Pada suatu hari, seorang peziarah ke Baitullah membawa kantong uang yang berisi sepuluh ribu dirham.. Ia baru menyadari bahwa kantong uangnya hilang, begitu ia keluar dari pintu Masjidil Haram. Ia kemudian bergegas kembali ke dalam Masjidil Haram ke tempat ia tadi melakukan shalat. Ia terkejut, di bekas tempat tadi ia duduk ia melihat seorang abid (ahli ibadah) sedang melakukan shalat dengan khusyu’.
Ia mulai berprasangka buruk, jangan-jangan sang abid itulah yang telah mengambil kantong uangnya. Apalagi makin ia mendekat pada sang abid tersebut, shalatnya kelihatan makin khusyu’. Dengan geram ia menunggu sang abid itu mengucapkan salam. Setelah orang tersebut salam, langsung ia menghardik sang abid itu : “Kamu pasti yang mengambil kantong uangku. Dasar munafik, kamu pura-pura khusyu’ hanya untuk mengelabui orang. Sini kembalikan kantong uangku sekarang juga”.
“Maaf, berapa uang anda yang hilang?” tanya sang abid tersebut dengan lembut, santun dan sabar kepada orang yang marah-marah tersebut”.
“Sepuluh ribu dirham, mana kembalikan sekarang juga”/
Sang Abid itu kemudian merogoh kantongnya dan menyerahkan sepuluh ribu dirham kepada peziarah yang marah-marah itu”.
“Tuh betul khan, kamu ternyata munafik dan benar-benar mencuri uangku”, sambung peziarah tadi sambil meninggalkan sang abid yang dituduhnya tadi yang segera melanjutkan shalatnya.
Kemudian peziarah tadi meninggalkan Masjidil Haram dengan hari gembira karena uangnya telah kembali. Tak lama kemudian ia terkejut “Masya Allah”. Ia menemukan kantong uangnya tergolek di dekat tiang masjid dekat pintu ia keluar tadi dalam kondisi utuh. Ia kemudian mengambil dan memeriksanya. Masya Allah, uangnya sebesar sepuluh ribu dhirham masih utuh.
Dengan penuh malu ia menemui sang abid (ahli ibadah) tadi untuk meminta maaf. Dengan memohon maaf berkali-kali ia mengembalikan uang sepuluh ribu dirham yang tadi diberikan oleh sang abid.
Abid tersebut tersenyum dan dengan lembut ia berkata, “Ambillah uang itu sebagai sedekah dariku. Kami ini keluarga Rasulullah SAW tidak pernah mengambil kembali apa yang telah kami berikan”.
Sang Abid itu namanya Muhammad al-Baqir bin Ali bin Husain (676–743), anak dari Ali Zainal Abidin Bin Hussain, cucu Hussein Bin Ali, buyut Fatimah Az Zahra dan Ali Bin Abu Thalib, cicit Rasulullah SAW. Ia memang terkenal faqih dan berakhlak mulia. Bayangkan saja, kepada orang yang menuduhnya pencuri yang menganggu ibadahnya ia sama sekali tidak marah, bahkan ia sedekahkan uangnya sebesar sepuluh ribu dirham.
Sang Abid agaknya mengikuti apa yang diajarkan oleh Kakeknya, Rasulullah SAW yang pernah bersabda : “Orang kuat sejati bukanlah orang yang dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Orang kuat sejati adalah orang yang sanggup menguasai dirinnya ketika marah”. (H.R Ahmad).
Allahuma shali ala Muhammad wa ala ali Muhammad.
Hikmah di balik Kisah
Sahabat, ada beberapa hikmah (pelajaran) dari kisah tersebut yang saya ringkas menjadi 5 saja, yaitu : 1) Jauhi buruk sangka;
2) segera minta maaf bila bersalah;
3) segera memberi maaf;
4) bersedekah meski kepada orang yang membenci kita;
5) mampu menahan amarah.
1) Jauhi buruk sangka
Sahabat Rahimakumullah, berbagai prasangka buruk terhadap orang lain sering kali bersemayam di hati kita. Sebagian besarnya, tuduhan itu tidak dibangun di atas tanda atau bukti yang cukup. Sehingga yang terjadi adalah asal tuduh kepada saudaranya.
Buruk sangka kepada orang lain atau yang dalam bahasa Arabnya disebut su`u zhan mungkin biasa atau bahkan sering hinggap di hati kita. Buruk sangka telah terlintas di pikiran peziarah dalam kisah tersebut, yang menuduh sang Abid telah mencuri uangnya.
Yang parahnya lagi. Buruk sangkanya tidak berdasar dan tidak beralasan. Memang semata-mata didasari pada kecurigaan semata, bahkan disampaikannya kepada orang lain. Padahal su`u zhan kepada sesama kaum muslimin tanpa ada alasan/bukti merupakan perkara yang terlarang. Demikian jelas ayatnya dalam Al-Qur`anil Karim, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ
“Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah oleh kalian kebanyakan dari persangkaan (zhan) karena sesungguhnya sebagian dari persangkaan itu merupakan dosa.” (Al-Hujurat: 12)
2). Segera memintaa maaf bila bersalah
Berdosa dan berbuat salah merupakan sifat manusiawi tiap orang. Siapapun orangnya, dalam kehidupan sehari-harinya, baik secara sadar maupun lengah, pasti ia pernah atau bisa jadi sering melakukan dosa. Rasulullah bersabda, "Semua anak Adam adalah pendosa, dan sebaik-baiknya pendosa adalah mereka yang bertaubat" (HR. Ahmad dan al-Tirmidzi).
Dosa-dosa yang diperbuat manusia, ada kalanya merupakan haq Allah (kesalahan terhadap Allah Ta'ala), dan ada kalanya merupakan haq adamy (kesalahan terhadap sesama manusia). Dosa terhadap Allah Ta'ala memerlukan pertobatan. Bertaubat artinya menyesali kesalahan yang telah kita lakukan, dan bertekat untuk tidak mengulanginya, seraya memperbanyak memohon maaf dan ampunan kepada-Nya. Adapun dosa itu berkaitan dengan hak manusia, selain memerlukan pertobatan, maka harus disertai permintaan kerelaan kepada orang yang dizhalimi, serta berupaya mengembalikan hak yang terampas darinya.
Imam Bukhari meriwayatkan Hadis dari Sahabat, bahwasanya Nabi Muhammad pernah bersabda, "Siapa saja yang menganiaya saudaranya, baik penganiayaan atas harga diri-nya, maupun fisik-nya, maka hendaknya ia meminta kehalalan sebelum Hari di mana dinar dan dirham tidak ada lagi (yaitu Hari Kiamat). Kalaulah ia memiliki amal shaleh, maka pahalanya diambil darinya sebesar kezhaliman yang dilakukannya, dan kalaulah ia tidak memiliki pahala, maka dilimpahkan kepadanya dosa-dosa (orang yang dizhaliminya)"
Meski mungkin malu, tapi Peziarah dalam kisah di atas segera meminta maaf begitu ia menyadari kesalahannya kepada sang Abid (Muhammad Al Baqir).
3). Segera memberi maaf
Dalam al-Quran, tidak ditemukan satu ayat pun yang memerintahkan manusia untuk meminta maaf. Yang ada justru perintah memberi maaf. Misalnya firman Allah Ta'ala dalam Surat al-A'raf ayat 199, "Jadilah pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh".
Perintah meminta maaf banyak terdapat dalam Hadis-hadis . Ketiadaan perintah meminta
maaf dalam al-Qur`an, bukan berarti yang bersalah tidak diperintahkan meminta maaf, ia tetap wajib memintanya. Al-Qur`an mengajarkan kita moral yang lebih luhur, yaitu agar manusia berakhlak mulia dan berlapang dada memaafkan kesalahan saudaranya. Al-Quran mendidik kita agar selalu berbuat baik kepada semua orang, termasuk orang-orang yang berbuat zhalim dengan cara memaafkan mereka.
Dalam kisah di atas, Sang Abid dengan ikhlas segera memberi maaf kepada peziarah yang menuduhnya mencuri uangnya.
4) Bersedekah meski kepada orang yang membenci (musuh) kita
Dalam satu hadis Imam Turmuzi yang panjang digambarkan bahwa, di mata Allah SWT, orang yang paling hebat, paling kuat, dan paling dahsyat adalah orang yang bersedekah tetapi tetap mampu menguasai dirinya, sehingga sedekah yang dilakukannya bersih, tulus, dan ikhlas tanpa ada unsur pamer ataupun keinginan untuk diketahui orang lain.
Inilah gambaran dari kisah di atas, dimana sang Abid mengejarkan kepada kita bagaimana seorang hamba yang meski sudah dihina dan disakiti dengan dituduh mencuri masih bersedekah dengan ikhlas kepada orang yang menzaliminya tersebut.
5) Mampu menahan amarah
Rasulullah bersabda : "Siapa yang menahan marah, padahal ia dapat memuaskan pelampiasannya, maka kelak pada hari kiamat, Allah akan memanggilnya di depan sekalian makhluk. Kemudian, disuruhnya memilih bidadari sekehendaknya." (HR. Abu Dawud - At-Tirmidzi)
Adakalanya memang dalam kehidupan kita sehari-hari, kita bisa merasa begitu marah dengan seseorang yang menghina diri kita. Kemarahan kita begitu memuncak seolah jiwa kita terlempar dari kesadaran. Kita begitu merasa tidak mampu menerima penghinaan itu. Kecuali, dengan marah atau bahkan dengan cara menumpahkan darah. Na'udzubillah .
Namun sang Abid tadi sama sekali tidak marah dan ia bahkan mampu menguasai amarahnya meski telah dihinakan oleh peziarah di hadapan orang banyak. Ia adalah orang terkuat sebagaimana sabda Rasulullah SAW :"Orang kuat sejati bukanlah orang yang dapat mengalahkan musuh-musuhnya. Orang kuat sejati adalah orang yang sanggup menguasai dirinnya ketika marah”. (H.R Ahmad).
Wallahualam bisawab.
Sahabat Rahimakumullah,
Terjawab sudah, orang terkuat di dunia ternyata bukan Mike Tyson, Muhammad Ali, Hitler, George Bush ataupun Obama. Orang terkuat ternyata adalah orang yang sanggup menguasai dirinya ketika ia marah.
Pertanyaannya adalah “Mampukah kita meniru apa yang dilakukan oleh Imam Al Baqir tersebut?, Mampukah kita menjadi orang terkuat di dunia atau bahasa sononya "The strongest man in the world?”. Semoga.
Shalawat :"Allahumma shali ala Muhammad wa ala ali Muhammad"
Semoga Bermanfaat
Wassalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono (IPH)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar