. Karena kita telah ‘mendehumanisasi’ mereka maka mereka muncul di hadapan kita sebagai ‘monster’ yang sangat menakutkan. Bukan saja mereka tidak layak dihormati, mereka juga boleh diperlakukan semau kita dalam bentuk ‘apapun’. Bahkan terkadang “pemuka” mereka malah secara ekstem “menghalalkan darahnya” Naudzubillah.
Dalam sejarah, eksekusi dan persekusi (penyiksaan) terhadap pemeluk agama dimulai dengan menjuluki mereka dengan julukan sesuatu. Pernah dalam tarikh Islam, ratusan ribu orang di usir, di kejar-kejar, dibunuh setelah mereka dikenai julukan ‘rafidhah’. Orang-orang ‘Khawarij’ yang menghabiskan malam mereka dengan zikir dan tahajud tiba-tiba berubah menjadi ‘garang’. Mereka tega membunuh sesama muslim setelah lebih dahulu menyebut mereka sebagai ‘kafir’. Pada gilirannya, kaum Khawarij justru dieliminasi (dilenyapkan) setelah julukan ‘bughat’ dikenakan kepada mereka.
Sebuah keyakinan akan pembaharuan Islam muncul di tengah padang pasir Saudi Arabia di bawah pimpinan Syeikh Muhammad Abdul Wahab. Ia ingin memurnikan ‘tauhid’ dengan faham yang kemudian dijuluki ‘wahabbi’, ia mengambil ribuan nyawa ‘kaum muslimin’, setelah terlebih dahulu memberikan julukan ‘Musyrik’ kepada mereka yang bertentangan dengan faham ‘wahabbi’ saat itu.
Sampai sekarangpun kita dengan senang dan terang menabur fitnah, mengumbar makian kepada saudara kita sesama Muslim. Kita tidak merasa bersalah karena korban-korban itu sudah kita juluki sebagai ‘munafik’, ‘ahli bid’ah’, ‘sekuler’, ‘liberal’, ‘kaum sarungan’, ‘jaringan iblis laknatullah’, ‘agen zionis’, ‘ agen Amerika” ‘syi’ah’, ‘wahabbi’, ‘salafy”, dan lain- lain.
Zaman orde baru, ketika kebencian terhadap orang PKI mendapat tempat, kita gampang menuduh orang yang tidak seide dengan penguasa waktu itu sebagai ‘orang-orang PKI’, ‘Keturunan PKI’, ‘antek PKI’, ‘anasir PKI’ atau label bagi pemberontak dalam negeri yang “separatis” segera oleh Penguasa Orba diberi label ‘GPK’ ‘ekstrim kanan’, ‘ekstrim kiri’ ‘islam jama’ah’ dan julukan-julukan lain yang cenderung dipenuhi dengan ‘kebencian’ atas mereka.
Semua julukan (“buruk”) itu pada akhirnya berhasil ‘menghalalkan kekerasan’ dan berhasil menyembunyikan identitas kemusliman mereka, dan lebih buruk lagi telah membuang ‘rasa kemanusiaan’ pada diri-diri mereka.
Apa yang terjadi pada dunia Islam terjadi juga pada agama lain, bahkan pada tingkat yang lebih ekstrim. “Sejak awal, Kristianitas telah berhenti sebagai agama profetik dan kreatif. Ia sudah ‘terkontaminasi’ dengan tradisi kuno ‘pengorbanan manusia’ di hadapan Dewa, dengan pembersihan gaya ‘Mithra’, tulis H.G. Wells dalam ‘The Outline of History”. Mulai abad ke-13, sebuah institusi didirikan untuk siapa saja yang mengemukakan alternatif lain dalam memahami ‘agama Kristen’. Institusi tersebut didirikan untuk menyiksa dan membunuhi pejuang-pejuang hati nurani. “Sekarang,” ujar Wells selanjutnya ketika melukiskan zaman itu. Para Tokoh Gereja waktu itu justru menonton tubuh-tubuh musuhnya yang sudah ‘hangus’ dibakar. Kebanyakan diantara mereka adalah orang-orang kecil dan miskin yang tidak sefaham dengan mereka. Mereka dibakar sampai hangus dan hancur dengan sangat mengenaskan. Seperti itu juga misi mereka pada kemanusiaan ‘hangus dan hancur’ menjadi arang dan debu seiring dengan pembenaran atas tindkan kekerasan pada kaum heretik. Kaum ‘heretik” adalah kaum yang dituduh menjalankan ajaran agama “bid’ah’ dalam terminologi Islam, .
Intoleransi kelam dan tanpa belas kasihan ini adalah ‘roh jahat’ yang digabungkan dengan proyek Kerajaan Tuhan di bumi. Wells tidak menyebutkan dengan tegas bahwa inkuisi yang kejam itu berlangsung setelah Gereja secara resmi menjuluki kelompok-kelompok Kristiani tertentu sebagai heretik (bid’ah).
Setelah ratusan tahun penindasan, Martin Luther (1483 –1546), seorang pastur Jerman dan ahli teologi Kristen dan pendiri Gereja Lutheran, gereja Protestan, pecahan dari Katolik Roma. Dia merupakan tokoh terkemuka bagi Reformasi. Ajaran-ajarannya tidak hanya mengilhami gerakan Reformasi, namun juga mempengaruhi doktrin, dan budaya Lutheran serta tradisi Protestan. Ketika itu Martin Luther menganjurkan “bangkit’. Ia berkata bahwa salah satu kesalahan besar Paus Leo X dalam Exsurge Domine ialah “membakar kaum Kristiani yang mereka tuduh heretik’. Luther menyebut tindakan itu bertentangan dengan kehendak “Roh Kudus”.
Dalam surat terbuka yang ditujukan kepada Para Tokoh Katolik waktu itu, “Luther menulis, “Kita harus mengalahkan kaum heretik dengan buku, bukan dengan membunuh dan membakar mereka hidup-hidup”. Tetapi ketika Martin Luther sudah berkuasa, ia berubah dari pejuang kebebasan menjadi seorang dogmatik. Dalam Tischreden, pidato di meja makan, ia menjuluki orang Yahudi dan para pengikut Paus sebagaai “orang fasik yang tidak ber Tuhan….., sepasang kaos yang dibuat dari kain yang sama”. Sekarang ia membenarkan pembakaran, penyiksaan, pembunuhan siapapun yang tidak setuju dengan pahamnya. “Siapa saja yang tidak menerima ajaranku tidak boleh diselamatkan”, ujar Martin Luther. Dalam pasal 13 Kitab Ulangan, ia menemukan pembenaran untuk menghukum mati kaum heretik. Sejak itu dua kekuatan fanatik menghiasi sejarah Kristiani dengan genangan darah.
Dalam surat Al Hujurat, ayat 13, Allah SWT mengingatkan kita :”Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Karena itu ketika mengajarkan persaudaraan diantara kaum beriman, Al Qur’an memberi peringatan “Hai orang-orang yang beriman, janganlah sekumpulan orang laki-laki merendahkan kumpulan yang lain, boleh jadi yang ditertawakan itu lebih baik dari mereka. Dan jangan pula sekumpulan perempuan merendahkan kumpulan lainnya, boleh jadi yang direndahkan itu lebih baik. Dan janganlah suka mencela dirimu sendiri dan Janganlah kamu memanggil-manggil dengan gelar yang buruk (mengandung ejekan) Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman dan barangsiapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim …”(Q.S. Al Hujurat 49 ayat 11).
Julukan buruk itu menempatkan saudara kita sesama manusia sebagai ‘musuh’, atau paling tidak dijuluki sebagai orang asing. Julukan itu telah mempertentangkan orang-orang yang memiliki kesamaan. Melalui penjulukan, hubungan “kita” diubah menjadi “kami”.
Untuk menumbuhkan persaudaraan diantara orang-orang Islam, Al Qur’an menyuruh kita berteriak :”Saksikanlah kami ini orang-orang Islam”. Untuk menumbuhkan penghargaan pada orang yang keyakinannya berbeda dengan kita.
Sudah selayaknya, ketika bencana alam menimpa sudara-saudara kita yang non muslim di belahan dunia lain, kita harus membantu tanpa memandang agama dan keyakinan mereka. Sudah selayaknya ketika Bom bunuh diri menewaskan puluhan atau ratusan orang2 sipil dan tidak berdosa di Amerika, India, Jerman, Inggris, Jepang, Cina atau belahan negeri lain yang mayoritas non muslim, kita juga harus menunjukkan simpati kita tanpa memandang agama dan keyakinan para korban. Juga saat tetangga atau teman kita yang non muslim membutuhkan bantuan buat sekolah anaknya atau keluarganya sedang sakit, kita harus menunjukkan simpati kita dan mengulurkan tangan kita membantu mereka. Terlebih lagi kalau tetangga atau teman kita yang 'non muslim' tersebut dilanda kedukaan, kita harus membantu dan menghibur mereka, apapun agama dan keyakinannya.
Mengapa demikian ?, Jawabnya seperti yang dikemukakan kurang lebih seribu empat ratus tahun silam, saat manusia suci, Rasulullah SAW bersabda :”Bukankah dia manusia ?”.
Allahumma shali ala Muhammad, wa ala ali Muhammad.
Lebak Bulus, 12 Juli 2009, jam 07.49 WIB
Dikutip tanpa izin dari tulisan Fikri Yathir, di Buletin Al Tanwir Nomor 76, dengan sedikit tambahan.
Semoga Bermanfaat.
Wassalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono (IPH)
Jumat, 24 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar